Oleh Benni
E. Matindas
Dosen
Filsafat &
Direktur Sanggar Intelektual Jakarta
Direktur Sanggar Intelektual Jakarta
Tepat
50 tahun silam, September 1963, jurnal bulanan Sastra terbit dengan memuat pernyataan sikap sekelompok seniman,
budayawan dan cendekiawan yang pada masa itu terhitung melawan arus. Pernyataan
tersebut diberi tajuk Manifes Kebudayaan.
Kemudian lebih terkenal dengan akronim “Manikebu”,
yang justru diberikan oleh lawan mereka –tentu saja dengan muatan nada menista.
Dan memang Manikebu langsung diserang habis-habisan bukan saja oleh para
intelektual di kubu Lekra (Lembaga
Kebudayaan Rakyat, ormas seniman dan budayawan di bawah Partai Komunis
Indonesia/PKI), juga oleh sejumlah intelektual dari dunia akademik maupun
birokrasi yang seperti biasanya memang mesti menjilat pada penguasa. Bahkan Manikebu diposisikan sedemikian rupa
sampai bisa jadi santapan pengganyangan aksi-aksi massa yang kendati tak
mengerti samasekali apa masalah kebudayaan yang mereka teriakkan dengan caci-maki
dan kutuk itu. Puncaknya, Presiden Sukarno sendiri, yang juga mengutuk keras,
mengumumkan larangan resmi atas Manikebu!
Itu
memang pertarungan. Walau perhadapannya berupa, di satu pihak sekelompok kecil
seniman dan cendekiawan yang hanya berusaha menyelamatkan diri, sehingga dalam
segala hal berada dalam posisi serta sikap mempertahankan diri, berhadapan
dengan kelompok seniman yang, dengan didukung kekuasaan politik besar, sangat
bernafsu mengganyang serta mengenyahkan lawannya. Kelompok kecil Manikebu
mulanya hanya berusaha mempertahankan pandangan diri mereka yang diyakininya
sebagai masih mengandung kebenaran yang penting, tapi pandangan itupun
diganyang, tak diberi hak hidup. Dan para pemilik pandangan itupun mesti
diganyang habis.
Keharusan
Mengabadikan Dialog
Kini, rentetan
peristiwa yang sudah lebih bersifat politis itu terasa telah sangat jauh
berlalu. Masih pada hari-hari itu saja beberapa penanda tangan Manikebu sudah
menempuh usaha-usaha untuk menunjukkan –dengan pelbagai argument yang memang
sah nan logis– bahwa pihaknya sebetulnya tidak sepenuhnya anti terhadap apa
yang didukung atau diperjuangkan lawannya. Sehingga ketika tepat dua tahun
berikutnya terjadi peristiwa G30S yang disusul pengganyangan luarbiasa keji
telengas atas orang-orang PKI beserta Lekra, dan para Manikebuis yang memang
cuma segelintir sangat kecil itu sudah merasa cukup ‘terbalaskan’, mereka pun
tak lagi merasa perlu buat ‘memperpanjang masalah’.
Sesungguhnya
peristiwa Manikebu, sebagai sebuah entitas sejarah, bagi kita kini maupun
generasi-generasi nanti tentu butuh disimak. Terlebih lagi, bukan saja
pembelajaran dari sejarah memang merupakan kebutuhan alamiah yang penting,
melainkan pula karena ini mengenai [tidak kurang dari:] gagasan-gagasan
filsafat. Mengenai dunia pemikiran, bukan semata soal kasak-kusuk politik. Mengenai
kebenaran. Ya, mengenai fondasi-fondasi yang di atasnya peradaban bangsa kita
dipertaruhkan tinggi-rendahnya, kerdil atau unggul berjaya. Lagi pula
pertarungan ide-ide di sekitar peristiwa tersebut memang belum pernah
diselesaikan secara memadai.
Realisme-Sosialis
vs Humanisme Universal
Terdapat
sederet faktor yang menyebabkan Manikebu tak hendak dikenang sebagai sejarah
perhadapan filsafat Realisme-Sosialis versus
Humanisme Universal (pada masa itu masih menggunakan istilah dari kebiasaan
warisan bahasa Belanda: Humanisme Universil). Kehendak negatif itu bersumber
dari para Manifestan sendiri, dan itulah yang harus terwujud karena pihak
seberangnya (Lekra) sudah tak ada, tak bisa bersuara, sudah diberangus dan
bahkan dihabisi dalam arti harfiah seiring dan untuk berdirinya rezim
militerisme Orde Baru.
