PRESIDEN Joko Widodo lagi-lagi memilih cara
tak lazim saat meresmikan proyek infrastruktur. Ia menunggangi Land Rover
Defender County lawas untuk menjajal Jalan Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu
(Becakayu)-yang sempat mangkrak selama 18 tahun-saat peresmian pada Jumat pekan
lalu. Sebelumnya, pada Mei lalu, berjaket tebal tanpa rompi antipeluru, Jokowi
menggeber sepeda motor trail menyusuri jalan Trans Papua.
Jalan Tol Becakayu dan Trans Papua adalah dua
dari puluhan proyek infrastruktur yang pengerjaannya sempat macet dan lantas
dituntaskan Presiden Jokowi. Pada tiga tahun pemerintahannya bersama Wakil
Presiden Jusuf Kalla, sejumlah proyek baru juga mulai dibangun meski dikritik
karena tak dibekali perencanaan dan studi yang matang. "Kalau tidak
dimulai sekarang, ongkosnya akan semakin mahal," kata Jokowi, 56 tahun.
Ia mengatakan kebijakannya yang ekspansif
membangun jalan, bendungan, pelabuhan, dan bandar udara semata-mata demi
pemerataan, bukan untuk mengail efek elektoral. Menurut dia, daerah pelosok
sudah terlalu lama tak menikmati pembangunan. "Kalau mau berhitung imbal
balik politik, ya, membangunnya di Pulau Jawa saja," ujarnya.
Untuk mempercepat pembangunan, Jokowi meneken
ratusan peraturan dan instruksi presiden. Alokasi anggaran infrastruktur
melonjak dari Rp 177 triliun pada 2014 menjadi Rp 387 triliun pada tahun ini.
Jumat pekan lalu, Jokowi menerima wartawan
Tempo Arif Zulkifli, Anton Aprianto, Istman Musaharun, dan Raymundus Rikang di
Istana Merdeka, Jakarta Pusat, untuk sebuah wawancara khusus. Nada bicaranya
sering meninggi dan berulang kali penanya dibanting ke meja ketika menyatakan
tak suka pada proyek yang melulu berorientasi profit. Tanya-jawab sempat
terhenti karena Presiden menunaikan salat. "Salat magrib sebentar ya,
barusan sudah emosi," kata Jokowi setelah mendiskusikan plus-minus tol
laut.
Mengapa
Anda memprioritaskan sektor infrastruktur yang secara kalkulasi politik tak
menguntungkan?
Saya sudah menghitung semua risiko ketika
memutuskan sebuah kebijakan. Kalau saya mau hitung-hitungan imbal balik politik
dan ekonomi, ya, membangun infrastrukturnya di Pulau Jawa saja. Praktis saya
tak butuh anggaran banyak bila berfokus di Pulau Jawa. Tinggal membangun
koridor ekonomi di bagian utara dan selatan sudah beres. Lebih-lebih keuntungan
ekonominya jauh lebih cepat kembali ketimbang membangun infrastruktur di
daerah. Namun, setelah blusukan dari Sabang sampai Merauke, saya menyaksikan
ketimpangannya sudah sangat parah.
Anda
yakin infrastruktur bisa menjadi solusi kesenjangan?
Ini masalah pemerataan dan keadilan. Lagi
pula, infrastruktur kita sudah jauh tertinggal dibanding negara tetangga.
Infrastruktur adalah fondasi mengatasi problem kesenjangan. Kalau mau cara
gampang, tinggal pos anggaran subsidi dan bantuan sosial saja yang dibesarkan
sehingga konsumsi menguat, daya beli meningkat, rakyat pun senang. Tapi apa mau
cara-cara semacam itu diteruskan? Saya ambil risiko tak meneruskan politik
anggaran seperti itu dan mengalihkannya pada infrastruktur. Sebab,
infrastruktur akan menyatukan bangsa ini. Kalau tidak disatukan, kita akan
menghadapi masalah yang mengerikan di masa depan. Saya tahu kebijakan ini
pahit, tapi pembangunan harus dimulai.
Meskipun
pemerintah seperti kalang-kabut mencari pembiayaannya?
Jika praktik pembiayaannya monoton seperti
dulu, ketika cuma bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta
badan usaha milik negara, sampai kapan pun enggak akan jadi infrastrukturnya.
Harus dicari skema-skema pembiayaan alternatif.
Skemanya
seperti apa?
