Headlines News :
Home » » Resensi Buku: Papua dari Hati Presiden Yudhoyono

Resensi Buku: Papua dari Hati Presiden Yudhoyono

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, August 29, 2013 | 8:44 PM

Oleh  Ansel Deri
Staf Kaukus Papua di Parlemen RI;
Alumni Universitas Nusa Cendana Kupang, NTT 

ADA hal penting dan menarik dari Pidato Kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI ke-67, 16 Agustus 2012. Kala itu, di hadapan Sidang Bersama DPR dan DPD RI Kepala Negara menegaskan bahwa masyarakat di seantero Tanah Papua berada dalam hati kita semua.

Pada HUT RI ke-68 tahun 2013, Papua kembali mendapat perhatian Presiden Yudhoyono. Dalam pidatonya di hadapan anggota DPR/MPR RI di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8), Presiden Yudhoyono menegaskan bahwa Papua (dan Aceh) bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Mengapa Presiden Yudhoyono sampai mengatakan, saudara-saudara di Tanah Papua senantiasa berada dalam hati kita semua? Atau mengapa perlu ditegaskan lagi bahwa Papua bagian NKRI? Apakah selama ini masyarakat Bumi Cenderawasih itu absen dalam hati pemerintah sehingga ungkapan itu keluar dari hati Presiden Yudhoyono?

Dua pertanyaan itu paling kurang menjadi panduan bagi (hati) para pemimpin pusat dan daerah serta rakyat Indonesia melihat benua nun di timur Indonesia. Juga komitmen anggaran Pemerintah Pusat melalui program-program pembangunan sebagaimana daerah-daerah lain di Indonesia.

Diakui atau tidak, dua provinsi paling timur Indonesia: Papua dan Papua Barat masih berkubang dalam kemiskinan dan ketertinggalan. Berbagai  program yang digulirkan masih seperti menggali lubang di atas pasir untuk menampung air. Tanah Papua tetap seperti kerakap yang tumbuh di atas batu: hidup enggan mati tak mau.

Namun, sesungguhnya jika mau jujur sudah ada upaya pemerintah mulai dari Repelita di masa Orde Baru, UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Pembentukan Majelis Rakyat Papua, Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, dan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B).

Program-program itu diharapkan menjadi juruselamat mengurangi kemiskinan dan ketertinggalan saudara-saudari kita di Tanah Papua. Toh, nampaknya semua itu masih di atas kertas meski sudah terlihat sedikit kemajuan sana sini. Selain itu, berbagai program yang digelontorkan guna mewujudkan kesejahteraan, masih jauh dari kondisi ideal. Kemiskinan dan ketertinggalan selalu akan menguras dasar jiwa kita setiap berganti rezim.

Judul  : Membangun Papua dengan Hati: Antara Ucapan dan Realita
Penulis   : Paskalis Kossay
Prolog     : Ikrar Nusa Bhakti
Epilog      : Mathias Rafra
Penerbit  : Tollelegi, Jakarta
Terbit      : Maret 2013
Tebal       : xii + 110 halaman
ISBN       : 978-602-98799-6-4

Dalam buku Membangun Papua Dengan Hati: Antara Ucapan dan Realita, Paskalis Kossay mencatat dengan baik apa “kata hati” Presiden Yudhoyono. Pemerintah menyadari adanya kompleksitas persoalan yang memerlukan langkah-langkah spesifik, mendasar, dan menyeluruh. Kita satukan langkah untuk mempercepat pembangunan bagi rakyat Papua. “Otonomi Khusus bagi Papua dan Papua Barat adalah kerangka dasar kita dalam mengelola pelayanan publik, pembangunan, dan pemerintahan daerah,” kata Presiden Yudhoyono (hal. 6).

Menyebut bahwa “saudara-saudara di Tanah Papua senantiasa berada dalam hati kita semua”, menurut Kossay, menunjukkan ada kemauan politik membangun Papua dengan kebijakan yang terukur. Sayangnya, Presiden Yudhoyono tidak menyinggung langkah-langkah konkrit dan spesifik yang akan ditempuh membangun Papua dengan hati.

Potret Kelam

Sekadar dicatat, sejak integrasi ke pangkuan RI tahun 1961, Papua masih menyimpan sejumlah potret kelam. Dalam nada yang keras, pemuka Gereja Papua Socratez Sofyan Yoman, menelisik lebih detail potret kelam yang dialami penduduk asli. Misalnya, kekerasan kemanusiaan didemonstrasikan atas nama keamanan dan kepentingan nasional dengan berbagai bentuk wajah.

Socratez, gembala umat yang juga Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua (BPP-PGBP) periode 2013-2018, memprediksi tahun 2020 penduduk asli Papua tinggal 2.371.200 jiwa atau sekitar 15,2 persen dibandingkan penduduk pendatang sebesar 13.228.800 jiwa atau sekitar 84.80 persen.

Selain itu, di tanah Papua sedang terjadi proses pelemahan etnis. Proses itu terkait politik, keamanan, ekonomi, dan lain-lain. Jika dilihat dengan cermat, manusia Papua bukalah urusan orang Indonesia karena orang Indonesia itu ras/etnis Melayu dan orang asli Papua adalah ras Melanesia.

“Ini semua bagian dari penghancuran masa depan, identitas, dan mengakhiri eksistensi orang asli Papua dari tanah dan negeri mereka di kawasan Pasifik ini,” kata Socratez (Bdk. Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat tahun 2012; hal. 245).

Namun, apakah kondisi seperti itu menghentikan langkah membangun Papua (dengan hati) seperti diutarakan Presiden Yudhoyono? Kossay mengajukan beberapa strategi yang ditempuh Presiden Yudhoyono agar ada kesesuaian ucapan dan tindakan. Pertama, mengubah cara pandang terhadap masalah Papua. Kedua, otsus menjadi kerangka dasar membangun Papua dengan hati.

Ketiga, UP4B menjadi lokomotif otsus. Keempat, aspirasi pemekaran daerah. Pemekaran daerah merupakan salah satu cara mempercepat pembangunan daerah. Keempat, penegakan hukum. Kelima, penghormatan hak-hak asasi manusia (HAM). Kelima, penghormatan nilai-nilai budaya orang Papua.

Mengapa hal ini serius dan strategis? Membangun Papua dengan hati bukan sekadar membangun proyek fisik semata. Lebih dari itu adalah hati seorang Presiden menerima manusia Papua apa adanya. “Apakah manusia Papua ada di hati Presiden? Atau hanya penguasaan sumber daya alamnya saja?” ujar Kossay retoris.

Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti dalam Prolog-nya menegaskan, Presiden Yudhoyono seakan membiarkan korupsi merajalela asal pejabat daerah mendukung NKRI. Padahal, korupsi yang menggerogoti uang rakyat bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar NKRI, yaitu bagaimana sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) seharusnya digunakan meningkatkan taraf hidup rakyat.

Anggota Komisi I DPR Hj. Lily Wahid berpendapat, membangun Papua dengan hati seperti disampaikan Presiden Yudhoyono adalah cara memperbaiki paradigma yang salah itu. Artinya, menurut anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Daerah Pemilihan Jawa Timur, itu harus ada kemauan untuk mendengarkan dari bawah, selalu berkomunikasi dialogis, dan mengembangkan pendekatan kemanusiaan.

Buku ini menarik dibaca untuk mengetahui pergumulan pemerintah pusat dan daerah serta rakyat membangun sejak Papua berintegrasi ke pangkuan Ibu Pertiwi. Berikut kendala-kendala yang dihadapi, terutama kondisi topografi yang sangat sulit dan kondisi sosial-kemasyarakatan yang masih lengket dengan budaya dan kultur masyarakat yang kebanyakan beretnis Melanesia tersebut.

Buku ini juga boleh menjadi persembahan karya intelektual Paskalis Kossay, anak (gunung) Papua di tengah kesibukannya sebagai wakil rakyat di Gedung DPR/MPR, kawasan Senayan, Jakarta. Buku ini, layak dibaca dan diperlukan siapa saja dengan harapan agar dapat mencermati dan memberikan sumbangan ide dan gagasan demi kemajuan Tanah Papua. Pada akhirnya, Papua tetap hadir di hati.

Buku ini sekaligus menjadi referensi penting bagi siapa saja yang kebelet jatuh cinta dengan benua di timur Indonesia beserta dinamika sosial, politik, dan pertahanan keamanan yang menyertainya. Buku ini–meminjam motto Tempo– enak dibaca dan perlu. Anda setuju? 
Sumber: Papua Pos, 29 Agustus 2013
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger