Oleh Maksimus Ramses Lalongkoe
Pengamat Sosial Politik &
Direktur Eksekutif Lembaga Analisis Politik Indonesia
ARUS mudik Lebaran telah
usai. Lebaran pun telah selesai pula. Kini giliran cerita baru, fenomena budaya
urbanisasi pasca-Lebaran.
Pasca-Lebaran,
selain cerita menarik arus balik para pemudik, juga tercitra urbanisasi yang
ditandai hadirnya orang-orang baru beragam latar belakang di Ibu Kota untuk
sekadar mengadu nasib.
Salah satu kota
besar di Indonesia yang menjadi goal dan sasaran urbanisasi ialah Jakarta.
Berdasarkan knowledge pemerintah DKI Jakarta, setidaknya ada 5.921.396 warga
Jakarta yang memilih mudik ke kampung halaman masing-masing pada Lebaran 2017
tahun ini.
Tentunya dari lima
juta lebih pemudik ini, ada yang memilih menetap di kampung halaman, tapi
sebagian besar memilih kembali ke Jakarta berdasarkan kebiasaan Lebaran
tahun-tahun sebelumnya. Jutaan pemudik juga tidak menutup kemungkinan untuk
membawa sanak keluarga mereka ke Jakarta.
Perkiraan atau
prediksi terjadinya urbanisasi terbuka lebar dan tentu sulit, bahkan tidak bisa
diredam atau dicegah. Itu artinya, setiap kali Lebaran, manusia di Jakarta akan
terus bertambah banyak.
Situasi ini
mengakibatkan Kota Jakarta menjadi padat, sebab ruang terbatas, tapi jumlah
manusia terus bertambah setiap arus balik Lebaran. Semakin bertambah banyaknya
penghuni Jakarta, semakin beragam pula persoalan-persoalan sosial di Jakarta.
Permasalahan-permasalahan
sosial ini, selain dihadapi pemerintah DKI, akan dihadapi sendiri oleh warga
Jakarta. Tak dapat dimungkiri memang, Jakarta menjadi salah satu tempat favorit
masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia untuk mengadu nasib.
Akibatnya terjadi
ledakan penduduk di Jakarta dalam waktu singkat. Realitas ini tentunya sebuah
permasalahan besar. Bukan saja persoalan pemerintah DKI Jakarta, melainkan
menjadi persoalan nasional.
Mengapa Urbanisasi?
Urbanisasi ialah
perpindahan penduduk dari desa ke suatu kota. Dalam ilmu kependudukan, ada dua
jenis atau macam perpindahan, yakni migrasi penduduk yang diartikan sebagai
perpindahan penduduk dari desa ke kota untuk tinggal menetap dan mobilitas
penduduk diartikan perpindahan penduduk yang sifatnya sementara dan bukan untuk
tinggal menetap di suatu kota.
Fenomena arus balik
pasca-Lebaran yang disertai dengan 'budaya' mobilitas penduduk dari desa ke
Jakarta untuk mengadu nasib merupakan realitas yang kerap terjadi selama ini.
Masyarakat dari berbagai daerah dan beragam pengetahuan dan latar belakang
datang ke Jakarta hanya sekadar mencari pekerjaan yang bersifat sementara,
bukan untuk tinggal menetap atau menjadi warga Ibu Kota secara permanen.
Meskipun ada yang
memilih menetap, jumlahnya sangat kecil bila dibandingkan dengan warga yang
sekadar mencari rente. Urbanisasi, khususnya mobilitas penduduk, dipengaruhi
beragam faktor atau penyebab.
Ada yang memilih
hijrah karena keinginan dirinya untuk mengubah kehidupan di kampung halaman.
Ada pula yang datang karena ajakan keluarga dan teman.
Bila motivasinya
dari dalam diri, baginya kota besar menjadi tempat terbaik untuk mengubah
kehidupan sosial sebab ada begitu banyak pekerjaan yang tersedia di kota jika
dibandingkan dengan harus bertahan hidup di kampung.
Mengubah nasib
untuk perbaikan ekonomi diri bahkan keluarga juga menjadi bagian yang tidak
terlepaskan dari orang-orang yang memilih urbanisasi.
Selain itu,
pendorong lain terjadinya urbanisasi, kehidupan di kota besar seperti Jakarta
lebih trendy, tampak kemewahan, ketersediaan sarana dan prasarana penunjang
kehidupan yang lebih sempurna, tersedianya banyak macam lapangan pekerjaan,
banyaknya fasilitas hiburan, begitu mudahnya mengakses informasi, dan masih
fasilitas lainnya yang memengaruhi seseorang memilih meninggalkan kampung
halaman untuk hijrah ke kota besar.