Ada terobosan pembiayaan yang dibuat. Bila
proyek itu bisa dikerjakan swasta, kami tawarkan dan prioritaskan mereka yang
menggarap. Namun, bila internal rate of return-nya tergolong berat, BUMN bisa
bermitra dengan swasta. Kalau masih terlalu berat, tugas BUMN mengambil. Opsi
terakhir menggunakan APBN yang persentasenya saat ini sudah mencapai 20 persen
untuk membangun infrastruktur.
Benarkah
penunjukan BUMN untuk menggarap infrastruktur menjadi beban keuangan BUMN?
Mereka merasa terbebani karena selama ini
enggak ada pressure sehingga akalnya enggak jalan untuk mencari skema lain.
Saya memberi mereka persoalan sekaligus tantangan agar menjadi kreatif. BUMN
itu agen pembangunan. Di situlah perbedaan peran mereka dengan pihak swasta.
Mencari keuntungan iya, tapi harus menjadi agen-agen pembangunan seperti itu.
Kita sering melalaikan tugas BUMN ini.
Solusi
apa yang Anda tawarkan ke BUMN?
Jangan pakai pola-pola lama. Mulai gunakan
sekuritisasi aset, limited concession scheme, dan terbitkan surat utang. Saya
bilang, kalau mau membuka surat utang, jangan di dalam negeri, coba sesekali di
luar negeri. Kita juga ingin tahu apakah surat utang kita laku di luar negeri.
Dulu BUMN kegemarannya memiliki aset.
Misalnya, mereka selesai membangun jalan tol, lalu berikutnya santai-santai
saja tidak membangun lagi karena merasa sudah punya jalan tol. Merasa nyaman
karena setiap bulan ada pemasukan. Jadi yang dibangun cuma itu-itu saja selama
puluhan tahun. Contohnya, sejak 1978, panjang jalan tol cuma 80 kilometer.
Dengan skema pembiayaan baru tiga tahun terakhir ini, panjang jalan tol
bertambah 580 kilometer dan akan tembus 1.800 kilometer pada 2019.
Dengan
skema baru yang Anda tawarkan, praktiknya seperti apa?
Ketika infrastrukturnya sudah jadi, segera
lakukan sekuritisasi aset atau konsesi terbatas selama 10-20 tahun. Setelah
habis perjanjiannya, aset itu akan kembali lagi ke kita alias tidak hilang atau
dimiliki pihak lain. Dengan skema ini, kita bisa mendapatkan sumber pendanaan
baru untuk membangun proyek lain tanpa harus kehilangan aset.
Bagaimana
realisasinya?
BUMN kita sudah mulai rajin mencari partner
dan melakukan sekuritisasi aset. Praktik semacam ini enggak pernah dilakukan,
bahkan dicium baunya saja enggak. Mereka terlalu nyaman dan keenakan.
Anda
terkesan memprioritaskan BUMN dan mengesampingkan swasta….
Prioritas kami tetap swasta karena mereka
ditawari pertama kali saat menggarap proyek. Silakan kalau pihak swasta mau
mengambil proyek pelabuhan di Sorong, Papua, atau jalan Trans Sumatera. Dalam
catatan saya, 57 persen proyek infrastruktur di Indonesia digarap pihak swasta.
Ada yang menggarap proyek kelistrikan, pelabuhan, dan jalan tol. Sekarang BUMN
masih banyak mengambil alih karena internal rate of return yang masih kecil.
Pemerintah membantu dengan menyuntik penyertaan modal negara.
Ekonom
menilai pembangunan infrastruktur di pelosok, khususnya Papua, tak serta-merta
mendongkrak pertumbuhan ekonomi di sana. Apa tanggapan Anda?
Ada yang bilang membangun Papua menunggu
ekonomi di sana bagus. Lho, kalau menunggu ekonomi bagus, ya, keliru cara
mikirnya. Jadinya seperti analogi telur dan ayam, mana yang lebih dulu. Mau
menunggu ekonomi bagus baru membangun atau membangun dulu biar ekonomi
bergairah. Saya memilih membangun sekarang untuk mendongkrak perekonomian di
sana menjadi baik. Semakin lambat kita membangun infrastruktur, ongkosnya akan
semakin mahal.
Infrastruktur
memberi kesempatan daerah mengatasi ketertinggalan?
Bagaimana Wamena di Papua berkembang kalau
harga semennya Rp 800 ribu per sak? Mau tumbuh dari mana daerah sana kalau
banderol bensinnya Rp 100 ribu per liter? Coba beri saya penjelasan caranya
daerah itu bisa tumbuh di tengah harga komoditas dan barang kebutuhan pokok
yang selangit. Makanya pemerintah membangun Trans Papua agar semen itu bisa
diangkut dari laut dan darat.
