Oleh Nasaruddin Umar
Imam
Besar Masjid Istiqlal Jakarta
IDEALNYA setiap agama selalu menjanjikan
ketenangan, kedamaian, kearifan, keadilan, dan ketenteraman kepada pemeluknya.
Namun, itu semua bisa terjadi jika agama diberi peran efektif untuk memberikan
pencerahan terhadap umatnya. Persoalannya sekarang, siapa yang bertanggung
jawab untuk mengaktualkan fungsi pencerahan agama di dalam masyarakat?
Efektif atau tidaknya sebuah agama mencerahkan dapat
diukur bagaimana pemeluknya. Jika agama semakin menyatu dengan pemeluknya
berarti pencerahan agama efektif. Akan tetapi, sebaliknya jika agama dan
pemeluknya semakin berjarak, pertanda pencerahan agama itu tidak efektif.
Fenomena dalam kehidupan masyarakat juga bisa diukur, yaitu apa kata agama dan
apa yang dilakukan pemeluknya? Jika masih berseberangan, misalnya agama
menyerukan ke kanan tetapi pemeluknya kebanyakan ke kiri, itu pertanda bahwa
agama tersebut tidak lagi efektif melakukan pencerahan terhadap umatnya.
Kini sedang terjadi fenomena yang tidak
menggembirakan, paling tidak terdapat fenomena yang kontradiktif, di dalam
masyarakat kita, yakni hubungan antara agama dan pemeluknya. Memang sedang
terjadi kesemarakan beragama, tetapi tidak diikuti dengan penghayatan dan
kedalaman makna. Akibatnya sering kita menyaksikan fenomena kepribadian ganda
(split personality) bagi umat beragama, khususnya umat Islam, di Indonesia.
Kalangan umat Islam sedang berada di persimpangan
jalan. Dalam urusan agama seolah mereka mengesankan agama terlalu dogmatis,
sedangkan realitas sosialnya begitu rasional. Agama dirasakannya lebih
membatasi, sedangkan realitas kehidupannya begitu liberal. Agama dikesankan
terlalu berorientasi masa lampau, sedangkan lingkungan profesinya sangat
berorientasi masa depan. Pranata sosial keagamaan dirasakannya begitu
konservatif, sedangkan lingkungan kerjanya sedemikian canggih. Norma-norma
agama dirasakannya sedemikian statis dan terkesan kaku, sedangkan dunia
kerjanya sedemikian dinamis dan mobile.
Suasana batin keagamaan dikesankan amat tradisional,
sedangkan dunia pergaulan sehari-hari di tempat kerja dan lingkungannya
sedemikian modern. Kajian-kajian keagamaan dirasakan terlalu tekstual,
sedangkan kajian ilmu-ilmu umum sedemikian kontekstual. Pendekatan-pendekatan
agama terkesan begitu kualitatif-deduktif, sedangkan pendekatan keilmuan sosial
sedemikian kuantitatif-induktif.
Fenomena split personality ini, menurut Clifford
Geertz, berpotensi melahirkan berbagai kemungkinan, antara lain reformasi
sporadis atau gradual, reformasi radikal/liberal, revivalisme-puritanis,
revivalisme-radikal, termasuk teroris, atau tidak tahu-menahu apa yang terjadi
di luar sana. Yang penting dia bisa hidup dan menghidupi keluarganya. Mereka
sudah kehilangan kepercayaan terhadap agama sebagai way of life meskipun masih
tetap mencantumkan Islam dalam kolom KTP.
Apa yang terjadi jika agama tidak lagi mencerahkan
di dalam masyarakat? Ini sebuah tantangan yang perlu dijawab kita semua.
Sumber:
Media Indonesia, 6 Oktober 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!