Oleh Fidel Hardjo
alumnus STFK Ledalero, kini Staf Televisi TBN Asia
“Raksasa akan segera bangun dari tidurnya yang pulas”. Demikian, wartawan Bali Post menebar “optimisme segar” ketika terbentuknya Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) pada tahun 2003. Mabar akan diprediksi menjadi industri wisata yang bisa menggeser posisi Bali ke depan. Apakah itu mungkin?alumnus STFK Ledalero, kini Staf Televisi TBN Asia
Optimisme wartawan ini tentu tidak mengada-ada. Mabar punya tipikal istimewa dianugerahi aneka obyek wisata. Kita kenal satwa endemiknya biawak Komodo yang telah menjadi ikon pariwisata Manggarai Barat, bahkan Nusa Tenggara Timur secara umum.
Obyek wisata lain adalah panorama alam eksotik, bentang laut dengan hamparan pasir putih yang bersih, keindahan alam bawah laut yang memukau dengan spesies terumbu karang dan ikan hiasnya, goa alam, air terjun hingga danau berkadar belereng seperti danau Sano Nggoang. Belum lagi, fosil-fosil kayu yang ditemukan di sejumlah desa sperti di Warloka serta bangunan benteng-benteng perang yang bisa dijumpai di ini terpental melambung jauh.
Sayangnya, potensi wisata ini belum dikelolah secara baik. Rasa-rasanya, kata sihir wartawan Bali Post di atas, sulit didamaikan dengan realitas kini. Apa yang kita jumpai di Mabar sekarang, masih banyak desa dan obyek wisatanya terisolasi tanpa terekat oleh infrastruktur transportasi. Selama lima tahun, Mabar terkesan bagaikan “raksasa yang berjalan sambil tidur”.
Usia lima tahun sebenarnya, sudah cukup matang dalam menggenjot akselerasi pembangunan. Paling kurang, runtuhnya sekat-sekat isolasi di desa-desa terpencil dan kawasan wisata lewat energisitas proyek infrastruktur transportasi.
Belum lekang dalam ingatan saya.Tahun lalu, ketika Bupati Fidelis Paranda mengunjungi desa Pota Wangka, yang letaknya tak seberapa jauh dari pusaran kota Labuan Bajo. Kebetulan saya hadir juga di tempat itu. Saya seperti warga lain, merasa senang melihat Bupati secara dekat. Tanpa basa-basi, waktu itu diatur sesi tanya-jawab. Meskipun kehadiran rombongan Bupati kali itu untuk merayakan pesta emas syukuran Paroki St. Maria Fatima Wangkung Boleng.
Dalam sesi tanya jawab itu, saya menyaksikan betapa rakyat tergebu-gebu minta satu hal: Bapak Bupati tolong buka jalan raya untuk desa kami! Rakyat melihat peluang ini untuk minta dan minta. Sepertinya rakyat adalah pengemis pembangunan? Begitu, cetusku dalam hati.
Akhirnya, saya sadar. Ternyata, rakyat di daerah terpencil seperti ini, punya kesadaran besar akan mobilitas pembangunan. Tinggal saja, bagaimana pemerintah merespon kesadaran rakyat ini. Sekian sering, transformasi pembangunan tak bersentuhan dengan kerinduan rakyat. Sebab, mobilitas pembangunan tidak mampu menjebol getho isolatif rakyat di desa-desa terpencil.
Pembangunan transportasi dan komunikasi adalah pintu gerbang pemberdayaan masyarakat terpencil dan terasing. Seperti apa yang tertuang dalam Keppres No. 111/1999 dan Kepmensos No. 06/PEGHUK/2002. Komunitas terpencil adalah “kelompok sosial yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik”.
Pembangunan daerah sejatinya ditakar oleh kehidupan warga desa terpencil. Teraksesnya jalan raya ke desa-desa terpencil merupakan prioritas utama pembangunan.Tujuan pembangunan harus terorientasi kepada orang miskin sebagai sasaran langsung pembangunan. Orang-orang miskin adalah orang-orang yang paling menderita dan sering dilupakan demikian kata Schumacher (Schumacher, 1979).