Kelompok
Manikebuis yang kemudian menjadi penulis-tunggal sejarah tersebut tak hendak
mengenang Manikebu sebagai sejarah pertarungan filsafat Realisme Sosialis vs Humanisme Universal, itu disebabkan sederet
faktor yang berjalin-berkelindan. Dapat disebut pertama ialah, kondisi
ideologis dari para ideolog utama Manikebuis yang masih hidup cukup panjang
setelah 1965, yakni HB Jassin, Wiratmo Soekito, Arief Budiman dan Goenawan
Mohamad (Trisno Sumardjo telah wafat April 1969). Pasang-naik sangat tingginya
apresiasi terhadap filsafat kiri, dan dengan sendirinya juga terhadap Realisme
Sosialis, melanda dunia intelektual hingga beberapa dekade. Neo-Marxisme, New-Left, Mazhab Frankfurt,
Falsafah Teori Kritis, Teologi-Teologi Pembebasan, dan
seterusnya, bahkan sejumlah pemikir besar tegas memasang label Marxis Ortodoks, semuanya tampil begitu
agung dan berpengaruh kuat. Merasuk ke semua bidang dan disiplin ilmu. Bahkan
PBB sejak akhir 1960-an mencetuskan sederet resolusi berhaluan kiri; antaranya The New International Economic Order untuk
melawan kapitalisme. Sebagai kaum intelektual papan atas, dan yang berkejujuran
ilmiah, para Manifestan tentu mengapresiasi dan terbuka terhadap karya-karya
pemikiran penting tersebut, dengan kadar yang berbeda-beda. Arief Budiman [saat
menandatangani Manifes masih bernama Soe Hok Djin] kemudian sudah kokoh sebagai
eksponen Sosialisme, dengan kadar yang bahkan boleh dipastikan melebihi
Pramudya Ananta Toer dan mungkin Nyoto sekalipun. Wiratmo Soekito sejak awal
pegandrung eksistensialisme Sartre, sementara Sartre untuk masa yang cukup lama
itu selalu berbaris terdepan dalam aksi-aksi massa kaum Marxis Eropa. HB Jassin
pun sejak jauh sebelumnya memang memiliki pandangan kritis terhadap Humanisme
Universal, dengan atau tanpa memosisikan falsafah Humanisme Universal tersebut
dalam genre Liberal yang berhadapan dengan Realisme Sosialis yang berada dalam
genre Marxisme. Goenawan Mohamad pelahap bacaan penting dan secara kodrati
cenderung berpihak pada kaum kalah serta terpinggirkan itu sudah pasti amat
mengapresiasi pemikiran-pemikiran radikal pro-kaum tertindas, dengan kadar
serta caranya sendiri. Ini terbaca jelas pada sangat banyak tulisannya. Ditambah
sejumlah pernyataannya yang eksplisit tak lagi membela Humanisme Universal (–apalagi
ditambah dengan: [1] Pandangan filosofisnya sendiri yang selalu condong menolak
universalisme; [2] Pengaruh
Post-Modernisme padanya telah harus membuatnya tak lagi memandang Humanisme
yang mengandalkan pemikiran rasional
itu sebagai ideologi suci nan herois sebagaimana awal kehadirannya beberapa
abad silam).
Sejak
awalnya, motif perlawanan mereka, sebagaimana jelas dari sangat banyak ungkapan
HB Jassin dan Goenawan Mohamad di kemudian hari, hanya terutama terhadap
rezimentasi proses kreatif –yang merupakan pengekangan kreativitas– yang mereka
tuding “politik sebagai panglima”. Demikianlah motif utama perlawanan para
seniman di seberang Lekra dan penguasa ini. Selebihnya, ya, sederhana saja
yaitu memang pada dasarnya sudah ada apriori negatif yang amat tegas terhadap
kelompok yang dipandang “anti-Tuhan”.
Manifestan
lain tak disebut di sini karena “nyaris tak terdengar” dalam soal argumentasi
ideologis Realisme-Sosialis vs
Humanisme Universal. Dan mengingat kenyataan mereka adalah para intelektual berkaliber
di atas rata-rata maka bolehlah disimpulkan bahwa sikap diam mereka bermakna:
apresiasi terhadap ideologi yang dulu diperjuangkan lawan mereka. Bur Rasuanto,
misalnya, sementara puisi-puisinya yang ditulis di era ’66 saja sudah jelas
bernada pro-rakyat kecil [memang rakyat tak hanya ‘milik’ Lembaga Kebudayaan
Rakyat], disertasi doktornya kemudian pun mengangkat tema pro-keadilan sosial.
Penentangan radikal terhadap ekonomi liberal.
Dalam
hal bentuk, sejumlah puisi Bur Rasuanto pun, sebagaimana Taufiq Ismail, tak ada
bedanya dengan karya-karya paling umum dari para penulis Lekra dan
simpatisannya. [Malah banyak telaah yang mengatakan puisi-puisi Sitor
Situmorang –eksponen LKN (ormas seniman PNI yang Sukarnois, yang waktu itu
jamak bergandengan tangan dengan Lekra)– di kala itu justru lebih liris].
Itulah mengapa di kemudian hari, terhadap HB Jassin yang menabalkan eksistensi angkatan
baru dalam sejarah kesusastraan Indonesia, yakni Angkatan 66, dan menggolongkan
karya-karya Taufiq Ismail dan Bur Rasuanto ke dalam situ, Putu Oka Sukanta yang
pengarang ex-Lekra mengajukan kritik berganda-bertingkat: gaya Taufiq dalam
puisi-puisi era ‘66 itu tak beda dengan karya-karya penulis Lekra yang dulu
diejek “sloganistis”, itu artinya HB Jassin membuat penggolongan angkatan bukan
berdasar gaya seni yang samasekali baru, melainkan hanya berdasar golongan
politik si seniman, dan dengan demikian Jassin pun sudah melakukan apa yang
dulu ditolaknya dari sikap Lekra yakni menjadikan politik sebagai panglima atau ukuran berkesenian.
Itulah
penjelasan tentang tak hendaknya lagi kelompok Manikebuis melanjutkan polemik
ideologis terhadap Realisme-Sosialis. Juga bahkan untuk sekadar merenda
kenangan indah tentang Humanisme Universal-nya mereka sendiri. Terutama karena
memang sejak dulu di antara mereka sendiri sudah terdapat pandangan kritis
bercampur kurang jelas mengenai paham tersebut. Jadi memang pihak Manifestan
sungguh tak hendak membahasnya dalam dialog kritis yang berhadap-hadapan frontal.
Malah sebaliknya, terlebih pasca-rezim Orde Baru, orang-orang Lekra-lah,
bersama amat banyak simpatisan mudanya, yang gencar membuka lagi front
tersebut.
