Headlines News :
Home » » Belabaja, Desa Kota di Selatan Lembata

Belabaja, Desa Kota di Selatan Lembata

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, February 09, 2012 | 8:37 AM

JUMAT (28/10 2011) siang, cuaca di langit Belabaja cerah. Panorama desa di kaki Gunung Labalekan, Kecamatan Nagawutung, Lembata, Nusa Tenggara Timur, indah dipandang mata. Rasa lelah yang bersarang sehari sebelumnya dari Jakarta-Kupang dan Kupang-Lewoleba pada Jumat (28/10) pagi dan melanjutkan perjalanan ke Belabaja seolah terobati tatkala menyapa desa yang bersih dan indah di selatan Pulau Lembata tersebut.

Perjalanan Lewoleba menuju Belabaja di selatan Lembata sejauh 24 kilo meter ditempuh dua jam lebih. Bagi pengunjung yang baru pertama kali mampir di desa Belabaja, perlu menyiapkan fisik dan mental.

Bus kayu yang melintasi rute ini bakal berjibaku dengan medan jalan berbatu, jalan berlubang, dan tikungan maut. Namun demikian, mata pengunjung bakal disuguhi panorama desa mungil yang alamnya sangat kaya dengan tanaman niaga seperti kemiri, kopi, kelapa, mete, dan lain-lain.

“Belabaja kerap disebut sebagai ‘desa kota’ di selatan Lembata. Hampir delapan puluh persen rumah penduduk permanen. Alamnya indah. Warganya ramah terhadap pengunjung. Mereka akan proaktif menjelaskan kekhasan desanya,” kata Alfonsus Yosef Perawin Pukan, Kepala Desa Belabaja.

Belabaja juga merupakan salah satu desa di jalur lalulintas wisatawan menuju Lamalera yang sudah dikenal dunia dengan atraksi penangkapan paus secara tradisional atau lefa. Kebersahajaan dan kesederhanaan penduduk desa ini pun menjadi daya tarik lain para pekerja media lokal, nasional bahkan internasional.

“Foto petani Belabaja yang baru pulang dari kebun pernah dimuat situs berita online sebuah radio di Belanda. Ini salah satu bukti kecil daya tarik desa dan warganya. Sayangnya, ruas jalur menuju Belabaja sebagian besar belum diaspal. Warga berharap agar segera mendapat perhatian pemerintah,” ujar Alfons Perawin.

Keindahan alam Belabaja diutarakan Cahyo Adji wartawan majalah EVENTGUIDE, milik pengusaha nasional Siti Hartati Murdaya yang juga pemilik Arena Pekan Raya Jakarta. Cahyo, wartawan lulusan STF Driyarkara, sempat mampir dan mengelilingi Belabaja pada Maret-April 2010.

“Alamnya indah. Udaranya pun dingin seperti Puncak, Bogor. Hasil pertanian dan perkebunan melimpah. Sayang, potensi desa tak sepenuhnya punya nilai ekonomi karena ruas jalan ke desa ini belum diperhatikan serius. Pemerintah setempat perlu bekerja keras mencari dana pusat di luar DAU maupun DAK,” kata Cahyo.

Eks seminaris kelahiran Yogyakarta ini mengaku diundang praktisi asuransi nasional asal Lembata, Pius Kia Tapoona, untuk melihat dari dekat obyek wisata Lamalera. Ia mengaku, Lamalera dan Belabaja memiliki potensi alam dan budaya yang perlu terus dikembangkan sebagai destinasi wisata.

“Obyek wsata desa nelayan Lamalera sudah mendunia. Sekarang tinggal bagaimana Pemkab dan dinas terkait mengemas event atau ekspo yang melibatkan praktisi atau pelaku pariwisata. Melalui event itu mereka bisa ikut mempromosikan pariwisata Lembata,” katanya.

Alfons Perawin menambahkan, masyarakat desa Belabaja juga dikenal dengan tradisi gotong royong. Hampir semua warga masyarakat entah di lingkup dusun, RT, RW, maupun komunitas kecil dan keagamaan memiliki kelompok khusus dan selalu bahu membahu dalam bekerja. Misalnya, mengerjakan kebun, membersihkan tanaman niaga  atau membangun rumah. Bahkan secara bersama merapihkan setiap lorong di desa.

Keunggulan desa lainnya juga mudah dilihat. Di sisi kiri dan kanan jalan desa ditanami kembang maupun tanaman hias lainnya. Di setiap halaman rumah ditanami pohon mangga, avdokat, dan kelapa yang bisa berbuah dengan ketinggian 1-3 meter. Pohon kelapa ini memberi kesempatan bagi kaum pria menyadap tuak (nira) yang menjadi minuman khas desa.


Desa wisata

Belabaja adalah salah satu desa, selain Lamalera A, di Lembata yang masuk wilayah sasar Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri bidang pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Tahun Anggaran 2010.

“Bantuan dana PNPM bidang pariwisata sangat membantu kelompok-kelompok masyarakat mengembangkan seni, tari, dan kegiatan-kegiatan kreatif lainnya untuk meningkatkan ekonominya,” lanjut Alfons Perawin.

