Oleh Suparto Wijoyo
Dosen Hukum Lingkungan
Universitas Airlangga Surabaya
Universitas Airlangga Surabaya
PEMBUNUHAN Salim Kancil, 52, warga Dusun Krajan II, Desa
Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Sabtu 26
September 2015, dan penyiksaan Tosan, 51, kawan seperjuangan Salim, sungguh
mengentak. Kejadian itu menyeruak melengkapi derita serta menyayat luka
komunitas bangsa.
Kematian Salim dan
penderitaan Tosan adalah tamparan keras kepada institusi negara secara
fundamental yang menyembulkan tanya: di mana arti sebuah negara, arti negara
hukum (rechtsstaat)? Mengapa negara sampai alpa dan memberikan ruang atas
kenyataan seperti itu, tanpa dapat dicegah? Di mana aparatur negara bertakhta
dan bertitah untuk mengamankan setiap jengkal tanah air kita?
Publik telah
menyaksikan peristiwa demi peristiwa yang memanggungkan lakon, negara ini
bagaikan tanah tidak bertuan. Laksana arena pertunjukan tanpa panitia. Rakyat
seolah jalan liar tanpa markah dan rambu penanda, tidak ada rule of the game.
Hukum dan
perangkatnya dikesankan seperti aksesori yang indah dipandang dan rapuh diraba.
Asap pekat masih terhelat di belantara Sumatera dan Kalimantan dengan akibat
yang dirasakan Singapura serta Malaysia.
Tindakan pembakaran
itu sudah berlangsung sejak 1971, bahkan menurut data Kepolisian Negara
Republik Indonesia, sejak era 1960an. Derita kabut asap tersebut mendera hampir
26 juta penduduk yang tersebar: 24 juta di Sumatera dan 4 juta jiwa di
Kalimantan.
Berapa ongkos
pengobatan dan biaya kesehatan yang dibutuhkan untuk mengatasi hal itu?
Peristiwa yang acap berulang selama empat dasawarsa adalah tindakan
berkelanjutan menistakan rakyat.
Apa pun yang telah
dilakukan instansi yang berwenang nyaris tidak berguna karena faktanya
pembakaran terus berlangsung. Tragedi berubah menjadi tradisi dan asap menjadi
azab yang menyengsarakan jutaan penduduk.
Korban pembakaran
itu jelas a mass of peoples, dan jangkauan wilayah yang luas, serta
penggerogotan terencana objek-objek vital negara. Kualifikasi kejahatan
terorisme atas peristiwa itu sudah terpenuhi sebagaimana dirumuskan UU
Terorisme.
Kejahatan lingkungan
dengan korban manusia, primata, maupun pepohonan sejatinya sudah diatur dalam
UU Lingkungan Hidup, UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Konservasi Tanah, dan
berbagai regulasi lain. Namun, apa yang dapat dilakukan negara selain menindak
setengah hati dan membiarkan separonya lagi?
Lingkungan hidup
yang baik dan sehat, menurut UUD 1945, adalah constitutional rights yang harus
disediakan negara. Karena itu, pencemaran udara dan penghancuran ekosistem
kehutanan di wilayah Sumatera dan Kalimantan merupakan wujud laku
inkonstitusional.
Dan, setiap
tindakan inkonstitusional pastilah memiliki konsekuensi yang mesti ditanggung
lembaga penyelenggara negara yang menjalankan konstitusi. Tatkala pemegang
amanat itu tidak sanggup mengemban norma konstitusi, apa yang sebaiknya
dilakukan? Kalaulah tidak ada jawabnya, haruskah kita berteriak: bakarlah
ladangnya, tambanglah isinya, dan bunuhlah warganya?
Konstelasi
pembakaran itu sejatinya melengkapi kerusakan tambang yang terpotret di
Kalimantan dalam semua sisinya dan Papua. Oh... oh... di Jawa juga demikianlah
adanya, juga di Sumatera dan Sulawesi. Tengoklah, bagaimana areal bekas tambang
dipelihara? Bagaimana reklamasi dilakukan?
UU Minerba, UU
Perindustrian, UU Perdagangan, dan berbagai regulasi sekitarnya tentu baguslah
adanya. Tapi, mengapa daerah tambang yang kaya raya itu sejurus waktu dan
setarikan napas yang sama dengan rakyatnya juga miskin?
Pasal 33 UUD 1945
mengajarkan bahwa kekayaan alam yang terkandung di dalam rahim ibu pertiwi
hanya berperuntukan tunggal: kemakmuran rakyat.
Belum mentas
problematika itu dientas, kini muncul pembunuhan di Lumajang yang bersandar
pada masalah tambang. Tambang pasir yang renik bijinya telah mengobarkan
permusuhan dan memuntahkan darah yang dikeramasi dengan lelehan air mata.
Sempurna sudah
realitas yang dipertontonkan dan dilakonkan di panggung Indonesia. Kesempurnaan
yang menggoreskan siksa dan melantunkan lagu-lagu kematian.
Nyanyian dan zikir
yang menyesakkan bukan penghibur yang penuh syukur tanpa jeda. Apa yang harus diperbuat
negara? Apa yang harus dilakukan pemerintah? Apa yang mesti diemban seluruh
rakyat Indonesia? Pasti banyak yang bisa diperbuat negara. Pasti jamak yang
dapat dilakukan pemerintah. Pasti beragam peran yang dapat dipikul rakyat.
Kita semua harus bersatu
menjaga marwah dan martabat republik ini. Negara ini harus bereputasi dan
pemerintah harus berprestasi. Berilah arti kepada hari esok bahwa NKRI ini
memang ada untuk rakyat Indonesia.
Pemerintah mesti
memberikan jaminan dengan sumber dayanya untuk melindungi seluruh tumpah darah
Indonesia. Itulah pesan konstitusi kita. Kalaulah itu masih kurang, Alquran
sejak abad ke-6 mendeskripsikan kehidupan manusia yang diciptakan dengan
bersuku-suku, berbangsa-bangsa, agar li ta’aarofu (saling mengenal), bukan saling
merusak atau menghancurkan. Inna Allaha la yukhibbul mufsyidien (sungguh Allah
tidak menyukai siapa saja yang berbuat kerusakan).
Sumber: Jawa Pos, 2 Oktober
2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!