Wakil Rektor I IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya;
Ketua Lakpesdam
PWNU Jawa Barat
WAJAH dalam tubuh manusia seperti halaman muka sebuah rumah. Santun
dan tidaknya seseorang, ramah atau bengisnya manusia, bisa dideteksi dari
identitas tampilan wajahnya, dari raut mukanya.
Maka, misalnya,
bagi filsuf kontemporer Perancis, Immanuel Levinas, wajah menyimpan banyak
makna. Pembenahan sengkarut politik dan kemanusiaan harus dimulai dari penataan
wajah. Wajah sebagai roh untuk mewujudkan persaudaraan universal (universal
brotherhood) dan penggerak utama tergelarnya persatuan, perdamaian, dan
keadilan.
Agar kehidupan
menemukan kembali otentisitasnya, harus ada gerakan kembali kepada khitah wajah
itu. Wajah sebagai ekspresi epifani ilahi. Wajah menjadi alamat utama keharusan
kita memperlakukan orang lain dengan penuh respek dan rasa tanggung jawab.
Wajah yang tidak membunuh dan nyinyir bagi mereka yang berlainan, baik
keyakinan, budaya, maupun etniknya.
Wajah memiliki lima
rukun kebaikan utama: pertama, terbuka kepada siapa pun tanpa melihat asal-usul
sejarah dan budayanya; kedua, mengulurkan persahabatan yang ikhlas; ketiga,
memberikan kegembiraan; keempat, bersikap lapang; dan kelima, memperlakukan
satu dengan lainnya secara etis. Lima rukun inilah pada gilirannya yang akan
mampu membangun persekutuan solid sekaligus satu sama lain tanpa sungkan bekerja
sama menghadirkan keadaban hidup.
Perbedaan tidak lagi
dipandang sebagai ancaman, tetapi sebagai kesempatan untuk mendewasakan diri
dan fakta sosial yang harus dikelola dengan penuh kebijaksanaan. Anarkisme,
konflik, kekerasan, kerusakan lingkungan, banalitas politik, korupsi,
kebohongan, dan penyakit sosial lainnya tidak lagi diselesaikan secara
fragmentaris dan bersifat individu, tetapi menjadi tanggung jawab bersama. Atau
dalam istilah Hans Kung, tatanan dunia baru membutuhkan komitmen etik semua
kalangan yang dijangkarkan pada semangat dialog: a dialogue among
civilizations.
Wajah inklusif
Persoalan wajah
bukan sekadar kecakapan berbicara, keindahan merangkai kata, keelokan retorika
yang membakar massa atau kecermatan memberikan senyuman, mudahnya melelehkan
air mata, atau jidat yang hitam karena dianggap sering bersujud. Ia lebih dari
itu. Melampaui semua itu.
Wajah sebagai
saluran epifani ilahiah menjadi media untuk melakukan transendensi ke arah
kehidupan yang beradab. Wajah menjadi lekat hubungannya dengan kesadaran
rohaniah yang salah satunya dimanifestasikan dalam hidup yang toleran dan penuh
kasih sayang.
Maka, menjadi
sangat dipahami kalau Tuhan berfirman dalam sebuah ayat-Nya, "Ke mana pun
kalian berpaling, akan kalian temukan wajah Tuhan". Faaianama tuwallu fa
tsamma wajah Allah. Atau dalam ungkapan kenabian, "Wajah yang berseri dan
memberikan senyuman adalah bernilai sedekah".
Wajah harus punya
kemampuan melampaui dirinya. Wajah yang bisa membebaskan diri dari sekapan
egoisme, politik partisan, dan hal-ihwal yang bersifat diskriminatif, baik berhubungan
dengan keyakinan maupun paham politik. Atau dalam istilah Levinas ia terumuskan
dalam ungkapan de I'evasion.
De I'evasion
semacam proses pembebasan diri dari selubung sifat primitifnya, "katak
dalam tempurung", menuju wawasan baru yang lebih luas. Di antaranya dengan
melihat "liyan" sebagai jalan menuju kebaikan bersama (public good).