Dialog
kritis Realisme-Sosialis vs Humanisme
Universal, juga dialog kritis setiap kita dari perspektif manapun terhadap
masing-masing ideologi tersebut sebagai konsep estetika maupun falsafah umum,
itu harus diteruskan. Sebab, sekali lagi, ini tidak sebatas soal sejarah yang
sudah selesai bersama waktu dan kita tinggal bercermin ke belakang supaya lebih
bijak melangkah ke depan. Ini pun bukan semata soal politik yang selesai dengan
menang atau kalah (Pramudya Ananta Toer dibuang ke Pulau Buru, lainnya
dipenjara, banyak aktivis Lekra di daerah terbunuh). Ini adalah soal ide-ide,
hal yang abadi dan mengabadikan. Di Pulau Buru pun Pramudya tetap menelorkan
karya-karya abadi yang sekaligus terbukti dibutuhkan zaman.
Butuh Humanisme
Universal
Istilah
“humanisme universal” tak tercantum secara eksplisit dalam teks kepala Manifes.
Istilah itu dicantum [konon oleh Wiratmo Soekito] dalam penjelasan.
Tapi
para Manifestan sendiri, sejak waktu itu, sebelum pasang naiknya apresiasi
terhadap paham lawannya (Realisme-Sosialis dan Marxian pada umumnya), sudah
punya paling sedikit dua pandangan tak positif terhadap apa yang disebut
Humanisme Universal itu. (1) Ada kritik terhadap kekurangan paham itu (yakni:
melemahkan nasionalisme yang padahal sedang dibutuhkan). Ini sudah ditegaskan
antara lain oleh HB Jassin sejak lama sebelum Manikebu. (2) Masih ada keraguan.
Pandangan yang belum matang, belum selesai secara asasi, mengenai paham ini. Sudah
di tahun 1980-an Wiratmo Soekito menilai sikap diri mereka dulu: naïf dan
amatiran. Mengenai nilai humanisme, belum jelas apakah mutlak berasumsi semua
manusia baik sementara kenyataan menunjukkan sering justru sangat jahat.1
Sekarang
kritik terhadap Humanisme Universal telah bertambah dengan yang lebih asasi:
(1) Sejumlah falsafah yang menolak universalitas;
[2] Telaah-telaah falsafah Post-Modernisme yang mendekonstruksi pengandalan
selama ini pada rasionalitas; sementara Humanisme dianggap mengandalkan
rasionalitas.
Apakah
lantas sekarang kita sudah harus meletakkan Humanisme hanya sekadar sebagai
barang rongsokan warisan masa lampau yang tak lagi dibutuhkan? Salah! Juga
salah bila menganggap kondisi di Indonesia pada era 1960-an itu tidak seperti Eropa di masa awal kehadiran
Humanisme sehingga beberapa Manifestan menyatakan bahwa bahkan Manikebu
sebetulnya tak butuh Humanisme.
Humanisme
[Petrarca, Erasmus, hingga Pencerahan/Kant]
harus dilihat pertama-tama dan terutama sebagai upaya pembebasan manusia dari
kungkungan ideologis. Entah itu kungkungan ideologis dari kepercayaan agama,
takhayul, tradisi adat yang dehumanistis, nilai budaya yang subhumanistis,
tradisi tatanan kekuasaan yang memonopoli sistem kesadaran manusia, segala pola
pikir yang hidup dalam masyarakat yang mengalienasi manusia, dan sebagainya.
Manusia harus dibebaskan, dan dengan itulah manusia dapat mandiri dan menjadi
dewasa dalam artian bisa mencapai taraf optimal daya-dayanya maupun kebahagiaan
eksistensialnya.
Pembebasan
manusia dengan tujuan demikian itu tak pernah tak dibutuhkan dalam zaman
manapun. Di masa lampau di Eropa, Humanisme dibutuh untuk emansipasi manusia
dari kungkungan tradisi kekuasaan gereja yang memonopoli alam pikiran, dari
belenggu takhayul, dan dari budaya feodalisme. Di masa Manikebu, manusia
Indonesia harus dibebaskan dari dominasi ideologi partai komunis dengan segala
paham utopis melanturnya yang merekomendasikan totaliterisme hingga memenjara
dan membonzai kreativitas seni. Dibebaskan dari dominasi ideologi
Serba-Revolusionisme. Hanya dengan emansipasi itulah manusia Indonesia dapat
mandiri dan menjadi dewasa. Dalam rumusan Manikebu: “perdjoangan untuk menjempurnakan kondisi hidup manusia”, sehingga
sanggup “mengembangkan martabat diri kami
sebagai bangsa Indonesia ditengah-tengah masjarakat bangsa-bangsa”. Di masa
sekarang manusia harus diemansipasi dari budaya industrialisme yang
me-reifikasi, budaya konsumerisme yang sangat merapuhkan kemanusiaan, budaya
komoditisasi yang sampai memperdagangkan politik, hukum, cinta dan hati nurani.
Di zaman sekarang manusia harus diemansipasi dari kepercayaan agama yang
dehumanistis. Pendek kata, humanisme tetap dibutuh!
Humanisme
harus dihayati terutama sebagai jalan pembebasan manusia, bukan terutama soal
rasionalitas. Rasio selamanya hanya alat bagi manusia dan kemanusiaan,
rasionalitas hanya alat dalam Humanisme. Dengan pembebasan seturut Humanisme
rasio manusia dapat dikembangkan seoptimalnya melalui apa yang disebut
pendewasaan dan pemandirian manusia demi kesejahteraan dan kebahagiaan puncak
umat manusia.
Bahkan
bila memang betul ada masalah pada sistem rasio manusia – sebagaimana diungkap
Heidegger dan terutama Derrida –itu harus dilihat sebagai: rasio kita yang
sudah bermasalah, dan karenanya harus dibebaskan dari ideologisasi oleh [kata
Derrida:] struktur bahasa, demi tujuan Humanisme: kebenaran, kemandirian, dan
pencapaian kedewasaan puncak kemanusiaan. Itu harus dibebaskan, termasuk rasio
Derrida sendiri yang kentara sudah terideologisasi ketika ia memperlakukan
bahasa sebagai metafisika [yang
padahal dikutuknya] yang dikira niscaya membelenggu semua manusia. Hanya
manusia yang tak kreatif yang memang akan dibelenggu, disesatkan dan diperbudak
bahasanya. Tapi bahasa tetap merupakan alat yang mengabdi pada kepentingan
manusia kreatif.