Ada
yang sudah terlihat hasilnya?
Coba lihat di Skouw, Papua. Ada pertumbuhan
titik ekonomi baru dan aktivitas ekonomi masyarakat di sana sudah bergairah.
Lebih dari itu, pembangunan di Papua adalah demi pemerataan dan keadilan. Jika
Anda pergi ke pelosok Indonesia, Anda akan tahu bahwa republik ini bukan cuma
Jawa.
Bagaimana
misi pemerataan yang butuh biaya besar itu bisa terwujud sementara faktor
keekonomisannya tetap terpenuhi?
Pasti terpenuhi. Gimana, sih? Kok, masih ada
orang ragu terhadap program infrastruktur.
Bukankah
yang terjadi pada tol laut itu tak menguntungkan?
Kalau enggak dimulai, apa mereka dibiarkan
enggak punya kapal? Harga komoditas justru akan bersaing ketika kapal sudah
masuk. Saya beri contoh di Tapaleo, Maluku Utara. Kapal pulang dari sana
membawa kopra, lada, kelapa, dan jagung ke Indonesia bagian barat.
Persoalannya, apakah kita punya kemauan memperhatikan masyarakat di pelosok
ini?
Pemerintah membangun dengan berbagai
pertimbangan. Ada komoditas apa yang bisa dibawa keluar dari daerah itu. Kalau
daerah itu tak punya andalan, lama-lama berat juga memberi subsidi kapal ke
sana. Contohnya, pemerintah sedang mengkaji pembangunan pelabuhan besar di
Sorong, Papua. Namun saya melihat belum ada komoditas yang bisa dibawa dari
sana sehingga disiapkan program agar pelabuhan bisa produktif. Terobosan
seperti ini harus diambil agar keadilan terwujud. Kalau mikirnya cuma
keuntungan, tak akan mulai membangun.
Bertajuk
percepatan, berbagai proyek infrastruktur dimulai cuma atas dasar peraturan
presiden. Anda membuat diskresi?
Bukan diskresi. Diskresi apanya? Itu
penugasan saja untuk BUMN.
Bagaimana
dengan akrobat pembiayaan, misalnya realokasi penyertaan modal PT Kereta Api
Indonesia di proyek kereta ringan?
Itu namanya prioritas. Kami ingin mendorong
dan memprioritaskan jalan tol dulu di Sumatera ketimbang membangun rel kereta
api.
(Pemerintah merealokasikan penyertaan modal
negara PT Kereta Api Indonesia sebesar Rp 2 triliun yang semula untuk kereta
api Trans Sumatera menjadi untuk proyek light rail transit [LRT].)
Apa
landasannya?
Kalau saya tak membangun light rail transit
dan mass rapid transit sekarang, kita rugi Rp 28 triliun setiap tahun. Itu
kerugian besar, jangan dianggap enteng. Masak, kerugian seperti ini mau kita
terus-teruskan?
Ada
juga kritik proyek LRT tak melewati studi kelayakan yang matang. Apa tanggapan
Anda?
Tidak matang gimana, sih? Semua proyek itu
sudah direncanakan sejak dulu. Sejak saya menjabat Gubernur DKI Jakarta sudah
membahas LRT sampai ratusan kali dalam rapat.
Kalau
direncanakan serius, mengapa kontrak baru diteken selang 17 bulan setelah
groundbreaking?
Itu teknis. Saya tak mengerti hal prosedural
dan teknis semacam itu. Orientasi saya itu hasil, bukan prosedur. Kalau mau
orientasi prosedur, kapan mau mulainya.
Bukankah
Anda dulu dikenal ketat pada prosedur?
Kewajiban pemerintah itu taat prosedur, tapi
jangan melulu itu juga. Yang pasti, saya selalu minta pendapat semua pihak,
Kejaksaan Agung dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, agar jangan
sampai melanggar. Manajemen itu selalu ada, dari perencanaan sampai pengawasan.
Tidak
takut tersandung kasus bila mengesampingkan prosedur?
Saya pusing karena ada 52 ribu aturan yang
njelimet. Pemerintah jadi tak bisa mengambil keputusan dengan cepat karena
banyaknya aturan.
Program
deregulasi belum menunjukkan hasil?
