Guru Besar STF Driyarkara &
UI
Judul di atas ditaruh dalam
tanda petik, mengapa? Karena pengertian dan posisi yang Anda tempatkan pada
orang lain sebagai lawan Anda sebenarnya menjadi ”relatif” bila ditaruh dalam
dinamika hidup yang makin mendalam, membatin maka makin Anda akan mudah
tersenyum bila ”musuh” Anda sedang menghabiskan energi untuk melawan Anda.
Untuk contoh pertama ini
dirumuskanlah pernyataan bahwa ”musuh” adalah ”teman negatif” atau kawan yang
tertunda. Pola pikirnya sebagai berikut: Dalam dinamika perjalanan hidup Anda
posisi dialektika berpikir tesis ketika ditantang oleh ”antitesis”, maka justru
membuahkan sintesis.
Artinya, manakala Anda bisa
melihat lontaran atau kecaman kritik dari musuh Anda dan Anda pakai untuk
perkembangan pola pikir dan pertumbuhan kedewasaan batin Anda, maka Anda akan
mudah tersenyum karena secara langsung dan terutama tidak langsung, si musuh
Anda mendewasakan Anda dan mematangkan bagian yang dikritiknya.
Ini alasan tanda petiknya
judul ”Musuh” yang pertama. Alasan kedua, dalam praxis yang saya selalu ingat
adalah ungkapan kreatif rekan Putu Wijaya, teaterawan, pekerja budaya, aktor,
yang ketika diwawancara wartawan mengenai bagaimana sikapnya bila ide, pikiran
Putu Wijaya dicontek dan dipakai orang lain serta-merta? Jawabannya adalah,
”Silakan, kalau yang dicontek 10, maka saya masih punya 100 bahkan 1.000 ide
kreatif lagi.”
Di sini posisi ”musuh”
ditanggapi kreatif barangkali karena ranah Bali yang memang kreatif selalu
memuliakan kehidupan dan seniman-seniman tradisonal zaman dahulu tanpa perlu
menonjolkan diri sebagai pemangku sah karya tetap berkarya di belakang panggung
ketika karya bersama menjadi nilai komunalnya.
Namun untuk saya yang menarik
adalah posisi menaruh lawan atau musuh justru bukan sebagai pertarungan
habis-habisan berdarah-darah dalam arena kurusetra, melainkan dalam logika
hidup yang tidak hitam putih, kawan versus lawan tetapi selalu ada kain poleng
dalam ekspresi hitam diikuti putih dan seterusnya.
Kekuasaan dalam gelegak mau
menghancurkan musuh dalam will to power misalnya dapat dilihat dalam usulan hak
mengajar di sebuah padepokan kesenian yang memiliki mahaguru-mahaguru kesohor,
lalu dengan licik diakali melalui pokil rasionalisasi,diberi bentuk, dibagi
dalam garapan bersama sebuah kursus.
Inti yang jujur sebenarnya si
musuh ingin dihancurkan, tetapi dengan kemasan seakan digarap bersama lalu
dijadikanlah sebuah tema bersama pun dengan memperalat secara pokil atas nama
maha guru licik. Namun yang disasar sebagai musuh bahkan menanggapi dengan
senyuman kehidupan matang batin lantaran justru tema keindahan itu kini
dipelajari bersama-sama, distudi bersama yang selama ini dilupakan untuk
padepokan yang mau menyaji nalar benar, baik dan nalar indah.
Dengan kata lain ”instead of”
justru sebagai ganti diolah sendiri oleh yang mau ”ditaklukkan”, kini ide itu
menjadi ide bersama yang meluaskan wawasan lebih banyak pikiran dan lebih
banyak nuansa.
Dari dua paparan mengenai
posisi musuh di depan, langsung muncul pertanyaan mendalam: darimana gelegak
mau menghancurkan itu dirasionalisasi? Maksud rasionalisasi adalah membenarkan
diri dengan argumentasi yang dibenar- benarkan secara rasional, tetapi
sebenarnya intinya busuk karena hasratnya berasal dari death culture atau
thanatos-nya Freud sebagai hasrat yang selalu mau membunuh kehidupan.
Dari mata ganti mata dan gigi
ganti gigi dilanjutkan dengan nyawa harus diganti nyawa. Bila demikian naluri
balas dendam sebagai sumber mengapa Drupadi bersumpah di saat perang
Bharatayudha nanti ia akan keramas dengan darah Dursasana ketika rasa malunya
dicabik-cabik karena ia dijadikan taruhan oleh Yudhistira.
