Oleh
Daoed Joesoef
Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
KOMPAS memberitahukan
(7/12/2016) tentang pegelaran diskusi terbatas di Jakarta dengan tema
"Hukuman Mati dalam Teologi Agama-agama".
Diskusi berlangsung pada 6 Desember, dihadiri tokoh-tokoh organisasi dari berbagai agama. Diskusi berkesimpulan agar pasal-pasal pidana dalam pembahasan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak mencantumkan pidana mati.
Kesimpulan ini didasarkan pada empat premis pokok. Pertama, publik masih meragukan kinerja aparat hukum untuk menghadirkan keadilan. Kedua, hukuman mati belum terbukti menekan kriminalitas. Ketiga, hak hidup dijamin oleh Deklarasi HAM dan Konvensi Hak Sipil serta diakui dalam Pasal 28 Ayat (1) UUD 1945. Keempat, 142 negara sudah menghapus hukuman mati, yang masih mempertahankan, termasuk Indonesia, tinggal 44.
Iblis yang
dibutuhkan
Suatu
masyarakat modern yang menerapkan moratorium hukuman mati sebenarnya tidak
menyuarakan pesan tentang hak hidup, tetapi mengekspresikan suatu kerancuan
moral.
Betapa tidak.
Apabila kita mendorong moratorium dan penghapusan hukuman mati, sama artinya
dengan mengatakan kepada sang pembunuh bahwa apa pun yang dia lakukan terhadap
korbannya, miliknya paling berharga, yaitu hidupnya sendiri, tetap terjamin.
Dengan kata lain, hak hidupnya, kita jamin in advance, walaupun dia sendiri
telah melenyapkan hak hidup orang lain, tidak peduli apakah itu anak-anak,
perempuan, orang tua, atau penjaga keamanan.
Bangsa yang
mendeklarasi bahwa apa pun tidak akan bisa mendorongnya untuk berperang, cepat
atau lambat, akan menjadi sasaran rezim angkara murka. Maka analog dengan ini,
suatu masyarakat yang sok human, yang enggan mematikan penjahatnya yang
terburuk, akan menjadi bulan-bulanan penjahat yang seenaknya membunuh mereka
yang tidak bersalah.
Hukuman mati,
death penalty, bukan buah simalakama yang membuat kita serba salah. Ia
mengharuskan kita membuat pilihan, betapa pun pahitnya, demi kebaikan. Hukuman
mati ibarat iblis yang masih diniscayakan, a necessary evil. Perlu
dipertahankan dan dinyatakan in advance.
Kewajiban
asasi manusia
Benar bahwa
aparat hukum kita umumnya masih jauh dari sempurna. Namun, kekurangan ini bukan
penyebab kasus pembunuhan. Kita memang perlu menyempurnakan aparat tersebut di
samping memantapkan kesadaran hukum di kalangan warga, paling sedikit di
lapisan yang terdidik. Berarti, seperti praktik perkuliahan pada awal-awal
kemerdekaan, setiap mahasiswa dari disiplin apa pun wajib mengikuti kuliah
"pengantar hukum" dan diuji agar asumsi "everyone should know
the law" menjadi satu kenyataan. Dunia boleh runtuh, tapi hukum tetap
tegak. Dan, NKRI adalah negara hukum.
Benar bahwa
hukuman mati belum mengurangi kriminalitas. Namun, hal ini bukan berarti tidak
punya efek jera. Semua kriminalis yang tertangkap dan terbukti bersalah pada
minta ampun. Tidak satu terpidana pun mati yang senyum ketika menjalani hukuman
mati.
Yang tidak
jera adalah kriminalis yang belum tertangkap. Mereka nekat berbuat salah yang
terancam hukuman mati berhubung iming-imingan untung besar apabila tidak sedang
apes. Mereka bertindak sesuai teori peluang (probability theory).
Mengapa kita
selalu menonjolkan hak asasi manusia (HAM)? Jangan lupa bahwa di sebelah
"hak asasi" ada "kewajiban asasi" (KAM) sebab kedua
kebajikan tersebut adalah dua sisi dari koin yang sama. Yang merupakan masalah
moral bukan hanya the rights of man tetapi juga the rights of others, termasuk
the fundamental rights of the earth and the country (hak mendasar dari bumi dan
negeri). Berarti aku tidak punya hak, aku hanya punya kewajiban. Dan aku punya
hak hanya karena orang (pihak) lain. Jadi, makhluk manusia lebih dahulu punya
kewajiban dan hanya hak orang (pihak) lain yang diutamakan.
