Oleh Alexander Aur
Dosen Filsafat
Fakultas Liberal Arts
Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Banten
SETELAH
Mahkamah Konstitusi (MK) mengakhiri sidang sengketa hasil Pilpres 2019,
berbagai pihak mendorong agar pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan pasangan
Prabowo-Sandiaga Uno membangun rekonsiliasi politik. Tujuannya ialah mengakhiri
'permusuhan' politik yang berlangsung selama kampanye dan pemilu. Dengan
berakhirnya 'permusuhan' politik, diharapkan para pendukung kedua pihak bersatu
kembali sebagai warga negara Indonesia.
Mengapa perlu
rekonsiliasi? Syarat-syarat apa saja yang harus terpenuhi agar rekonsilitasi
terwujud? Apakah tujuan rekonsiliasi semata-mata demi mengakhiri 'permusuhan'
politik berakhir?
Antagonisme politik
Konflik politik dan
segala akibat buruk yang menyertainya merupakan alasan dasar dari rekonsiliasi
politik. Dalam situasi konflik, para pihak yang terlibat di dalamnya mengalami
penurunan martabatnya sebagai manusia. Dalam konteks hidup bersama sebuah
negara, konflik merupakan momen degradasi bagi setiap warga negara. Negara
terutama negara demokrasi merupakan institusi politis modern, yang dihuni
orang-orang beradab. Mereka ialah warga negara.
Jika dalam negara
terjadi konflik politik, warga negara mengalami penurunan keberadabannya
sebagai manusia politik. Pada Pemilu 2019 khususnya pemilu presiden-wakil
presiden--merupakan peristiwa politik di negeri ini, yang pada taraf tertentu
terjadi konflik antarwarga negara.
Alih-alih kampanye
politik dan pemilu sebagai momen bagi warga negara mengaktualkan rasionalitas
dan kejernihan batin dalam memilih pemimpin publik, yang terjadi justru
sebaliknya; warga negara terbelah dalam--apa yang disebut oleh Carl
Schmitt--dengan istilah antagonisme, yakni kawan-lawan politik (Chantal Mouffe,
2000).
Pihak pendukung
Prabowo-Sandiaga memandang pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai lawan
politik yang harus ditaklukkan. Sebaliknya pun demikian. Dalam cuaca dan suhu
antagonisme politik itulah para pendukung, baik partai politik maupun warga
negara relawan politik, menarasikan dan mempraktikkan pepatah Latin yang
dipopulerkan Thomas Hobbes pada abad silam; bellum omnium contra omnes (semua
melawan semua), setiap pihak berperang satu sama lain.
Bila Thomas Hobbes
menggunakan pepatah itu untuk menggambarkan kondisi alamiah manusia yang saling
berperang memperebutkan sumber-sumber pangan demi tetap bertahan hidup, pada
Pilpres 2019, para pendukung berkonflik untuk merebut dan mempertahankan
kekuasaan politik.
Akan tetapi,
antagonisme politik yang mengerucut pada konflik di tempat (negara) mana pun,
tidak akan pernah mengarah pada terciptanya situasi yang beradab. Itu karena
konflik pada dasarnya merupakan desktruksi terhadap setiap pihak yang
berkonflik. Berdasarkan antagonisme politik dan konflik yang demikian, usulan
rekonsiliasi merupakan hal yang tepat.
Memulihkan martabat
Di dalam alasan dasar
rekonsoliasi tersebut sudah terkandung pula tujuan rekonsiliasi, yakni
pemulihan martabat para pihak yang berkonflik. Setiap orang memang tak dapat
mengelak dari hasratnya untuk berkonflik. Manusia membawa sebuah beban alamiah
dalam dirinya, yakni hasrat untuk berkonflik.
Bersamaan dengan
hasrat untuk berkonflik, manusia juga berharap untuk tidak berkubang dalam
konflik. Harapan itu melekat pada nalar etisnya. Nalar etis itu menggerakkan
diri manusia untuk mengakhiri konflik dan mengembangkan keadaban. Nalar etis
merupakan wujud paling terang dari keberadaan manusia sebagai persona etis (Ron
Perrin, 1991).
Mengingat hasrat
berkonflik tetap membayangi nalar etis, maka warga negara yang berkonflik tidak
dapat memenuhi syarat-syarat rekonsiliasi. Ada empat syarat, yakni pengakuan,
pertobatan, menunaikan sanksi, dan berjanji tidak melakukan kesalahan serta
menunaikan janji (Bdk Max Scheler, 2010). Syarat-syarat ini merupakan langkah
revolusi moral politik.
Pertama, setiap
pihak mengakui kesalahan, yakni telah saling mendegradasi keberadaan diri
melalui sikap dan tindakan politik yang tak beradab. Pengakuan akan kesalahan
merupakan syarat untuk pertobatan. Kedua, pertobatan merupakan momen yang di
dalamnya para pihak yang berkonflik melakukan revolusi diri secara moral.
Revolusi diri warga negara dimulai dengan kemauan menebus kesalahan. Tidak ada
kesalahan tanpa tebusan. Setiap warga negara yang berkonflik tidak bisa
mengelakkan dirinya dari tanggung jawabnya menebus kesalahan-kesalahannya.
Ketiga, tebusan
akan kesalahan ditempuh melalui cara menjalankan sanksi. Akan tetapi, sanksi
tidak boleh bertentangan dengan alasan dasar dari rekonsiliasi. Menunaikan
sanksi berlangsung bersamaan dengan janji dan melakukan janji.
Keempat, para pihak
saling berjanji untuk tidak saling mendegradasikan diri lagi dan berkehendak
kuat untuk melakukan janjinya. Warga negara yang berkonflik saat merebut dan
mempertahankan kekuasaan politik, berjanji untuk tidak berkonflik lagi pada
masa depan. Janji disertai pula dengan kehendak yang kuat untuk melakukan janji
tersebut.
Empat syarat itu
berlaku bagi semua warga negara yang berpolitik, baik yang berperan sebagai
penyelenggara negara maupun warga negara biasa.
Kebahagiaan bersama
Rekonsiliasi
politik tidak bertujuan pada dirinya. Rekonsiliasi politik juga tidak berarti
bagi-bagi kue kekuasaan politik atau jabatan publik di lembaga-lembaga negara.
Memahami dan mendorong rekonsiliasi politik hanya dengan maksud memperoleh
jabatan publik dan kekuasaan politik, justru bertentangan dengan tujuan
rekonsiliasi sesungguhnya, yakni pemulihan martabat warga negara sebagai
manusia.
Tidak terwujudnya
keadilan sosial, pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan hidup, konflik sosial,
korupsi, kesehatan rakyat yang buruk, dan sebagainya bukan semata-mata
disebabkan penyelenggaraan negara yang buruk oleh aparatur negara.
Kondisi-kondisi minus tersebut terjadi juga karena warga negara biasa diam dan
abai terhadap kerja para penyelenggara negara. Hilangnya kritisisme warga
negara biasa dan sikap abai para penyelenggara negara terhadap kritik justru
bermuara pada tidak terciptanya kebahagiaan bersama.
Indonesia dapat
menjadi sebuah negara demokrasi modern apabila mencapai realitas ultimnya,
yakni kebahagiaan bersama. Dengan demikian, berpolitik menjadi ungkapan jati
diri dan martabat warga negara sebagai manusia politik.
Sumber: Media Indonesia, 17 Juli 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!