
Oleh Ivanovich Agusta
Sosiolog Pedesaan IPB
BERATNYA amanat kepada pemerintah dalam Undang-Undang
Desa (UU No 6/2014) ataupun ketransmigrasian (UU No 29/2009) membuhulkan
relevansi pendirian Kementerian Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Apalagi secara faktual telah terjadi perubahan pola
pendorong transformasi desa sejak 1984, dari masyarakat kepada pemerintah.
Indikasinya, bantuan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam
anggaran desa mengisi 76 persen (total Rp 13,5 triliun) pada tahun 2011. Adapun
pendapatan dari dalam desa hanya mencapai 18 persen (total Rp 3 triliun).
Sayang, selama ini pemerintah kesulitan memandang
totalitas desa di Tanah Air. Miopia tersebut mencakup ketidaktahuan secara
pasti tentang jumlah dan tingkat perkembangan desa hingga kesulitan menemukan
kaidah beserta jalur pembangunan desa yang khas.
Kurangnya kesadaran tentang lanskap totalitas desa
menghasilkan perencanaan pembangunan yang minimal. Selama periode Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014, misalnya, 24 kementerian dan
lembaga berencana memasuki hanya sekitar 12.500 desa.
Ironisnya, 54 persen desa (42.000) dimasuki Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Selain bersifat ad hoc bagi swasta
(dibandingkan dengan kerja rutin birokrasi pemerintah), program yang disokong
donor luar negeri ini lebih mengedepankan kerja konsultan daripada pembangunan
desa sendiri.
Dari dokumen utang Indonesia kepada donor untuk PNPM
Mandiri Perdesaan periode 2012-2015, tertulis 69 persen utang (450 juta dollar
AS) ditujukan bagi konsultan pendamping dan tenaga ahli.
Program pemberdayaan yang bertujuan meningkatkan
kapasitas warga desa dalam persaingan pasar ini pun mengerucut kepada desa-desa
maju yang lebih mampu bersaing. Desa swasembada sebagai peringkat desa termaju
hanya berjumlah 3 persen dari semua desa. Namun, 65 persen lokasi PNPM
diletakkan pada kelas desa ini.
Berlawanan dari hal tersebut, desa swadaya masih
mencapai 46 persen. Sayang kelas yang setara dengan desa tertinggal ini hanya
dikunjungi 1-7 persen program pembangunan.
Kaidah pembangunan desa
Jumlah desa terus meningkat dari 69.000 tahun 2003,
70.000 tahun 2005, 75.000 tahun 2008, 80.000 tahun 2011, hingga diperkirakan
86.000 tahun depan. Namun, perencanaan yang minim dan kebijakan berbasis
persaingan antardesa di atas telah menyempitkan akses terhadap pembangunan.
Pada masa depan, kesalahan kebijakan itu perlu
diperbaiki sesuai dengan kaidah pembangunan yang khas tersusun dari kondisi
desa nusantara sendiri. Pertama, konstitusi dan beragam peraturan
perundang-undangan turunannya senantiasa mencantumkan visi kesejahteraan warga
negara sebagai tujuan akhir pembangunan. Berdasarkan visi itu, dapat diambil
kebijakan afirmatif yang disusun khusus bagi desa swadaya atau tertinggal, baru
selanjutnya diarahkan kepada desa swakarya atau desa transisi.
Kedua, peningkatan pembangunan berlangsung serupa
pada beragam tipologi desa. Landasan evolusi desa dalam kebijakan selama
ini—yaitu dari desa hutan menuju desa sawah lalu menjadi desa industri dan
jasa—ternyata tidak memiliki bukti-bukti riil di sini.
Sebaliknya, desa-desa persawahan, perkebunan,
pesisir, pertambangan, perindustrian, dan jasa ada yang berposisi tertinggal
sampai yang maju. Konsekuensinya strategi pembangunan desa dilarang seragam.
Keragaman kebijakan desa seharusnya disesuaikan dengan tipe geografi dan tipe
mata pencarian tersebut.
Ketiga, pola pelaksanaan pembangunan desa mencipta
kurva kecepatan S. Desa tertinggal ataupun desa maju secara relatif sama-sama
lambat berproses untuk membangun. Sebaliknya, desa swakarya atau transisi
justru sangat responsif terhadap umpan-umpan pembangunan.
Perbedaan pola kecepatan tersebut menimbulkan
kebutuhan diperbesarnya alokasi pembangunan bagi desa tertinggal. Adapun pada
desa-desa transisi perlu disusun kelembagaan pengawal perubahan sosial yang
sangat cepat.
Keempat, substansi pembangunan sendiri perlu
disesuaikan dengan peringkat desa. Statistika desa menunjukkan memang terdapat
substansi inti yang harus selalu tersedia, yaitu program kesehatan, layanan
transportasi, peningkatan kapasitas pemerintah desa, dan pemberdayaan
masyarakat.
Program air minum
Secara khusus pada desa tertinggal perlu ditambah
program air minum dan kelembagaan keagamaan. Pada desa transisi tambahan
program yang dibutuhkan lebih banyak lagi, meliputi listrik, pos dan
telematika, energi, pengembangan industri, kredit, perdagangan, lembaga
kemasyarakatan, dan permukiman. Desa-desa maju hanya perlu tambahan program
industri, energi, pendidikan, dan perdagangan.
Desa-desa transmigrasi selama ini mengikuti pola
serupa. Tambahan kekhasan di wilayah transmigrasi ialah dualisme masyarakat
lokal dan pendatang.
Untuk mengintegrasikan keduanya, lazim dikembangkan
transmigrasi swakarsa yang dikembangkan masyarakat sendiri. Di samping lebih
mahir mempertimbangkan potensi sumber daya lokal, transmigran swakarsa lazimnya
juga piawai menjalin hubungan dan menghindari konflik dengan warga lokal.
Sumber:
Kompas, 31 Oktober 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!