Pembebasan
dengan spirit Humanisme itu tetap dibutuh. Malah semakin di masa kini, untuk
membebaskan manusia dari belenggu dominasi ideologi dan budaya yang semakin
sukar dilawan. Di masa Manikebu, bahkan sesungguhnya lawan mereka (PKI) pada
dasarnya sedang memperjuangkan proses pembebasan seturut Humanisme dengan
menggunakan metode kritis Marxian yakni materialisme-historis-dialektis.
Sedang di masa kita sekarang banyak intelektual setuju dengan pembebasan
bermetode Neo-Marxis yang diusul Horkheimer dan Adorno sebagai jalan paling
memadai: dialektika-negatif.
Sudah
benar beberapa Manikebuis seperti Wiratmo Soekito mengangkat – dengan nekat2
– Humanisme Universal. Dan tak perlu diberi klausul seperti diajukan HB
Jassin (dan disetujui hingga kini oleh banyak orang) demi “kepentingan
nasional” yang masih dalam masa perjuangan. Klausul seperti itu hanyalah dalih
salah kaprah yang sama persis dengan dalih yang diajukan rezim totaliterisme
Orde Baru untuk menunda penegakan ide-ide universal HAM dan Demokrasi demi
“stabilitas nasional” agar bisa menjamin “pembangunan nasional bagi
kesejahteraan rakyat”; yang pada akhirnya terbukti tak mencapai semuanya baik
kesejahteraan rakyat maupun sistem politik yang matang dan stabil. Bahkan tata
politik yang anti-demokrasi itulah yang menyeret perekonomian bangsa ini
menjadi amat rentan krisis, lantaran tumbuhnya budaya tak unggul sehingga ekonomi
masyarakat lemah daya saingnya, kerdil daya inovatif, dan perekonomian daerah
kerdil inisiatif.
Yang
dilakukan Bung Karno lebih tepat. Bukan nasionalisme yang mengoreksi atau
memberi klausul atau menjadi premis khusus terhadap Humanisme Universal sebagai
premis umum, melainkan sebaliknya Humanisme Universal itulah yang bila
Nasionalisme diletakkan di dalamnya maka nasionalisme itu akan terkoreksi dan
terarahkan menjadi benar, hakiki, tak sempit. Sejak 1930-an Sukarno menjelaskan
koreksi atas nasionalisme itu dengan istilah sosio-nasionalisme. Dalam Pancasila, Humanisme Universal dikukuhkan
sebagai Sila-II setelah Ketuhanan.
Klausul
untuk menunda Humanisme Universal demi perjuangan bangsa, itu bukan saja secara
teoretis keliru tapi pula bukti sejarah sudah terlalu banyak menunjukkan fakta
bahwa bebas dari bangsa asing ternyata masuk ke dalam penjajahan oleh bangsa
sendiri yang sering lebih keji sekaligus lebih rakus tanpa kompensasi. Kalau
tidak mendahulukan pembebasan masyarakat dari segala belenggu ideologi dan
budaya yang membuat kita tetap tak berdaya. Dan sebetulnya, sebagaimana Lenin
pun sangat tahu –bersama Rosa Luxemburgh, John Hobson– penjajahan oleh bangsa
asing itu (imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme) tak lain adalah
penjajah dalam bangsa mereka sendiri melalui kapitalisme (sampai
kapitalisme-birokrat) yang berkembang sedemikian rupa sampai harus meluaskan
wilayah jajahannya ke bangsa-bangsa lainnya.
Jadi,
jelas, kapitalisme dan imperialisme serta neo-kolonialisme adalah kondisi
historis yang selamanya cenderung menjadi kondisi obyektif manusia di bangsa
manapun, jika pembebasan seturut Humanisme Universal tak berjalan atau gagal.
Dan dalam konteks dikotomi Humanisme Universal vs Sosialisme, Marxisme/Realisme-Sosialis, ingin ditegaskan:
Humanisme Universal adalah pula proyek Marxis, dengan metode Marxian ataupun
lain.
Cacat
Fatal Humanisme
Tujuan
Humanisme Universal adalah arah hakiki kemanusiaan. Tetapi, meski sedemikian
mutlaknya ia dibutuh, ia masih buntu! Selama ini, menyerahkan pengoperasian
Humanisme kepada jalan Kant, Marx, sampai Habermas, niscaya buntu belaka.
Pembebasan yang utuh tak pernah mungkin dicapai dengan semua jalan mereka,
bahkan sekadar membayangkan di atas paparan teorinya masing-masing.
Teori
Kant maupun semua Kantian serta Neo-Kantian tidak untuk praktis dan kurang
memadai sebagai praxis pembebasan. Jalan Hegel maupun semua Hegelian serta
Neo-Hegelian cuma sejenis mistik fatalisme sejarah, yang karenanya harus
membiarkan bahkan merestui sebagai kehendak Roh Absolut kehadiran segala tiran
yang dengan cara-cara primitif sangat kasar melancarkan proyek-proyek yang
mengalienasi manusia bahkan melenyapkan manusia dalam arti harfiah!
