Oleh Pri Agung Rakhmanto
Pengajar di Fakultas Teknologi
Kebumian & Energi Universitas Trisakti
Kebumian & Energi Universitas Trisakti
PERMASALAHAN
Freeport harus dapat dikelola dan diselesaikan dengan baik. Dengan asumsi bahwa
baik Pemerintah Indonesia maupun Freeport masih beritikad untuk terus bekerja
sama, cara penyelesaian yang semestinya dikedepankan kedua belah pihak adalah
negosiasi untuk mempertemukan perbedaan-perbedaan kepentingan yang ada.
Saya melihat
semestinya masih sangat terbuka ruang untuk melakukan hal itu ketimbang pilihan
arbitrase yang belakangan ini cenderung mengemuka.
Freeport dalam hal
ini semestinya harus bisa melihat secara lebih proporsional dan memahami itikad
baik pemerintah, khususnya dalam hal yang berkaitan dengan aspek keberlanjutan
operasi mereka di Indonesia. Pemerintah sebenarnya sudah sangat kuat memberikan
sinyal bahwa operasi Freeport bakal berlanjut dengan beberapa penyesuaian
terhadap aturan yang berlaku.
Ubah kontrak karya
Peraturan Menteri
ESDM Nomor 5 Tahun 2017 Pasal 17 yang memberikan kesempatan pemegang kontrak
karya (KK) untuk tetap dapat melakukan penjualan konsentrat ke luar negeri
dalam lima tahun ke depan dengan syarat tertentu, di antaranya dengan mengubah
KK menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) operasi produksi, jelas
merupakan sinyal kuat bahwa hal itu dimaksudkan untuk menjaga agar kegiatan
operasi pemegang KK (termasuk Freeport) bisa terus berjalan. Dalam konteks
Freeport, hal itu secara implisit juga mengandung pesan bahwa Freeport tidak
hanya diizinkan untuk dapat terus beroperasi sampai 2021 —saat KK mereka
berakhir (meski dalam kondisi Freeport belum membangun smelter)— tetapi bahkan
sampai 20 tahun ditambah dua kali periode perpanjangan izin 10 tahun.
Jika KK Freeport
berubah menjadi IUPK saat ini (tahun 2017), artinya Freeport dapat terus
beroperasi maksimal sampai 2037 ditambah 20 tahun atau yang berarti dapat
hingga tahun 2057.
Masih berlanjut
Dengan demikian,
itu bahkan akan lebih lama dibandingkan jika KK Freeport diperpanjang dua kali
10 tahun dari tahun 2021 hingga tahun 2041. Artinya, sebenarnya pemerintah
telah memberikan sinyal kepastian, yang menurut pandangan saya, sudah sangat
kuat bahwa pada dasarnya operasi dan investasi Freeport di Indonesia masih akan
terus berlanjut pasca 2021.
Hanya saja jaminan
keberlanjutan tidak diberikan dalam bentuk perpanjangan KK, tetapi dalam bentuk
IUPK yang diberikan sejak 2017 ini.
Di sinilah
semestinya Freeport harus bisa secara lebih jernih melihat itikad baik dari
pemerintah. Bahwa pada dasarnya pemerintah menjamin keberlanjutan usaha mereka
di sini, tetapi dalam koridor payung hukum dan kerangka peraturan perundangan
yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara
(UU Minerba) serta segala peraturan perundangan pelaksana di bawahnya yang
memang harus dijalankan oleh pemerintah secara konsisten dan tidak boleh
dilanggar.
Terhadap
kekhawatiran akan ketidakpastian karena perpanjangan usaha diberikan dalam
bentuk izin yang secara teoretis dapat dicabut atau diputuskan sewaktu-waktu
oleh pemerintah, hal itu semestinya harus dilihat secara lebih proporsional.
Bersifat khusus
Adalah tidak
mungkin jika tanpa suatu alasan yang jelas, misalnya ada suatu pelanggaran
berat, pemerintah akan dan dapat sewenang-wenang mencabut izin yang telah
diberikan. Apalagi izin untuk pertambangan ini masuk dalam kategori izin usaha
pertambangan yang bersifat khusus (IUPK).
Terhadap keberatan
Freeport yang lain, di antaranya dalam hal kewajiban divestasi saham hingga 51
persen dan penerapan perpajakan yang tidak bersifat tetap sepanjang kontrak
(nail down) tetapi mengikuti peraturan perundangan yang berlaku (prevailing),
sesungguhnya hal ini juga bukan merupakan permintaan pemerintah yang tanpa
dasar.
Perihal kewajiban
untuk divestasi saham hingga 51 persen sudah disebut di dalam KK, yaitu dalam
Pasal 24 Ayat 2 Butir b. Sedangkan terkait keharusan mengikuti peraturan
perundangan yang berlaku, termasuk dalam konteks ini adalah peraturan
perpajakan, hal itu juga telah disebutkan di dalam KK, yaitu dalam Pasal 23
Ayat 2.
Jadi, jika hal itu
ditegaskan lagi melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017, yang
dalam hal ini berbeda dengan PP sebelumnya (PP Nomor 77 Tahun 2014 yang
menyebutkan kepemilikan saham asing maksimal dapat 70 persen untuk pemegang
IUPK operasi produksi yang menggunakan metode penambangan bawah tanah), hal itu
pada dasarnya bukan merupakan bentuk inkonsistensi atau berarti pemerintah
menciptakan ketidakpastian aturan main di dalam iklim investasi.
Meski demikian, itu
justru lebih menunjukkan bahwa betapa pemerintah selama ini sudah sangat
mengakomodasi kepentingan-kepentingan Freeport hingga kadang menyebabkan
berubah-ubahnya peraturan. Begitu juga dengan kewajiban untuk membangun smelter
yang seolah-olah beban dan ketidakpastian baru akibat berlakunya UU Minerba.
Padahal, itu sudah disebut dalam KK Freeport dalam Pasal 10 Ayat 4 dan 5.
Penuhi komitmen
Dengan kata lain,
di samping untuk mengakomodasi kepentingan Freeport dan selain dalam rangka
untuk menegakkan serta mematuhi peraturan perundangan yang ada, apa yang
dilakukan pemerintah sejatinya hanya menegaskan dan mengingatkan agar Freeport
menjalankan komitmen mereka sebagaimana sudah tercantum di dalam KK.
Jadi, menurut
pendapat saya, kunci penyelesaian masalah ini lebih ada pada pihak Freeport.
Kesediaan Freeport menyelesaikan perbedaan pandangan yang ada melalui jalan
negosiasi dan bukan melalui arbitrase —meskipun
hal ini dimungkinkan— dapat menjadi ukuran seberapa besar itikad baik Freeport
di dalam berinvestasi di Indonesia.
Pemerintah telah
sejak lama begitu memahami Freeport dan beritikad baik untuk menjaga
keberlanjutan investasinya. Kini, saatnya Freeport lebih memahami kondisi dan
itikad baik Pemerintah Indonesia. Tentu saja, kini saatnya Freeport untuk lebih
mengerti, memahami, serta menghargai bangsa dan seluruh rakyat Indonesia.
Sumber:
Kompas, 2 Maret 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!