Oleh Max Regus
Sedang Menyelesaikan Disertasi
"Human Rights Culture in
Indonesia"
di The Graduate School of Humanities
Tilburg University,
Belanda
Kekuatan HAM membuatnya mungkin untuk memperluas jumlah orang, orang
seperti saya, meraih kemerdekaan, kesetaraan, keadilan, dan kesejahteraan.
Navanethem Pillay, Komisioner Tinggi Komisi HAM PBB, 2008-2014
LAPORAN hasil
jajak pendapat harian umum Kompas (5/12) bertajuk "HAM di Tengah Kebebasan
Berpendapat" dapat menjadi satu pokok permenungan terkait Hari Hak Asasi
Manusia Internasional ke-68 yang kita rayakan baru-baru ini, Sabtu (10/12). Ini
berhubungan rapat dengan kegelisahan mendasar kita saat ini.
Membesarnya
kebebasan berpendapat di satu sisi justru tidak berbanding lurus dengan
"rasa aman" sebagian warga bangsa. Hal yang sama juga ada pada
laporan Freedom House yang saban tahun memosisikan persoalan kebebasan sipil di
Indonesia. Ini menjadi tantangan serius bagi masa depan HAM di negeri ini.
Jajak
Pendapat Kompas juga menyebut rasisme sebagai sumbu utama perusakan HAM. Kita
berhadapan dengan mesin pembunuh kemanusiaan bernama rasisme sosial. Penghinaan
sosial atas dasar ras menjadi sebentuk penodaan serius terhadap HAM. Rasisme
membentuk mata rantai perusakan terhadap kemanusiaan. Yang terus mengherankan
kita adalah kebencian rasial seolah menjadi bagian dari kegemaran sosial.
Sepertinya,
banyak orang dengan mudah terisap ke dalam arus serangan rasial terhadap
kelompok lain. Kebencian sosial terpompa dari ranah rasisme dan termuntahkan
secara brutal ke dalam amuk kekerasan sosial. Sebetulnya, jika dirunut lebih ke
dalam lagi, meredupnya rasa respek terhadap kesetaraan, keadilan, dan
kemanusiaan juga diakibatkan melemahnya pemerkayaan nilai-nilai utama
demokrasi.
Alasan
politis
Memang,
pada kenyataannya, politik dan kekuasaan turut menyumbang hal buruk terhadap
prospek perlindungan HAM.Kerakusan akan kekuasaan telah menjadikan basis
apresiasi sosial kian compang-camping. Semestinya, publik dapat membuka mata
bahwa serangan brutal terhadap kesetaraan sosial sebagian besar justru bertolak
dari ruang politik.
Ironisnya,
justru ruang politik ini niscaya membutuhkan legitimasi yang berasal dari
publik. Namun, ruang tersebut telah mengalami pendangkalan sekadar sebagai
arena kontestasi kesombongan para elite. Ketika "ruang penampungan"
itu melebihi ambang batas kontrol sosial, reproduksi penghinaan rasial selalu
memiliki alasan politis. Politik yang untuk sekian waktu terlalu banyak
berselimutkan kegemerlapan popularitas telah berhasil mendaur ulang keangkuhan
rasial.
Di titik
ini, publik berhadapan dengan "latensi" politik yang berbahaya. Hal
itu terjadi ketika keangkuhan rasial menyisir dan mengaduk sisi emosional
publik. Itu dijadikan tameng kukuh dalam menutupi sesat pikir politik dan
kekuasaan. Muaranya, publik diserang racun sosial berupa perusakan kemanusiaan
sebagian warga bangsa, sementara kelas elite menangguk keuntungan politik.
Dedikasi
Semestinya
peringatan Hari HAM Internasional tahun ini dapat membesarkan kembali ingatan
bersama kita akan kesetaraan dalam ruang kebersamaan sosial. Kita juga harus
merasa terpanggil untuk menunjukkan "dedikasi" yang lebih kentara
dalam membangun mekanisme perlindungan HAM. Ini harus menjadi kesadaran sosial
dan politik bersama. Itikad yang sama dalam membangun tata kelola politik yang
beradab juga tidak kalah penting.
Pada sisi
lain, lembaga-lembaga sosial, pejuang HAM, akademisi, dan intelektual niscaya
mengambil bagian aktif dalam memekarkan HAM, terutama dalam membongkar cara
pikir yang keliru tentang HAM, dan membantu banyak warga agar bisa menikmati
hak-hak dasar dalam keseharian hidup.
Sumber: Kompas, 16 Desember 2016
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!