Pengajar di Pascasarjana
Sosiologi Politik Universitas Padjadjaran
Sosiologi Politik Universitas Padjadjaran
SEJUMLAH aksi demonstrasi dan mobilisasi massa
beberapa waktu terakhir sungguh memprihatinkan. Ternyata bangsa ini begitu
rentan terhadap perbedaan. Padahal, takdir kita, sejak dari asal muasalnya,
adalah bangsa yang berdiri di atas kemajemukan suku, bahasa, agama, dan
kepercayaan, yang dipertautkan oleh cita-cita untuk merdeka dan perjuangan yang
sama: melawan kolonialisme.
Betul bahwa
kemerdekaan sosial politik yang kita dapatkan belum mencapai kemerdekaan sosial
ekonomi. Kesenjangan sosial dan angka pengangguran tinggi, pelayanan publik
buruk, dan, lebih getir lagi, korupsi bertambah dahsyat. Kita menjadi rapuh,
menjadi conflict-prone society alias masyarakat yang rentan konflik. Persatuan
dan rasa solidaritas sosial melemah.
Kebablasan
Sebagian
menuduh liberalisasi politik dan arah demokrasi kita sudah kebablasanserta
elitenya telah keblinger. Istilah keblinger dalam kamus politik Indonesia
dipopulerkan pertama kali oleh Bung Karno menjelang kejatuhannya, dalam pidato
terkait peristiwa 30 September 1965. Ia menyatakan, peristiwa traumatik itu
disebabkan oleh tiga musabab: pemimpin PKI yang keblinger, subversi
neokolonialisme, dan kelakuan oknum (militer) yang tidak bertanggung jawab.
Pada era
pemerintahan sebelumnya, kita disebutkan telah melewati fase transisi menuju
demokrasi. Mestinya saat ini kita sudah masuk fase pendalaman (deepening
democracy). Namun, demokrasi bukan hanya soal prosedural. Bukan ihwal
eksistensi partai politik, pilkada, pileg, atau pilpres. Demokrasi bukan
pertarungan politik, perimbangan kekuatan, atau permainan kuasa. Bukan!
Kita
memilih demokrasi agar semakin bersatu dan bermartabat sebagai bangsa.
Harapannya, demokrasi akan melahirkan kepemimpinan yang kompeten dan
sungguh-sungguh membela kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Terbebas dari
korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dengan
demokrasi, segenap kelompok masyarakat beserta hak-hak sipil yang menyertainya
akan dihormati, difasilitasi, dan diinstitusionalisasikan dalam berbagai proses
perumusan kebijakan publik. Namun, agar kokoh dan berkelanjutan, demokrasi
pertama-tama harus memperhatikan aspek spiritualitas dan sosio-antropologis
masyarakat kita. Demokrasi harus berangkat dari tradisi-tradisi otentik dan
nilai-nilai kebajikan dasar yang kita miliki dan sejalan dengan visi
sosio-ekonomi dan sosio-politik kita sebagai negara-bangsa yang memiliki
kebutuhan untuk bersatu dan berkembang secara sehat.
Terlebih
dalam situasi seperti sekarang, sejauh negara ini merdeka, kita justru semakin
yakin bahwa Pancasila harus menjadi satu-satunya basis landasan moral-politik
kita dalam menjalankan demokrasi. Apalagi demokrasi mewajibkan kehadiran upaya
pembangunan manusia (human capital) yang paripurna. Demokrasi membutuhkan
strategi kebudayaan yang meliputi aspek pendidikan, kesejahteraan sosial, dan
tanggung jawab kewarganegaraan sebagai inti kesadaran dan pergerakan sosial
kita. Kehadiran strategi kebudayaan ini tidak hanya meningkatkan kualitas
demokrasi, tetapi juga akan menentukan karakter, mutu, dan proyeksi masa depan
sebagai negara-bangsa.
Kita
melupakan bahwa demokrasi harus menjamin agar rakyat jangan hanya diposisikan
sebagai voter yang bisa dibeli, diajak demo, dimobilisasi, dan disuruh tawur.