Bagaimana
dengan jalan Marx yang begitu memukau dan meyakinkan? Materialisme-historis-dialektis
Marx, maupun semua barisan derivatnya sampai Althusser, sudah terbukti tak
pernah tak buntu dan akan selamanya buntu. Dalam kehidupan sehari-hari dengan
mata telanjang pun kita selalu menyaksikan bahwa orang-orang yang paling gampang
hanyut tergulung dan teralienasi dalam mekanisme pasar kapitalisme yang sarwa-komoditisasi
itu ialah para persona-massa (bukan elite kultural) dengan ciri khas kurang
cukupnya kadar daya kreatif serta daya kritis –pokoknya ini adalah soal
kuasanya budaya– tetapi jalan yang lantas dirancang Karl Marx bukannya metode
kultural yang terarah (socio-cultural
engineering) melainkan menyerahkannya pada proses alamiah para buruh yang
lapar dan diharap makin beringas –proses materialisme-historis
yang dibayangkannya berlangsung secara niscaya sebagaimana hukum fisika dan
karenanya dibanggakannya sebagai “ilmiah”/scientific.
Teori hukum alam-nya Marx tersebut gampang dipatahkan Schumpeter dengan yang
lebih alamiah: buruh yang lapar itu bila dikasih makan dan dijamin biaya
sekolah serta kesehatan anak-istrinya pasti akan lebih beringas menghalau
tuntutan sesama buruh yang masih lapar…! Terhadap telaah Schumpeter tersebut,
pihak Marxian akan menangkis, dengan penjelasan Marxisme bahwa itu juga gara-gara
budaya alienatif sudah mencekam si buruh. Betul! Tapi, sekali lagi, kemampuan
Marx menjelaskan atau mengkonstatasi kondisi alienasi tersebut sudah sejak dulu
terbukti tidak serta-merta merupakan kemampuan memberi jalan emansipasinya yang
feasible dan tepat. Mengapa? Ya, itu tadi, tak konsisten melihat pada, dan
lantas mengandalkan, faktor budaya.
Dengan
menemukan teori bahwa kondisi ekonomi masyarakat melahirkan budayanya sendiri
[infrastruktur membuahkan suprastruktur], Marx dalam proses kreatif penyusunan
teorinya itu mengalami euforia sampai hanyut terjerumus pada kekeliruan
hermeneutis: sedemikian kuasanya infrastruktur [sampai bisa mengarahkan
suprastruktur: hukum, politik, negara, budaya, agama, cinta, dan segalanya]
maka untuk selanjutnya andalkan saja infrastruktur yang berlangsung secara
alamiah tanpa pengarahan selain dialektika. Kentara di sini betapa Marx, dalam
euforianya tadi, jadi balik lebih percaya pada gurunya dalam falsafah sejarah beserta dialektika (Hegel), dibanding gurunya
dalam materialisme (Feuerbach). Ia
begitu percaya pada proses sejarah yang niscaya berlangsung alamiah dan niscaya
berlangsung secara dialektis/reaktif-negatif (antitesis) yang diajar Hegel. Ia
sudah kurang percaya pada teori Feuerbach tentang proses yang berarah proyektif.
Buruh yang lapar dan melarat memproyeksikan angannya (suprastrukturnya) untuk
memiliki kekayaan melimpah serta kenikmatan
istimewa [bukan: sosialisme “sama
rata sama rasa”]. Buruh yang disesak dalam kemelaratan sampai mengalami
kesakitan fisik akan berangan untuk jangan ada lagi rudapaksa dan segala bentuk
ketaknyamanan fisik di dunia ini, maka tak ada revolusi dan segala pemaksaan
dalam angannya. Angannya bisa apa saja, pendeknya tidak niscaya mengarah pada
jalan satu-satunya: revolusi sosialisme. Bisa juga yang memang bersifat “reaktif”,
sehingga bolehlah dibilang sebagai “buah dialektika”, yaitu: angan dan bahkan
tekad untuk “kelak jangan lagi ditindas melainkan menindas [sebagai salahsatu
wujud kenikmatan istimewa yang
diangankan]”. [Di kemudian hari Sartre mengkritik keniscayaan teori hitam-putihnya
proses dialektika.] Faktor kenikmatan
istimewa itulah yang menggagalkan atau sekadar menjadikan tidak idealnya
pelbagai proyek kolektivisme dalam setiap eksperimen sosialisme sejak kelompok
komunis purba dalam sejarah awal gereja Kristen maupun agama-agama lainnya,
kemudian kelompok-kelompok Robert Owen dsb, hingga kamp-kamp kerja komunis di
negara-negara Marxis, sampai koperasi unit desa di negeri awak. Dan teori
tentang kenikmatan istimewa itu tak
cukup lagi dihadapi dengan teori para sosialis mutakhir yang mengatakan bahwa “sosialisme
adalah tatanan asli alamiah manusia sedang individualisme hanyalah bentuk
keliru dari perkembangan yang baru terjadi kemudian”, karena sesungguhnya kenikmatan istimewa adalah buah niscaya
dari kondisi paling ideal dari sistem kesadaran homo sapiens –yakni:
kreativitas– di samping hasil dari personalitas manusia yang luar biasa kompleks dan serba-mungkin itu.
Apa
sebenarnya yang terjadi pada sang infrastruktur sampai ia “mengkhianati” jalan satu-satunya
yang ditakdirkan oleh Hegel maupun Marx itu? Makhluk manusia adalah sosok yang
dilintasi kecenderungan-kecenderungan berarah baik dari semestanya.