Presiden
Kennedy pernah berujar "ask not what your country can do for you; ask
what you can do for your country". Semua (sepuluh) perintah Tuhan yang
diterima Moses di Gunung Sinai bernuansa kewajiban, thou shall not.. Bagi orang
beradab (sila ke-2 Pancasila) kiranya diharapkan membicarakan dulu
"kewajibannya", baru sesudah itu menyuarakan "hak" yang terkait
dengan kewajiban tadi.
Benar bahwa
jumlah negara yang menghapus hukuman mati cenderung meningkat. Namun, bukan
berarti bahwa (pemerintahan) mereka lebih "human" daripada kita.
Berbeda tidak dengan sendirinya berarti lebih buruk. Kenyataan menunjukkan
bahwa situasi dan kondisi kehidupan kita sehari-hari semakin terancam oleh
bahaya narkoba hingga Presiden Joko Widodo menyatakan perang terhadap narkoba.
Hukum mati
bandar narkoba, teroris, dan radikalis
Narkoba memang
tidak segera mematikan, tetapi jauh lebih kejam daripada pembunuhan. Pencandu
narkoba yang masih hidup direduksi menjadi "mayat hidup". Adalah
tragedi kehidupan jika apa-apa mati dalam diri, padahal masih bernapas.
Masa depannya
artifisial, menjadi beban orangtua dan keluarga. Usaha penyembuhannya tidak
jarang menjadi tanggungan masyarakat. Yang meninggal, menurut Presiden, 15.000
orang setiap tahun. Mereka adalah generasi muda yang sedianya menjadi penerus
bangsa dan harapan negara. Namun, berapa bandar dan pengedar narkoba yang mati
setiap tahun dalam keadaan bebas bergelimang dosa?
Mereka mati
setelah lama menikmati hidup mewah. Mereka nekat melakukan usaha yang begitu
riskan, bukan karena desakan pemuasan hidup minimum, melainkan karena dorongan
nafsu hidup bergelimang aneka kemewahan, sudah hidup di "surga"
sewaktu masih di dunia. Mereka mampu menyewa pengacara kondang, menyogok
penguasa negara, bahkan membayar pembunuh andal selaku pengawal guna menjamin
eksistensi mereka.
Para bandar
narkoba pantas diburu guna dihukum mati tanpa ampun. Sebenarnya kematian begini
masih jauh lebih ringan daripada kejahatan yang telah mereka lakukan. Eksekusi
mati yang dialaminya itu hanya satu kali, sedangkan mereka telah menyiksa
korbannya berkali-kali dalam rentang waktu relatif lama. Di sini tidak ada
pelanggaran HAM. Mereka sendiri yang telah memerkosa HAM, bahkan membunuhnya
dengan sadar dan sengaja.
Berbagai modus
dipakai sindikat narkoba internasional untuk memasukkan asupan maut tersebut ke
Indonesia. Dari Tiongkok, misalnya, ada narkoba yang dimasukkan ke dalam tiang
pancang setebal 4 sentimeter, ada pula yang menyisipkannya ke dalam lukisan
Bunda Maria.
Menilik
gelagatnya, ada usaha sistematik untuk menghancurkan rakyat dan bangsa
Indonesia melalui konsumerisasi narkoba, persis sama dengan serangan
"perang candu" yang telah menghancurkan kerajaan Tiongkok dan Korea
pada abad-19. Maka, upaya Presiden Joko Widodo memerangi narkoba harus kita
dukung sekuat tenaga.
Dewasa ini
bergentayangan sejenis lain pembunuh, yaitu terorisme dan radikalisme. Ia tak
kurang kejam karena membunuh secara acak (at random) dan berafiliasi dengan
sekelompok teror global. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan,
terorisme harus dianggap sebagai musuh negara. Berarti kepada teroris-sang
pelaku diberlakukan hukuman mati, setimpal dengan kejahatannya. Maka menurut
Presiden, tak ada ruang bagi terorisme, jadi jangan lengah!
Akhirnya
jangan anggap sepele gerakan kelompok radikal berjubah agama. Sebab menurut
Adjie Suradji (Kompas, 23/11), agama bisa dijadikan pembentuk kekuatan dahsyat
dalam membangkitkan identitas emosional massa dibandingkan identitas sosial
lain. Agama bisa memicu konflik bereskalasi mengerikan dengan intensitas
tinggi, yang bisa memecah belah persatuan bangsa.
Mungkin para
pembunuh berdarah dingin ini adalah borok-borok terkutuk dari pergaulan bawaan
peradaban. Sebab peradaban, civilization, tidak berasal dari perbuatan Abel,
tetapi dikembangkan sejak awal oleh Kain, sang pembunuh.
Sumber: Kompas, 9
Januari 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!