Oleh
Hatim Gazali
Dosen Universitas Sampoerna Jakarta
TAK ada seorang pun dari umat
Islam yang dapat menyangkal bahwa berhubungan baik dengan sesama dan mengakhiri
permusuhan ialah perintah penting yang harus dipatuhi segenap umat Islam.
Di sejumlah lembaran Alquran pun dapat
dengan mudah ditemukan betapa Islam menempatkan persaudaraan dan perdamaian
sebagai salah satu pesan terpenting dari ajaran Islam. Pesan yang sama juga
diungkap seluruh teks suci agama-agama.
Dalam kerangka inilah, pertemuan antara
dua elite kita, Joko Widodo dengan Prabowo Subianto, yang pada pemilu kemarin
bertarung untuk memperebutkan kekuasaan, perlu disambut dengan baik.
Apakah pertemuan tersebut bermakna
perubahan arah angin dari semula berhadap-hadapan menjadi berangkulan, kita
lihat di kemudian hari. Namun, yang pasti bahwa pertemuan, silaturrahim, dan
dialog ialah perkara baik yang perlu dikembangkan, mulai elite sampai bawah,
terutama pascapilpres.
Sulit dibantah bahwa pemilu tak
menanggalkan luka. Pertarungan dua orang atau lebih untuk memperebutkan
kekuasaan selalu berujung kalah dan menang. Memang demikian hukumnya. Tak
mungkin keduanya menang, juga keduanya kalah.
Namun percayalah, Indonesia memiliki
tradisi baik untuk mengobati luka, mempertemukan yang tercerai, mengulurkan
tangan kepada yang tersungkur. Tradisi Jawa memiliki pepatah 'menang tanpa
ngasorake' bahwa kemenangan yang diraih haruslah tanpa merendahkan orang lain.
Terlebih, langgam politik kita bukanlah zero-sum game, yakni yang menang
mengambil semua dan yang kalah dihabisi semua. Wajah politik kita mengikuti
kaidah fikih, ma la yudraku kulluh la
yutraku kulluh (apa yang tidak bisa diraih semuanya, jangan ditinggalkan
semuanya).
Karena itulah, peta politik pra dan
pascapemilu tak pernah ajek. Di suatu waktu, ia bisa menjadi lawan, tapi di
waktu lain ia menjadi kawan. Maka dari itu, negosiasi, lobi, dan bahkan
transaksi lumrah terjadi.
Satu hal yang penting dicatat dari
pertemuan Jokowi-Prabowo beberapa waktu lalu ialah kesepakatan untuk mengakhiri
perseteruan 'cebong vs kampret' ataupun '01 vs 02' karena persatuan Indonesia
di atas segalanya. Pertanyaannya, bagaimana seruan tersebut dapat merembes ke bawah
sehingga persatuan elite tersebut tidak sekadar menjadi simbol yang dipajang di
lini masa media sosial, tetapi juga menjadi gerak laku rakyat Indonesia.
Perjumpaan akar rumput
Kecuali di media sosial dan bagi tim
sukses, rakyat Indonesia secara umum bukanlah rakyat pendendam yang menempatkan
perbedaan pilihan politik sebagai sesuatu yang sangat penting. Mereka mungkin
saja membincang pilihan politiknya secara enteng-entengan, tanpa ada beban, dan
paksaan.
Karena itulah, dagelan politik para
elite kerap hanya menjadi tontonan semoga bukan tuntunan rakyat bawah.
Kompetensi rakyat menempatkan peristiwa
politik sebagai sesuatu yang 'biasa' tidak bisa lepas dari peran para tokoh
lokal di tiap-tiap daerah, terutama mereka yang disebut KH Abdurrahman Wahid
sebagai 'kiai kampung'. Seperti yang diungkap Clifford Geertz (1960) bahwa kiai
kampung memiliki peran sebagai 'cultural broker' yang mampu menjembatani hajat
antara elite dan bawah.
Dalam konteks ini, Nahdlatul Ulama (NU)
memiliki andil yang sangat besar karena ia merupakan rumah terbesar para kiai
kampung. Di tangan merekalah persatuan, perdamaian, dan kerukunan umat
dipertaruhkan. Segala macam provokasi di media sosial dapat dengan mudah
diredam kearifan dan kebijaksanaan kiai kampung ini. Ide-ide kebangsaan yang
terasa berat dapat diterjemahkan mereka dengan cara yang sederhana dan
terkadang jenaka.
Karena itu, jika pemerintah bertekad
untuk melakukan rekonsiliasi, rekonsiliasi tersebut tidak bisa hanya terjadi di
kalangan elite, tetapi juga harus menyentuh akar rumput. Hal itu sehingga
pemerintah tidak boleh tidak harus meminjam tangan mereka untuk merajut kembali
persatuan, menjahit tenun kebangsaan yang nyaris robek.
Komitmen kebinekaan
Lima program kerja sasaran prioritas
yang disampaikan Presiden terpilih, Joko Widodo, dalam pidato Visi Indonesia,
12 Juli 2019, mensyaratkan adanya persatuan bangsa Indonesia.
Tanpa ada soliditas yang cukup baik di
level elite maupun wong cilik, lima program sasaran prioritas akan menghadapi
hambatan yang sangat besar, dan persatuan Indonesia salah satunya dapat diukur
dari sejauh mana komitmen untuk berada dalam rumah bersama bernama NKRI dan
Pancasila.
Sayangnya, sejumlah riset menunjukkan
kekhawatiran. Survei LSI-Denny JA pada 2018 menemukan adanya peningkatan persentase
orang yang bermigrasi dari ideologi Pancasila menuju NKRI bersyariah. Pada
2005, publik yang pro-Pancasila angkanya mencapai 85,2%, dan lima tahun
kemudian, pada 2010, angkanya menjadi 81,7%. Pada 2015, angkanya menjadi 79,4%
dan pada 2018 menjadi 75,3%. Dengan kata lain, dalam kurun waktu 13 tahun,
publik yang pro-Pancasila menurun 10%.
Dalam batang tubuh negara, Alvara
Research pada 2018 melakukan kajian terhadap aparatur sipil negara (ASN),
perguruan tinggi, dan BUMN. Alvara menemukan bahwa 19,4% ASN di 6 kota
(Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar) yang tidak setuju
ideologi Pancasila. Di level perguruan tinggi, Setara Institute menyebutkan 10
perguruan tinggi yang terpapar radikalisme.
Karena itulah, dalam menyusun kabinet di
periode keduanya, Jokowi perlu memasukkan dalam pakta integritas untuk para
pembantunya ihwal komitmen untuk memberantas radikalisme, rasisme, dan
intoleransi di wilayahnya masing-masing dengan standar penilaian yang terukur.
Dengan cara itulah, kebinekaan sebagai
corak dan identitas keindonesiaan akan tetap terjaga. Tanpa itu semua,
sebagaimana narasi yang berlangsung pada pilpres kemarin, sehebat apa pun
kinerja dan legacy yang dicapai pemerintahan Joko Widodo–KH Ma’ruf Amin di masa
mendatang akan nihil karena retaknya tenun kebangsaan yang berbineka ini.
Sumber: Media Indonesia, 20 Juli 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!