Lalu pemaknaan dan kata ”musuh”
sebagai penanda sebenarnya mengalami metamorfosisnya tahap demi tahap sejalan
dengan tingkatan keadaban manusia dari situasi naluri liar hasrat untuk
survival yang biadab menuju keadaban dalam proses menjadi beradab karena sadar
diri refleksi rasionalitas dan kebangunan pencerahan kesadaran . Ketika masuk
dalam konteks budaya, di sana orang harus tajam melihat unsur pokok dari budaya
yaitu ”nilai”.
Nilai merupakan sesuatu yang
dipandang berharga oleh orang atau kelompok serta dijadikan acuan tindakan dan
pemakna/pengarti arah hidup. Di sini dalam konteks kebudayaan, ditandailah
dimulainya peradaban saat manusia menghadapi situasi sulit yang menantangnya
untuk mengambil sikap kepada sesama sebagai ”musuh” yang bersaing memperebutkan
sumber-sumber hidup, lalu harus dilenyapkan atau kawan seiring untuk hidup
bersama dalam determinasi diri demi kelangsungan hidup.
Keadaan sosialitas yang saling
mengerkah menghancurkan agar bisa tetap hidup oleh Thomas Hobbes dinyatakan
dalam kondisi manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo homini
lupus).Di sini sesama manusia adalah musuh yang harus dihancurkan dalam rebutan
kelangsungan hidup seperti serigala melawan serigala.
Tapi Driyarkara dengan
mendasar sesama manusia sebagai ”kawan” karena sama-sama ciptaan Allah yang
sama-sama menghayati hidup di dunia ini melawan tesis Hobbes dengan homo homini
socius, manusia adalah kawan bagi sesamanya menuju tujuan hidupnya. Apakah
makna ”musuh” sebagai kawan negatif bernuansa dan dihayati di sini?
Sekali lagi, apakah yang
membuat perubahan dari model hidup nyawa ganti nyawa menjadi sesama kawan dalam
ziarah hidup? Religi Kristiani menyumberkan peradaban ”cintailah musuhmu dan
cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri”. Dan laku tindak ini bersumber pada
Allah yang mencipta dalam kasihNya manusia se-citra, menurut gambarNya (imago
Dei). Yang perempuan citra ayu Allah, yang pria citra agung-Nya.
Saudara-saudari muslim
menyumberkan pula hormat pada sesama dan cinta ke sesama karena sama-sama
khalifatullah—khalifah Allah. Jadi ketika terminologi ”musuh” sebagai yang
harus disingkirkan menjadi contoh perilaku Kristiani, di sanalah pertanyaan
tragis dan eksistensialnya menggugat keras-keras: Kristianikah ia? Atau
agamiskah ia apabila intoleran kepada sesamanya?
Dalam ranah simbolik muncul
pula ungkapan ”musuh dalam selimut” alias menikam dari belakang seperti Brutus
kepada Caesar, seperti Judas kepada Jesus. Merangkum paparan-paparan di depan,
ketika menjadikan orang lain sebagai musuh, sebenarnya di sana temuan praxis
kekuasaan yang menaruh orang lain dalam posisi lawan, lalu ditaklukkan dan
dihalangi untuk tumbuh. Relasi kekuasaan inilah yang merasionalisasikan
tema-tema humanis,edukasi dan suci-suci untuk menundukkan sesamanya dalam
posisi yang dikalahkan.
Tapi di sini pula kisah
kreatif Putu Wijaya di depan terngiang lagi: secara fisik, secara teritorial
dan dalam catatan penjaranya ”Catatan Subversif Mochtar Lubis”, badan bisa
dipenjara atau ditaklukkan, tetapi kreativitas budi, pikiran dan batin tetaplah
merdeka. Dan kemerdekaan jiwa yang kreatif ini terbukti membuahkan tetralogi
pulau penjara isolasi Pulau Buru untuk Pramoedya Ananta Toer dengan anak-anak
emas sastranya Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca,
semuanya terbit 1980–1988.
Siapakah musuh terbesar kita
sebenarnya? Jawabannya renung batin menegaskan diri kita sendiri dengan hasrat
naluri serta budi rasional serta nurani kita. Sudahkah religi dan iman
religiositas kita mampu menghadapi ”musuh utama” ini: diri sendiri?
Sumber: Sindo, 14 September
2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!