Kecenderungan berarah baik itu, pada banyak pribadi tidak dirawat ataupun
dikembangkan oleh orang tuanya, guru-gurunya, budayanya dan para patronnya,
sehingga sudah mulai ditinggalkan sejak pelbagai pengalaman di sepanjang proses
pertumbuhan dan jalan usianya, yang berakibat jadi berkurangnya ia dalam hal
potensi mencapai keunggulan serta pelbagai kebajikan. Sehingga mereka gampang
hanyut dan tenggelam oleh pelbagai pengaruh eksternal, kesadarannya jadi
gampang terdominasi dan teralienasi. Tetapi fitrahnya sebagai makhluk manusia
tetap, dan itulah yang setiap saat dengan mudahnya dapat digerakkan oleh
pelbagai ajaran yang benar dan baik ataupun sekadar ingatan bawah sadar
mengenai nilai kebaikan dan pelbagai kebajikan. Dengan demikian ia mulai
memiliki arah tertentu dalam setiap sikap dan tindak yang bersifat alamiah,
termasuk ketika ia berangan-angan dan membentuk suprastruktur. Ada kala nilai
yang mengarahkannya itu lebih dalam kadar kebajikan dibanding apa yang
digariskan/diharapkan Hegel maupun Marx, adakalanya masih di bawah [tetapi akan
berkembang terus melalui interaksi kultural dengan individu lain dan masyarakat
lain], yang pasti ia sudah tak dapat dipastikan oleh takdir yang diteorikan
Hegel dan Marx.
Pokoknya
ini soal daya budaya. Maka cukup sering terjadi sebaliknya dari teori
“infrastruktur membentuk suprastruktur”-nya Marx. Sebagaimana diungkap Weber,
sebelumnya oleh Friedrich List, dan kemudian oleh banyak Weberian:
suprastruktur mengarahkan infrastruktur.
Dasar
kekeliruan Marxisme itu memang berpangkal dari Marx yang sudah mengelirukan
dasar filsafatnya. Ia meradikalkan materialisme sedemikian rupa sampai mengira serta
yakin bisa lepas otonom dari hakikat materi/partikel yang selamanya berada
menyatu dengan kecenderungan berarah tetap –yang kurang-lebih bisa kita
identifikasi sebagai “ide bawaan” atau ide
apapun.3
Penjelasan
tentang kegagalan jalan pembebasan Marxisme di atas tadi adalah pula
penyingkapan tentang kekeliruan utama Marxisme.4 Banyak kalangan
yang sebetulnya sudah lama tiba pada kesimpulan umum bahwa kekeliruan Marx
terjadi sejak ia memerosotkan humanismenya menjadi semata-mata ekonomisme. Tetapi
sifat holistis teorinya itu, ditambah tujuannya yang mulia, membuat orang
berusaha melupakan kesimpulan tersebut dan tetap berharap pada jalan Marxisme. Sekarang,
dengan penjelasan di atas –tentang keutamaan persoalan budaya tapi dipaksa
menjadi ekonomi belaka demi dasar falsafah materialisme– kiranya telah cukup
menerangkan secara tuntas.
Habermas,
seorang eksponen Marx Café, menawarkan
jalan pembebasan dan pencapaian kebenaran, di tengah sistem kesadaran manusia
yang sudah terdominasi segala ideologi. Yaitu aksi komunikasi bahasa, menuju masyarakat
komunikatif. Aksi komunikasi bahasa menghalau atau mensubstitusi teknologisasi yang selama ini telah
merancukan sistem pengetahuan dan pranata kehidupan sosial, sebab bahasa
dikembalikan posisinya ke atas sains dan teknologi. Bahasa pun diandalkan Habermas
karena –berdasar ilham dari penelitian psikologi Piaget, teori psikologi moral
Kohlberg, teori sistem sosial Parsons, dan pelbagai hasil penelitian
anthropologi– diyakini mengandung secara built
in kebajikan-kebajikan moral yang menjamin berlangsungnya proses komunikasi
ideal, tanpa distorsi, bebas dari pendominasian.
Tapi
jalan Habermas belum memadai. Kita boleh membenarkan bahwa bahasa dan
berkomunikasi adalah sesuatu yang mengandung unsur-unsur etika yang baik,
tetapi bahasa tetaplah sebagai alat yang dapat setiap saat diperalat oleh
segala kepentingan jahat, jadi alat dari konsep keliru, ataupun bahkan sekadar
kesia-siaan. Komunikasi, sebagaimana kenyataannya sejak dulu, tetap merupakan
sarana yang memberi kesempatan untuk upaya pembebasan dari belenggu dominasi
kesadaran tetapi juga untuk pembelengguan kesadaran serta pengerdilan jiwa.
Komunikasi
hanya akan dapat menjadi proses pelumeran segala dominasi jika para komunikan
memiliki daya kritis dengan kadar tertentu yang dibuahkan dari kecerdasan
kreatif. Komunikator tak memaksakan pendominasian atas orang lain karena faktor
kreativitas dalam jiwanya senantiasa membuat dia bersikap terbuka pada setiap
kemungkinan kebenaran dari luar dirinya. Lagi, dia adalah insan yang tidak
menganggap posisi berkuasa dan mendominasi itu sebagai nilai kebahagiaan utama
yang harus dikejar atau dipertahankan.
Dan
daya kreatif hanya bisa tumbuh dan berkembang dalam spirit humanisme dimana
manusia terposisi sebagai subyek melalui sikap dan tindak peduli sesama. Bukan
obyek yang melemahkan sendiri potensi-potensinya sehingga kemudian terdominasi
dan tak bisa berkembang daya kreatif dan daya kritisnya.
Kritik
atas Realisme-Sosialis
Realisme-Sosialis
adalah kredo berkesenian yang mengamanahkan setiap karya seni untuk hanya
diabdikan bagi kepedulian pada kehidupan real masyarakat dimana sebagian besar
rakyat terbenam dalam kemiskinan dan keterasingan akibat kungkungan
ketidakadilan struktural, agar seniman dapat memenuhi tanggung jawabnya dengan
menjadi bagian dari perjuangan-kelas demi pembebasan kaum tertindas dan
mencapai tatanan sosialisme –tata sosial tanpa kelas yang meraih kemakmuran
bersama setingginya dalam budaya yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan.