Sementara itu Sekretaris Desa Belabaja Joseph Enga Alior menambahkan, bantuan dana PNPM bidang pariwisata sebesar Rp. 70 juta tersebut digelontorkan awal Oktober 2011. Tiga kelompok masyarakat yaitu Sanggar Seni Tari Lima Lia pimpinan Markus Klobor, Sanggar Meubeler Tuakwutun pimpinan Ignas Pukan, dan kelompok Tenun Ikat Labalekan pimpinan Ny Tuti Atanasius Daton.

“Tiga kelompok kecil itu akan menjadi semacam proyek percontohan atau pilot project menggerakkan kelompok-kelompok kecil lainnya di bidang kuliner, seni tari, dan kerajinan warga. Sambutan warga atas program kementerian ini sangat besar,” ujar Enga Alior, yang juga seorang seniman lokal.

Ignas mengakui, setelah menerima dana pengrajin mebel ini menggerakkan anggotanya mengerjakan lima set kursi dan meja berbahan baku bambu. Dalam waktu tak kurang dari tiga bulan langsung dibeli.

“Satu set kami sempat simpan di gudang sebagai sample. Satu set lagi kami pajang di kantor desa. Namun, tak lama berselang langsung dibeli konsumen. Ini tentu menyemangati kami,” ujar Ignas, pengrajin yang pernah sekolah di SMA Syuradikara Ende, Flores.

Hasil karya anggota kelompok Tuakwutun ternyata juga diminati Wakil Bupati Viktor Mado Watun, yang langsung memesan tiga set. Namun, oleh karena proses pembuatannya perlu ketelitian dan memperhatikan aspek seni maka baru satu set dikirim ke rumah orang nomor dua di Lembata tersebut.

“Pesanan Pak Wakil Bupati baru kami penuhi satu set karena proses finishing-nya butuh ketelatenan dan membutuhkan sentuhan seni agar tidak mengecewakan konsumen. Setelah itu kami akan segera mengirim dua set lain. Kami berharap ada dukungan lebih lanjut dari dinas terkait, terutama Dinas Koperasi dan Perindustrian. Termasuk pihak perbankan. Kami dengar Kredit Usaha Rakyat yang tak memerlukan agunan,” lanjut Ignas.

Ny Tuti menambahkan, ia dan anggota kelompoknya mengapresiasi kebijakan kementerian melalui program desa wisata karena benar-benar bertujuan positif yaitu ikut mengembangkan kapasitas masyarakat, menciptakan lapangan kerja dan usaha di bidang pariwisata.

“Pendapatan kami mulai nampak dengan adanya kegiatan kerajinan tenun ikat. Kalau ada tamu, kami menyiapkan souvenir berupa sarung, selendang atau kuliner karya anggota. Kami sadar program ini positif dan ke depan perlu diteruskan. Jumlah desa wisata juga perlu ditambah agar upaya pemberdayaan ekonomi warga makin merata,” kata Ny Tuti, pengrajin tenun ikat kelahiran Ende.

Pada bagian lain, Markus, pensiunan guru yang juga seniman lokal mengakui, melalui programa desa wisata masyarakat selaku sebagai subyek dalam keseluruhan gerak pembangunan dapat menjadi pelaku aktif di desa yang menjadi salah satu destinasi wisata.

“Kita tahu bahwa pariwisata merupakan industri yang melibatkan masyarakat secara langsung. Kehadiran program ini kami rasa efektif dalam ikut mendorong pemberdayaan masyarakat memajukan desa selaku destinasi wisata dan menggerakkan perekonomian warga,” ujar Markus.

Pada 18 Desember 2011 lalu, sanggar seni yang ia pimpin menggelar konser seni di gedung lama TK St Don Bosko Boto. Sejumlah lagu dan tari daerah disuguhkan dalam konser tersebut.

Acara bertambah semarak karena ditonton langsung Wakil Bupati Mado Watun, Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wens Pukan, dan rombongan dari kabupaten serta aparat dan masyarakat desa Belabaja dan Labalimut (Boto).

“Kami sangat bangga karena konser ini mendapat dukungan Pak Wakil Bupati dan aparat desa Belabaja. Melalui konser ini, kami juga ingin buktikan bahwa selalu ada inisiatif masyarakat mengembangkan seni tari dalam ikut mendukung kegiatan kepariwisataan daerah,” kata Markus.

Namun, ia menambahkan bahwa kesulitan yang dihadapi selama ini terletak pada dukungan pemerintah melalui kementerian terkait. Pihaknya mengapresiasi program desa wisata dengan harapan agar tetap dipertahankan bahkan desa yang belum tersentuh ditambah untuk ikut menggerakkan ekonomi masyarakat.

“Masyarakat antusias menyambut program ini. Saat monitoring dan evaluasi program ini, mereka minta agar desa penerima dipertahankan dan jumlah desa ditambah lagi tahun anggaran berikutnya,” jelas Dion Wutun, Kepala Bidang Pariwisata Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Lembata.
Ansel Deri
Ket foto: Hamparan pohon kemiri (gbr 1) dan salah satu lorong (gbr 2) di Belabaja serta anggota Sanggar Lima Lia: Thomas Tode Assan, Joseph Bala Assan, Damianus Demong Klobor, Petrus Podu Wuwur, Alex Wutu Kapitan, Dominikus Bala Assan, dan Jeremias Kedati Klobor, bersiap tampil menyuguhkan tarian di depan kantor desa menyambut tamu dari kabupaten (gbr 3).
Sumber teks: Flores Pos edisi 22-23 Februari 2012
Foto: dok. pribadi
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger