
Oleh R William Liddle
Profesor Emeritus Ilmu Politik
Ohio State University, Amerika Serikat
Ohio State University, Amerika Serikat
Dalam sejarah demokrasi Indonesia, baru pada Pemilu
Presiden 2014 ada calon presiden yang menakutkan banyak orang. Kenyataan
tersebut mendorong berbagai pihak bersikap lebih waspada dan bertindak lebih
tegas agar capres itu tak memenangi pilpres secara tak patut. Akibatnya adalah
lembaga-lembaga demokrasi, baik formal maupun informal, makin kukuh dan
responsif kepada kemauan masyarakat.
Lembaga formal yang
saya maksudkan tentu terutama Komisi Pemilihan Umum (KPU). International
Foundation for Electoral Systems (IFES), yang sejak awal Reformasi memantau
dari dekat pelaksanaan pemilu-pemilu di Indonesia, menyimpulkan bahwa Pilpres
2014 adalah yang terbaik dari segi pendaftaran pemilih dan pengorganisasian
hari pemilu sendiri. Juga terpuji: keputusan KPU membuat proses rekapitulasi
transparan dari awal supaya bisa diikuti semua orang.
Selain KPU, polisi,
tentara, dan Presiden SBY ikut berjasa. Menjelang akhir proses rekapitulasi,
relawan capres Prabowo Subianto mulai memobilisasi kekuatan demi ”pengamanan”
pengumuman hasil pilpres.
Dalih berbau Orde
Baru itu dijawab langsung tiga ribuan polisi, termasuk pasukan berkuda, yang
disuruh mengelilingi kantor KPU. Panglima TNI menetapkan kondisi siaga tinggi.
Secara tidak langsung Presiden SBY mengajak ”semua pihak” (baca: Prabowo) agar
menghormati hasil pilpres.
Cemerlang realistis
Aktor informal yang
memainkan peran terdiri atas dua kelompok, masyarakat madani dan tokoh politik.
Sumbangan kedua-duanya patut diberi penghargaan paling tinggi. Mereka bertindak
atas sebuah visi yang cemerlang sekaligus realistis. Lagi pula, mereka
menyampaikan visi itu secara polos dan rasional.
Dalam konteks itu,
saya tentu tidak mau meremehkan peran pemerintah. Namun, pada akhirnya pejabat
pemerintah hanya memenuhi tugas, sementara perbuatan aktor swasta berdasarkan
sesuatu yang lebih dalam dan terpikirkan sendiri.
Kebangkitan
masyarakat madani sudah lama kentara, terutama setiap kali kewibawaan Komisi
Pemberantasan Korupsi terancam oleh pejabat dan politisi yang berkepentingan
sempit dan pribadi. Dalam Pilpres 2014, kasusnya banyak, termasuk pembelaan
terhadap kredibilitas hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei, kecaman
terhadap media massa yang melanggar kode etik, dan munculnya kawalpemilu.org
yang mengawasi rekapitulasi.
Validitas
metodologi hitung cepat sudah lama tertanam dalam budaya demokrasi Indonesia. Kalau
dilakukan lembaga profesional, penemuannya biasanya diterima khalayak.
Akibatnya, masyarakat tak mudah dihasut pihak tak berwenang. Tahun ini tim
Prabowo-Hatta mempersoalkan sejumlah lembaga survei yang tidak mengungguli
mereka. Untungnya, Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepi) langsung
bertindak. Dewan etik mengeluarkan dari keanggotaannya dua lembaga survei yang
tak bisa mempertanggungjawabkan metodologinya. Lalu, banyak akademisi dan
intelektual publik mendukung kecaman Persepi.
Kontroversi hitung
cepat juga berakibat buruk bagi sejumlah media, terutama Viva Group, yang
membawahkan TV One dan portal berita internet viva.co.id. Sebagai pembaca
setia, saya pun terkejut ketika membuka portal itu dan hanya menemukan hasil
hitung cepat lembaga survei yang bermasalah. Hukumannya berat: lembaga survei
ternama Poltracking Institute meninggalkan TV One; saham Viva Group anjlok di
bursa efek. Tampaknya para investor mendambakan pers tepercaya, salah satu
pilar utama demokrasi di mana-mana.
Peran teknologi
Kawalpemilu.org
didirikan Ainun Najib, ahli teknologi informasi muda di Singapura. Situs web
itu dipakai untuk mengecek kebenaran hasil rekapitulasi resmi. Ainun dan
teman-teman mengaku prihatin pada kemungkinan manipulasi dan terinspirasi oleh
keputusan KPU mengunggah semua formulir dari tingkat tempat pemungutan suara.
Keberhasilan mereka mengisyaratkan betapa alat dunia maya, seperti
crowdsourcing, Facebook, dan Twitter, dapat dimanfaatkan untuk memperkuat suara
rakyat dalam demokrasi modern.
Tokoh politik yang
paling berjasa kepada kukuhnya demokrasi dalam Pilpres 2014 adalah orang- orang
yang melanggar kepentingan mereka sendiri. Mereka merasa terpanggil mematuhi
standar perilaku politik yang lebih tinggi ketimbang ikatan partisan.
Contoh pertama: Abdillah
Toha, pendiri Partai Amanat Nasional yang mengimbau ketua partainya, calon
wakil presiden Hatta Rajasa, menerima hasil hitung cepat lembaga-lembaga
kredibel. Sayang, imbauan itu ditampik yang bersangkutan.
Tokoh paling
mengagetkan sekaligus mengagumkan adalah Mahfud MD. Seperti pendahulunya selaku
Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, integritas pribadi Mahfud tak
teragukan. Kiranya bersama dengan banyak orang, saya bingung ketika Mahfud
menerima tawaran Prabowo menjadi ketua tim sukses. Namun, pada akhirnya Mahfud
membuktikan komitmennya kepada negara hukum ketika memisahkan diri dari gugatan
Prabowo-Hatta ke MK.
Akhirulkata, di
Amerika polarisasi budaya politik belakangan ini semakin mencemaskan.
Kesenjangan pengertian tentang hal-hal yang amat mendasar antara Partai
Republik dan Demokrat tengah menggerogoti kemauan politik bangsa saya.
Kejujuran dan akal sehat semakin sulit ditemukan. Mungkin keprihatinan itulah
yang membuat saya lebih berapresiasi kepada apa yang saya lihat di Indonesia seusai
Pilpres 2014: sebuah masyarakat tempat anggotanya bersama-sama menggalang
kekuatan untuk menyelamatkan demokrasi. Hampir tanpa kekecualian.
Sumber:
Kompas, 25 Agustus 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!