Oleh Doni Koesoema A
Pemerhati Pendidikan &
Pengajar
Multimedia Nusantara
PERATURAN Mendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite
Sekolah begitu disahkan langsung menuai pro-kontra. Padahal, niat baik
pemerintah adalah untuk merevitalisasi komite sekolah yang selama ini identik
dengan tukang "stempel" kepala sekolah dalam melegalkan pungutan.
Niat baik saja ternyata belum cukup.
Memberdayakan
komite sekolah merupakan amanat dari UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas). Pada Pasal 56 Ayat 3 dinyatakan, "Komite
sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan
tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan
pendidikan."
UU Sisdiknas
menegaskan bahwa garda depan penjaga peningkatan kualitas pendidikan di unit
sekolah adalah komite sekolah. Komite sekolah merupakan representasi kehadiran
orangtua dan masyarakat. Menyuarakan kepentingan orangtua untuk memastikan
kualitas pendidikan yang baik adalah tugas utama komite sekolah.
Kritik publik
terhadap komite sekolah yang selama ini tidak independen alias sekadar sebagai
"stempel" kepala sekolah untuk melegalkan pungutan sekolah dari
orangtua memiliki dasar faktual. Di banyak tempat, umumnya komite sekolah hanya
dilibatkan dalam rangka menarik dana dari masyarakat, terutama dari orangtua.
Inilah yang kemudian menimbulkan perdebatan tentang fungsi dan peranan komite
sekolah.
Dalam urusan
perencanaan sekolah, komite sekolah sering kali tidak dilibatkan sejak awal
dalam membahas Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Kepala
sekolah masih memegang kendali utama pengelolaan sekolah. Anggaran kegiatan
untuk komite sekolah juga tidak jelas bersumber dari mana. Komite sekolah yang
tidak taat pada perintah kepala sekolah bisa dibekukan, seperti terjadi pada
beberapa kasus. Dari sisi administrasi, kewenangan, cakupan, dan bidang tugas
serta bentuk-bentuk keterlibatan bagi pengembangan sekolah, posisi komite
sekolah lemah.
Peraturan
Mendikbud (Permendikbud) No 75/2016 merupakan jawaban pemerintah untuk
memberdayakan komite sekolah sebagai lembaga mandiri, rekan kerja setara dengan
kepala sekolah yang menyuarakan kepentingan siswa dan orangtua dalam
meningkatkan kualitas pendidikan, serta memberikan pengawasan dengan
mempergunakan prinsip gotong royong.
Kurang
sosialisasi
Pro-kontra
tentang komite sekolah bergulir karena kurangnya sosialisasi sehingga muncul
kesan Mendikbud melegalkan pungutan. Publik, terutama orangtua dari keluarga
miskin, akan semakin sulit memperoleh akses pendidikan. Informasi yang keliru
ini diduplikasi melalui berbagai media tanpa klarifikasi dan tanpa pengacuan
pada Permendikbud No 75/2016.
Meluruskan
informasi keliru ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu
mengklarifikasi persoalan tentang tugas komite sekolah. Kemendikbud menegaskan,
permendikbud dibuat justru untuk memperkuat peranan komite sekolah. Ditegaskan,
komite sekolah dilarang memungut uang apa pun dari peserta didik ataupun orangtua
siswa.
Permendikbud
tentang Komite Sekolah dibuat karena ada keprihatinan tentang kualitas
pendidikan nasional. Orangtua sebagai pemangku utama pendidikan di sekolah
sudah semestinya terlibat, memantau, dan membantu melalui berbagai macam cara
dalam meningkatkan kualitas pendidikan bagi putra-putri mereka.
Peranan komite
sekolah menjadi sentral ketika pemerintah mencanangkan Gerakan Penguatan
Pendidikan Karakter (PPK), yang salah satu prinsip dan strateginya adalah
pelibatan masyarakat dalam pendidikan.
Implikasi
praktis
Permendikbud
yang memperkuat peranan komite sekolah memang perlu didukung. Namun, kalau kita
analisis dan cermati lebih dalam, Permendikbud tentang Komite Sekolah ini pasal
per pasal, kita kaitkan dengan peraturan lain sejenis, dan pertimbangkan
praksis pemandulan komite sekolah yang terjadi di lapangan, kita perlu
memberikan beberapa catatan kritis yang bisa menjadi bahan pertimbangan untuk
penguatan komite sekolah ke depan.