Tidak sekadar melulu berbicara dan membicarakan dirinya sendiri, tetapi juga
bagaimana memosisikan orang lain dalam derajat yang setara.
Orang lain bukan
obyek yang bisa dieksploitasi secara sewenang-wenang atau dimobilisasi untuk
kepentingannya, tetapi mereka adalah individu merdeka yang harus dihormati
sebagai manusia seutuhnya. Orang lain bukan bebek yang bisa digiring dengan
memanipulasi kesadarannya, tetapi mereka adalah manusia otonom yang harus
diajak berbicara penuh kejujuran.
Buruk muka
Selama ini, diakui
atau tidak, wajah dan perpolitikan kita justru menemukan gejala yang bopeng.
Sering kali kita begitu cermat melihat wajah yang kita miliki dari cermin yang
setiap hari dibawa, tetapi pada saat yang sama tidak bersedia menggunakan
cermin lain, apalagi mau keluar melihat wajah orang lain dengan respek.
Politik itu menjadi
negatif karena adanya sikap keengganan membuka diri. Orang lain dianggap berguna
manakala bisa dijadikan sekadar konstituen, kader, atau dapat dipastikan
menjatuhkan pilihan pada dirinya saat pemilu atau pilkada. Liyan dalam politik
yang telah melenceng dari khitahnya melulu diposisikan tak lebih hanya
"angka"yang bisa dikonversikan dengan "benda" dan
kekuasaan, hanya "kartu tanda penduduk" yang dapat dihimpun untuk
melengkapi administrasi politik.
Maka, di titik ini
sesungguhnya awal mula terjadinya transaksi politik. Politik uang berlangsung
dengan marak dan barter kepentingan (kekuasaan) dilakukan tanpa merasa berdosa.
Orang lain didekati
bukan jiwanya, melainkan tubuhnya minimal lima tahun sekali atau saat reses.
Tubuh yang sudah dibeli itu yang kemudian digiring ke lapangan untuk
mendengarkan pidato dan kampanye politiknya yang sesungguhnya kalau dicermati
bukan pidato politik, melainkanlebih menyerupai sebuah hasutan dan kebohongan
yang dipanggungkan dengan gempita.
Demikian juga agama
menjadi negatif ketika yang dikembangkan adalah teologi yang meneguhkan wajah
di luar dirinya sebagai sesat, kafir, munafik, dan zindik. Di titik ini teologi
yang semestinya dijangkarkan di atas haluan "rahmatan lil alamin"
jadi menyemburkan aroma penuh kebencian, kesumat, dan dendam. Tak ada lagi
kesempatan becermin karena sejak awal yang diteguhkan adalah keyakinan dirinya
sebagai surga dan liyan tak lebih adalah neraka. Surga yang ditanamkan dalam
isi kepala itu diimani akan semakin lapang manakala liyan yang dipandang neraka
itu terus-menerus "ditertibkan" hatta lewat teror, ancaman, pedang,
dan kekerasan.
Di titik persimpangan
wajah yang serba paradoksal ini, alih-alih menimpakan kesalahan kepada diri
sendiri, seperti dibilang Dostoyevsky, tetapi yang terjadi adalah terus-menerus
menyalahkan orang lain. Tak henti mengkhotbahkan kekeliruan kepada liyan
sembari menyematkan jubah kesucian bagi diri dan kaumnya. Orang lain sebagai
alasan terjadinya kemungkaran. Orang lain pihak yang telah menjadi penyebab
utama bagi terciptanya kebobrokan moral.
Wajah angkara yang
surplus kebengisan dan minus kesantunan inilah riwayat mutakhir wajah
b(t)openg politik dan keagamaan kita. Awal tahun 2017, demi menyambut fajar
keadaban, wajah seperti itu harus selekasnya ditanggalkan karena bukan saja tak
sesuai dengan nilai-nilai keutamaan agama, falsafah bangsa, melainkan juga
bertentangan dengan budaya ketimuran.
Sumber: Kompas, 14 Januari 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!