Ideologi
Realisme-Sosialis awalnya digagas serta dikembangkan oleh para pemimpin komunis
(termasuk Lenin) beserta ahli-ahli propaganda partai komunisme. Kemudian, di
tangan György Lukacs, mencapai puncak kematangannya sebagai konsep estetika
yang mudasir, koherens dan komprehensif. Lukacs sampai pada peletakan proses
kreatif seniman realis di dalam sistem obyektif kesadaran manusia dengan
mekanisme kodrati berarah etik yang benar. Kehidupan manusia secara
eksistensial adalah proses yang berlangsung bersama dan di dalam proses sosialnya
yang real. Proses kesadaran si seniman menyatu dengan realitas sosial dalam
kesatuan mekanisme dialektis yang mentransformasi kesadaran serta realitas
sosial itu. Sehingga pekerjaan berkeseniannya itu –sebagai proses pembebasan
diri dan sesama warga masyarakat– menyempurnakan kemanusiaannya secara niscaya.
Lukacs pun mendeskripsi anatomi proses bekerjanya karya sastra dalam sistem
kesadaran masyarakat manusia (yang teralienasi) hingga terkondisinya
pembebasan.
Amanah
bagi sastrawan untuk menjadi realis bersifat mutlak penting, karena mereka
adalah segelintir elit budaya yang diandalkan untuk bisa membuat terobosan
transformasi kesadaran tatkala masyarakat umumnya termasuk kebanyakan seniman
sudah tergulung hanyut oleh budaya kapitalisme yang sedemikian kuat merasuki
sistem kesadaran manusia.
Dialog
kritis akan kita tujukan pada Lukacs, karena posisi teorinya sebagai pilar
filosofis paling kuat dari kubu estetika kiri. Di luar soal bahwa Lekra dulu
tidak seutuhnya menggunakan Lukacs, termasuk dalam menghadapi kelompok
Manikebu; juga di luar soal Lukacs sendiri pun menolak banyak garis utama
politik kebudayaan partai komunis seperti PKI, di antaranya hal rezimentasi
politis dalam pengarahan produksi karya-karya seni.
Sekilas
teori Lukacs benar belaka, di samping bercita mulia. Lebih tepatnya, karena
sifat mulianya itu sehingga cita kita terdorong untuk segera membenarkannya.
Tapi ia, di samping banyak benarnya dan penting, ada sejumlah kekeliruan
fundamental.
Kita,
demikian juga seniman, sebagai manusia, realitas adalah memang realitas sosial
kita sendiri. Tetapi sumber isi kesadaran maupun arah kesadaran kita manusia,
terlebih lagi seniman, tentu saja tidak hanya realitas sosial kita itu. Sebab
jika begitu maka kita tak beda dengan binatang. Kesadaran (consciousness) membedakan kita dari umumnya makhluk lain, dengan
kesadaranlah maka manusia dapat melampaui kondisi historisnya, menjadi pengubah
histori, pembuat historinya sendiri, bahkan melampaui kondisi obyektifnya.
Terlebih lagi seniman yang berfungsi sebagai pemasok bahan baku kesadaran, yang
diambilnya –dengan kepekaan khas senimannya– dari alam imajinasinya yang bisa
saja sudah melayang sangat jauh dari pangkalan realitasnya. Makin jauh makin
hebatlah ia sebagai seniman; meski tidak berarti yang mengambil bahan baku
kesadaran itu langsung dari daratan real kehidupan masyarakat bukan seniman
yang hebat.
Seniman
tak boleh dipaksa untuk hanya mengambil subject
matter proses kreatifnya dari satu sumber tertentu saja –entah itu realita
sosialnya maupun Tuhannya, entah itu Revolusi Sosial yang kendati
menjanjikannya “sorga tanpa kelas di muka bumi” maupun Pembangunan Nasional
yang pula menjanjikannya “masyarakat adil dan makmur”. Seniman bisa saja
merasakan getaran sublime yang
luarbiasa ketika ia memilih subject
matter dari sesuatu dalam imajinasi liarnya yang kendati sangat abstrak dan
samasekali belum dikenalnya, atau memilih cuma sehelai daun kecil yang jatuh
ditiup angin dan terbiar di tanah, dan menunda untuk memilih kekasih pujaan
hatinya sebagai subject matter karya seninya. Tapi dengan memilih hal-hal kecil
seperti itu –yang bagi penilaian umum yang sudah terbelenggu
parameter-parameter pasar kapitalisme menjadi kelihatan sepele– bukan berarti
ia tak menjalankan fungsi serta tanggung jawab sosialnya. Lukisan sekuntum
bunga mekar tak kalah jasanya bagi penyejahteraan rakyat dibanding lukisan
petani revolusioner yang mengangkat bedil bukan cangkul. Malah bisa lebih
hakiki. Justru dengan memilih apa yang tidak digarap kebanyakan orang maka seniman
sejati tampil merintis tapal-tapal batas terbaru dan terjauh bagi kemungkinan
pencapaian kemajuan peradaban masyarakatnya. Juga, dengan begitu, sebelum hasil
karyanya berfungsi sosial, langkah proses kreatifnya itu sendiri sudah
meneladankan jalan pembebasan manusia dari alienasi dan segala bentuk lain
keterkungkungan ideologis.
Sementara
yang memilih subject matter dari
realitas sosial yang ada, apalagi jika dipaksa secara politik untuk
menghasilkan karya dalam bentuk yang sedemikian rupa harus eksplisit realitas
sosial maupun sosialis, mereka justru sering sudah tak lagi menjalankan fungsi
kesenimanannya yang hakiki, yang harus meretas kebaruan dan pembaruan.
Si
seniman pun sudah tak berbeda dengan misalnya pematung yang berkarya seturut
order proyek, sekadar cari uang [–yang justru sangat dikutuk oleh Karl Marx
Sang Dewa Realisme-Sosialis: kerja yang bukan lagi menjadi self-actualization untuk penyempurnaan kemanusiaan diri, melainkan
cuma diperintah pasar!]. Membuat patung atau ornamen penghias taman di rumah
orang kaya, atau penyair yang dibayar untuk merangkai kata-kata indah seturut
ukuran keindahan pemesannya buat diukirkan pada prasasti peresmian gedung baru.