Seperti yang
biasa terjadi di negara kita, undang-undang atau peraturan sering kali sudah
baik, tetapi ternyata secara operasional tidak dapat dilaksanakan karena
kurangnya petunjuk teknis lebih detail tentang bagaimana isi pasal-pasal itu
diimplementasikan atau kurang adanya pengembangan kapasitas-baik untuk kepala sekolah
maupun komite sekolah-sehingga penyelewengan itu tetap terjadi. Untuk itu, ada
beberapa catatan yang perlu kita pertimbangkan sebagai masukan bagi pemerintah.
Pertama,
dominasi kepala sekolah ternyata tetap. Dalam permendikbud disebutkan bahwa
anggota komite ditetapkan oleh kepala sekolah yang bersangkutan (Pasal 7 Ayat
1). Dengan pasal ini, dominasi kepala sekolah yang selama ini
"menguasai" komite sekolah tetap akan bertahan. Bahkan, kepala
sekolah bisa jadi hanya akan menyetujui anggota komite yang bisa diajak
bermufakat dalam hal-hal buruk. Dalam kaitan ini, pemerintah perlu mendesain
ruang komunikasi agar proses pemilihan komite sekolah ini transparan dan
akuntabel dengan memberikan kanal-kanal pelaporan dan petunjuk lebih detail
tentang bagaimana memilih komite sekolah secara independen.
Kedua, adanya
disharmoni dengan peraturan lain. Dalam Permendikbud No 75/2016 ditegaskan
bahwa komite sekolah, baik secara perseorangan maupun kolektif, dilarang
melakukan pungutan dari peserta didik atau orangtua/walinya (Pasal 12 Butir b).
Namun, Permendikbud No 44/2012 tentang Sumbangan dan Pungutan Pendidikan masih
memperbolehkan pungutan sekolah oleh sekolah dengan sepengetahuan komite
sekolah asal sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Permendikbud No 44/2012
belum dicabut sehingga masih berlaku.
Ketiga, komite
sekolah menyusun anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (Pasal 7 Ayat 2)
serta dapat menggalang dana dari masyarakat untuk pengembangan pendidikan.
Dalam Permendikbud No 75/2016 tidak dijelaskan mekanisme dan prosedur
penggalangan dana, mekanisme transparansi dan akuntabilitasnya.
Faktanya,
selama ini komite sekolah hanya menggalang dana melalui orangtua siswa lewat
pungutan yang berkedok sumbangan. Kita masih sering mendengar siswa tidak dapat
mengambil rapor karena belum membayar uang sekolah, iuran ini, iuran itu, dan
lain sebagainya. Selain itu, komite sekolah selama ini tidak pernah memperoleh
pelatihan tentang bagaimana mendesain sebuah tata organisasi yang baik, membuat
proposal penggalangan dana, dan membangun kolaborasi yang sehat dengan sekolah,
terutama dengan kepala sekolah.
Integritas
moral
Sebagus apa
pun sebuah peraturan, tidak akan ada maknanya jika para pelakunya adalah
individu penelikung moralitas. Banyak aturan yang baik menjadi distorsif saat
dipraktikkan karena integritas para pelaku di sekolah dipertanyakan. Maka,
memilih pemimpin yang memiliki visi pendidikan baik, unggul dalam integritas
moral dan kebaikan, akan menjadi kata kunci utama pengembangan kualitas
pendidikan.
Demikian juga
orangtua siswa, mereka perlu memilih anggota-anggota komite sekolah yang mau
berjuang untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak mereka. Caranya,
tentu saja dengan memilih mereka yang memiliki integritas moral tinggi, tidak
memanfaatkan jabatan, kedudukan, dan posisinya untuk memperkaya diri sendiri.
Apabila kultur
moral dalam lembaga pendidikan tidak ada, akan sangat sulit bagi sekolah
tersebut untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sebab, pendidikan pada
hakikatnya adalah pembentukan manusia seutuhnya, baik secara fisik, sosial,
emosional-psikologis, akademik, maupun moral dan spiritual.
Niat baik
mengembangkan komite sekolah melalui permendikbud saja belumlah mencukupi.
Kemendikbud perlu membuat mekanisme dan sistem yang transparan, akuntabel, dan
memberdayakan para pelaku degan keterampilan yang dibutuhkan. Namun, lebih dari
sekadar keterampilan teknis, revitalisasi komite sekolah pertama-tama harus
berfokus pada penguatan komitmen moral kepala sekolah dan anggota komite
sekolah.
Sumber: Kompas, 4 Februari 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!