Berbagai upaya
pemerintah DKI, mulai imbauan untuk tidak datang ke Jakarta hingga razia
pendatang baru, bahkan monitor dan mengecek langsung tujuan pendatang baru
datang ke Jakarta, baik di terminal bus, stasiun kereta api, pelabuhan, maupun
terminal kedatangan bandara saat arus balik masih sulit untuk menekan dan
membendung laju urbanisasi.
Koordinasi lintas
daerah
Kota besar sudah
menjadi sasaran para pemburu pencari kerja. Fenomena ini tidak saja terjadi
pasca-Lebaran, bahkan setiap saat orang-orang desa datang mencari pekerjaan di
kota, baik yang dibekali dengan kompetensi maupun yang tidak memiliki
kompetensi sama sekali.
Bila pemerintah DKI
Jakarta kurang cermat mengatasi urbanisasi, bukan tidak mungkin Jakarta
terus-menerus disesaki penduduk dan bukan tidak mungkin pula aneka macam
permasalahan sosial akan terus menggerogoti Jakarta.
Untuk mengatasi dan
mengurangi terjadinya mobilitas penduduk ke Jakarta, diperlukan
strategi-strategi lain yang lebih efektif. Pemerintah DKI perlu melakukan
analisis secara komprehensif, dari mana saja pendatang baru yang lebih banyak
hijrah ke Jakarta.
Analisis ini sangat
penting agar memudahkan proses komunikasi dan koordinasi lintas daerah secara
kontinu dengan pemerintah daerah masing-masing.
Koordinasi lintas
daerah ini juga dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat luas
khususnya di daerah-daerah tersebut agar tidak memilih hijrah ke Jakarta sambil
pemerintah daerah memikirkan langkah-langkah konkret apa yang perlu dilakukan
untuk membendung warga yang meninggalkan kampung halaman masing-masing.
Koordinasi lintas
daerah melalui pendekatan asupan pemahaman positif kepada masyarakat tentunya
hanya bersifat temporer atau sementara saja sebab masyarakat ingin sesegera
mungkin mengubahkan kehidupan dirinya ataupun keluarganya.
Untuk itu, selain
koordinasi lintas daerah, juga pentingnya mempercepat keadilan pembangunan di
berbagai daerah di Indonesia saat ini. Mempercepat keadilan pembangunan dapat
memutuskan mata rantai urbanisasi yang kini kian tak terbendung di kota-kota
besar seperti Jakarta.
Masih menjamurnya
warga kampung mengadu nasib ke kota besar menunjukkan masih minimnya berbagai
sarana dan prasarana di daerah-daerah yang bisa menjamin masyarakat untuk tetap
bertahan di daerah masing-masing.
Mempercepat
keadilan melalui distribusi pembangunan yang merata ke seluruh wilayah Indonesia
baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa diyakini mampu meretas dan
mengatasi gejolak urbanisasi ke depannya.
Memperbanyak
pembangunan di bidang industri, perdagangan, dan bahkan properti dapat
menyediakan banyak lapangan pekerjaan di daerah-daerah. Amerika Serikat pernah
mengatasi gejolak urbanisasi dengan memisahkan pusat pemerintahan di Washington
DC dan pusat-pusat bisnis atau perekonomian di New York.
Pendekatan ini
mendorong warga berbondong-bondong menyerbu New York dan Washington DC tetap stabil
karena tidak terjadi ledakan penduduk akibat urbanisasi. Sejumlah negara lain
di dunia juga sudah banyak melakukan berbagai terobosan guna meredam arus
urbanisasi.
Ada yang
menggunakan metode memisahkan pusat pemerintahan dan bisnis, ada pula yang mengembangkan
pusat pertanian, perkebunan, dan metode lainnya yang akan mengarahkan penduduk
untuk tetap bertahan dan bekerja di daerah masing-masing tanpa harus memilih
mencari uang di kota-kota besar.
Bila metode-metode
ini dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, seperti memperbanyak pembangunan
perdagangan, industri, properti secara merata di sejumlah kota-kota besar di
Indonesia, arus urbanisasi dapat dibendung.
Tentunya untuk
mendukung semua strategi-strategi ini dibutuhkan komitmen politik baik wakil
rakyat, pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun pihak swasta. Kalau
berbagai pendekatan ini diimplementasikan, arus urbanisasi di Jakarta akan
mampu diredam dan fenomena budaya urbanisasi pasca-Lebaran semakin berkurang.
Sumber:
Media Indonesia, 1 Juli 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!