Tentu saja itu tetap sah sebagai karya seni, tetapi di sisi lain, sisi yang
lebih hakiki, itu hanyalah semacam excuse
sejenak untuk berhenti ataupun menyimpang dari jalannya proses pemajuan
peradaban yang diperankan oleh seni yang harus terus-menerus berkreasi merambah
ufuk-ufuk baru terjauh.
Seniman
yang menjadikan realitas sebagai sumber ilham serta mewujudkan karya seninya
secara eksplisit realis, diejek: bukan si penyair yang menulis puisi penciptaan
realitas baru berdasar realitas yang ada, melainkan realitas yang ada itulah
yang menuliskan puisi buat si penyair….
Semua
pemaksaan atas wujud karya seni untuk harus berbentuk atau bercorak tertentu
hanyalah menghasilkan jiplakan yang bukan saja tanpa karakter tapi pula tanpa
nyawa, apalagi untuk mengharapkannya menjadi sumbangsih demi meluaskan
cakrawala pencapaian peradaban baru yang lebih memenuhi kebutuhan umat manusia.
Tatkala ekor penjiplakan dari senirupa propagandis partai komunis Uni Soviet
dan RRC itu memanjang sampai ke negeri kita, awalnya memang sempat ada kesan
takjub pada karya-karya poster serba raksasa itu karena baru, juga baru dalam
hal ide tentang buruh dan tani yang biasanya memelas kini tampil herois nan
garang. Tetapi karena karya itu hanya jiplakan dari jiplakan, selalu cuma
begitu-begitu saja, maka segera menimbulkan jenuh, kembung dan rasa mual –persis
seperti perasaan HB Jassin yang diungkapkan dalam suratnya yang ditujukan
kepada Pramudya Ananta Toer.
Tema
garapan seniman bukan dan tak boleh hanya satu-satunya saja: perjuangan revolusi
kelas tertindas. Jika tak mau memilih tema “kecil nan sepele”, bisa juga yang
besar lainnya, yang boleh jadi bertentangan dengan tema revolusi pertentangan
kelas, misalnya tema perdamaian. Itupun mulia. Meski orang Lekra akan
mengatakan “berdamai dengan kapitalis adalah bunuh diri”, kita tak perlu
buru-buru membalas “berdamai dengan kapitalisme memang ada kemungkinan beberapa
dari kita terbunuh, tetapi berdamai dengan totaliterisme yang atheis sudah
pasti semua kita langsung terbunuh jasmani dan rohani!” Keperluan terpenting
kita adalah kreativitas. Dengan itulah semua tujuan inti dan terbaik dari
revolusi sosial maupun perdamaian dapat terwujud benar-benar lebih pasti dan
pasti lebih benar.
Tema
“kecil”, “sepele”, bahkan abstrak tak dikenal, semuanya penting dan besar bagi
kemanusiaan sejati. Tema kecil sepele, tentang sehelai daun kecil yang lepas
dari dahan, setitik embun pagi yang amat gampang sirna, bila digarap dengan
penuh cinta akan sangat besar hasilnya bagi peradaban. Gerakan seni budaya
Romantik –dari mana Karl Marx justru tumbuh– berangkat dari situ. Dari
tengah-tengah kegelisahan para seniman yang merasa gerah dikepung gersangnya industrialisasi
yang menggusur keasrian alam negeri mereka.
Tema
sepele dan abstrak jangan pernah dikira sebagai sekadar mbalelo seniman terhadap mainstream politik “Revolusi”,
“Pembangunan”, “Keagungan Agama”. Dan jangan lagi mengira bahwa apa yang
dibilang “l’art pour l’art” itu ada landasan obyektifnya, walau bisa saja si
seniman berucap begitu. Berkarya seni adalah perwujudan etis oleh manusia
sebagai makhluk yang merefleksikan kecenderungan-kecenderungan berarah baik dan
bajik dari sistema semesta. “Seni tercipta di ruang illahi,” ujar Rabindranath
Tagore di India, juga diyakini Li Po, penyair dari pedalaman Tiongkok. Mungkin
kata-kata tersebut kedengaran berlebihan, tetapi berkesenian sebagai aktivitas
berarah tertentu yang diterima masyarakat dengan nilai baik itu pastilah
memiliki hulu terdalam kebaikan serta kebajikan.
Catatan:
[1]
Wiratmo Sukito, “Trisno Sumardjo dan
Manifes Kebudayaan” (makalah), sebagaimana dikutip dalam Goenawan Mohamad, Peristiwa “Manikebu”: Kesusastraan Indonesia
dan Politik di Tahun 1960-an, Refleksi, TEMPO, Mei 1988, hlm.29.
[2]
Lihat cacatan akhir no.1.
[3] Bab
5 manuskrip asli buku yang kemudian terbit sebagai: Benni E. Matindas, Meruntuhkan Benteng Atheisme Modern,
Yogyakarta: Andi, 2010. Terjadi kesalahan dalam proses editing buku ini,
berkenaan file dalam komputer, sehingga banyak menyimpang dari naskah asli.
[4] Di
samping kesalahan-kesalahan teori Marx yang lain, yang kurang relevan dibahas
dalam diskusi filsafat seni sekitar peristiwa Manikebu ini. Seperti teori
upah/nilai surplus Marx yang harus jadi keliru lantaran dibangun di atas teori
nilai/harga Adam Smith yang salah kaprah (Benni E.Matindas, Paradigma Baru Politik Ekonomi, Jakarta:
Bina Insani, 1998, hlm.220-231).

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!