Sudah ada beberapa, seperti pembebasan lahan
dan dwelling time menjadi lebih cepat.
Sejumlah
proyek juga dianggap terlalu muluk, seperti listrik 35 ribu megawatt. Anda
masih optimistis?
Kalau mau, pasti jadi. Tapi kita harus
menyesuaikan. Sebab, bila penggunaannya tak sampai 35 ribu MW, PLN akan kena
beban pembayaran. Target itu tetap, tinggal PLN mengatur kapan waktu
penyelesaiannya.
Kesannya
seperti memaksakan.…
Sejak merdeka, kita cuma punya 53 ribu MW.
Karena itu, saya bilang mau bangun 35 ribu MW pada enggak percaya, ya terserah
kalau tak percaya. Saya masih percaya.
(Situs presidenri.go.id pada Mei 2016
melansir kebutuhan listrik nasional hingga akhir 2019 sekitar 90.500 MW,
sementara daya yang tersedia baru 55.528 MW. Dengan pertumbuhan permintaan
listrik secara nasional 7.000 MW per tahun, kebutuhan tambahan listrik selama
2014-2019 adalah 35 ribu MW.)
Target
realistis Anda apa?
Kalau kami bisa membangun 25 ribu MW saja
sudah sangat baik dan bukan lumayan lagi namanya. Sebab, selama 72 tahun kita
cuma bisa membangun 53 ribu MW. Coba bandingkan pencapaian itu.
Teguran itu baik karena proses manajemen
kontrol sedang berjalan. Kami saling mengingatkan. Jangan memakai uang negara
lalu merasa tidak diawasi, berbahaya sekali itu.
Apakah
Menteri Keuangan berani menegur Anda bila penyusunan anggaran mulai tak
realistis?
Namanya bukan menegur, tapi mengingatkan.
Anda
terkesan berlari cepat, apa para menteri bisa mengikuti?
Apa saya cepat? Ha-ha-ha.... Wong
pekerjaannya jadi, ya, berarti menteri bisa mengikuti ritme saya.
Anda
puas terhadap kinerja menteri?
Kalau bicara kepuasan kan sudah 70,8 persen,
ha-ha-ha.... Terus pertanyaannya, reshuffle kapan, Pak? Ha-ha-ha....
Katanya
bersamaan dengan seorang menteri yang mau ikut pemilihan kepala daerah?
Ha-ha-ha....
Bagaimana
Anda memastikan proyek infrastruktur ini berlanjut?
Banyak proyek yang akan selesai pada 2020,
2021, dan 2022. Memang harus selesai dan kewajiban saya memastikannya agar
selesai tepat waktu. Saya akui beberapa proyek yang saya resmikan adalah
peninggalan pemerintahan sebelumnya. Tapi selesainya lama sekali, seperti
Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika, Nusa Tenggara Barat. Sampai kiamat pun tak
akan selesai kalau hanya duduk di balik meja. Harus turun ke lapangan.
Blusukan
rupanya masih efektif?
Mendengar dan menyaksikan langsung problem di
lapangan itu sangat penting. Kalau saya turun ke lapangan, ketemu masyarakat
lima menit saja sudah dapat cerita banyak. Dari situ saya merumuskan solusinya.
Jadi
kapan target semua proyek strategis nasional rampung?
Tunggu 2018-lah, ha-ha-ha....
Bisa
untuk bahan kampanye pada pemilihan umum presiden mendatang?
Tak mungkin negara sebesar ini bisa selesai
membangun dalam 5 bahkan 20 tahun. Masih banyak yang harus dikerjakan. Jangan
berpikir seperti itu. Visinya harus tetap konsisten siapa pun pemimpinnya.
Joko Widodo
Tempat dan tanggal lahir:
Surakarta, 21 Juni 1961
Pendidikan: Sarjana Kehutanan Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta (1985)
Karier:
Presiden Republik Indonesia (2014-sekarang)
Gubernur DKI Jakarta (2012-2014)
Wali Kota Surakarta (2005-2012)
Ketua Asosiasi Permebelan dan Industri
Kerajinan Indonesia Surakarta (2002-2007)
Ketua Bidang Pertambangan dan Energi Kamar
Dagang dan Industri Surakarta (1992-1996)
Pendiri Koperasi Pengembangan Industri Kecil
Surakarta (1990)
Sumber: Tempo, 5 November 2017
Ket foto:
Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo dalam sejumlah kegiatan.
Sumber foto: google.co.id
Sumber foto: google.co.id
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!