Agar bisa bermanfaat dan dicintai, demokrasi harus berdampak positif pada
kemaslahatan dan kemandirian seluruh rakyat. Demokrasi membutuhkan fokus dan
arah kebijakan ekonomi yang mampu mengangkat harkat kesejahteraan rakyat secara
merata dan menyeluruh. Kita melupakan bahwa demokrasi sangat membutuhkan
penegakan hukum yang berwibawa, adil, dan tegas. Keagungan negara dan
efektivitas demokrasi di mata rakyat awam ditentukan dari persoalan penegakan
hukum yang konsisten. Sebagai mekanisme politik, the only game in town,
demokrasi tidak boleh mengorbankan stabilitas politik, aspek keamanan, dan
ketahanan nasional. Demokrasi yang sehat justru harus mampu meningkatkan
kapasitas negara dalam mewujudkan, melindungi, dan menjalankan regulasi yang
adil dan berdaya guna untuk seluruh rakyat.
Kelola
demokrasi
Mengelola
demokrasi dan kebebasan sipil adalah satu hal. Sementara mengelola efektivitas
pemerintahan, menjalankan negara, serta mengamankan kepentingan nasional adalah
sesuatu hal lain. Meskipun demikian, keduanya sesungguhnya saling terkait erat.
Mengelola
negara membutuhkan sebuah political order atau tata tertib politik. Pada tingkat
mengelola tata tertib politik ini, dalam tekanan masyarakat majemuk, kebanyakan
pemimpin kita melemah, simplifikatif, tidak sabar, gagal paham, dan tak sedikit
yang terjebak dalam godaan otoritarianisme.
Padahal,
kunci dalam mewujudkan tata tertib politik sekaligus institusionalisasi
demokrasi adalah penyinergian antara fondasi sosio-spiritualitas, nilai-nilai
dasar, dan moral politik yang kita pegang teguh sebagai sebuah bangsa, dan
implementasinya secara kreatif dalam sebuah keadaban politik dan
praksis-praksis dalam bernegara.
Presiden
Soekarno dulu pernah menawarkan konsensus politik bernama nasakom. Aliran dan
kekuatan politik disederhanakan menjadi nasionalis, agama, dan komunis yang
disatukan di bawah satu kepemimpinan politik. Nasakom yang kemudian gagal ini
dibuat untuk menghadirkan tata tertib politik dalam suatu konstelasi yang
ekstrem. Pelajaran dalam hal ini adalah pentingnya kombinasi kekuatan
nasionalis dengan kekuatan agama dalam mengawal kebangsaan kita.
Saat ini
komunis sebagai sebuah kekuatan politik yang eksis secara nasional sudah tiada
dan tidak diperbolehkan untuk ada. Di era kekinian mungkin singkatan
"kom" di situ bisa dimunculkan secara sosiologis merujuk pada
kekuatan "komunitas". Masifnya globalisasi dan media sosial telah
menghadirkan sejumlah gerakan sosial, aneka ekspresi pemikiran, dan gaya hidup,
khususnya di kalangan anak muda, kelompok kepercayaan/keagamaan transnasional,
serta entitas-entitas sosial ekonomi baru yang nyata berdampak dalam kehidupan
politik hari ini.
Tantangannya
kemudian adalah bagaimana mengelola demokrasi kekinian yang dinamis sembari
tetap fokus membangun negara-bangsa sebagai entitas ekonomi-politik yang
inklusif, bersatu, berkarakter, dan berkemajuan.
Setiap
negara yang ingin menyejahterakan rakyatnya harus memiliki visi dan arah
ekonomi-politik yang jelas serta komitmen yang teguh untuk menjadikan warga
bangsanya sebagai pemenang. Marilah kita berdemokrasi secara lebih bermutu dan
bertanggung jawab, dalam sebuah "hikmat kebijaksanaan", bukan yang
"gaduh kekeblingeran".
Sumber: Kompas, 17 Desember 2016
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!