Selama ini, Mabar disesaki oleh berbagai proyek pembangunan. Itu signal yang positip sekaligus sebuah ironis. Sayangnya, proyek-proyek yang sedang menggeliat ini, tanpa diimbangi oleh pengawasan yang maksimal.
Misalkan saja, pengerjaan ruas jalan route Nggorang-Lando yang dilaporkan dalam sidang paripurna DPR 2007 bahwa proyek ini adalah proyek paling bermasalah dan menelan begitu banyak uang. Ditenggarai, pada tahun 2004 lalu Mabar mengalokasikan dana Rp 599.975.00,00, Rp 850.000.000,00 (2005) dan Rp 1.627.465.000,00 (2006) (Pos Kupang, 18/7/2007) .
Tapi lihat hasilnya, belum selang tiga bulan, jalan ini sudah rusak total. Bayangkan, jalan Nggorang-Lando, kondisi jalanya sulit dibedakan lagi antara jalan raya atau “pate wonok” (jalan berburu) . Padahal ada beberapa desa sepanjang Nggorang-Lando yang masih terisolasi yaitu desa Tanjung Boleng dan Pota Wangka dan menuju Warsawe (Desa Cunca Wulang).
Wajah keterisolasian wilayah ini bukan hanya mematikan elan vital ekonomi tapi juga melumpuhkan pendidikan. Sebab, penduduk sekitar ini terpaksa berjalan kaki memikul bakul jualan mereka ke pasar. Anak-anak mereka harus berjalan kaki puluhan kilometer menuju Labuan Bajo sambil pikul bekal, untuk melanjutkan SMP atau SMA. Inikah ironi sebuah pembangunan yang tak berwajah rakyat?
Rendahnya kualitas pengerjaan jalan raya Nggorang-Lando baru-baru ini merupakan letupan gunung es. Bahwa, ada hal yang terbaikan dalam gegap gempita pembangunan Mabar sekarang. Terlihat tapi terabaikan. Bagaimanapun yang berlalu telah berlalu. Tapi, setidaknya kita perlu belajar dari kesalahan masa lalu (learning by mistake).
Sekarang terserah kita. Membiarkan Mabar seperti “raksasa yang terus tertidur pulas” atau kita perlu bangunkannya dari kondisi ketidurannya itu. Yah, kembali ke tangan nahkoda utama kabupaten Mabar, perlu menyiasati gejolak pembangunan daerah ini secara produktif.
Pertama, betapa pentingnya pengawasan pemerintah akan seluruh proyek jalan raya Mabar. Proyek-proyek daerah, perlu diawasi secara serius dan intensif. Agar siapapun Kontraktor pemenang tender proyek daerah tidak sekali-kali mengibuli pengerjaan jalan atau apapun jenis proyek daerah lainnya dengan kualitas palsu.
Kedua, pentingnya manajemen pembangunan. Pada prinsipnya, pembangunan awal daerah adalah masa yang paling sulit.
Periode awal mesti dibenahi dengan fondasi yang kokoh demi kontinuitas pembangunan selanjutnya. Setidaknya, ada perencanaan bertahap dan matang. Saya ambil contoh saja. Proyek pengadaan stek ubi kayu yang sarat bermasalah. Untuk proyek ini pemerintah mengalokasi 2,8 miliar dana APBD, telan begitu banyak uang daerah (Pos Kupang,21/3/2007).
Alhasil, proyek ubi kayu ini makan energi dan ongkos. Hasilnya, apa? Apalagi sampai sekarang wartawan Pos Kupang tidak pernah kabarkan lagi berita seputar proyek ubi kayu itu. Ini hak rakyat, untuk mengetahui apa dab bagaimana proyek selanjutnya. Jangan beri kesan kelompok penggebuk wartawan Pos Kupang kali lalu berhasil menjerakan wartawan untuk tidak megekspos proyek ubi bermasalah itu.
Ketiga, menjebol semua getho isolatif desa-desa terpencil dan tempat-tempat obyek wisata merupakan kebutuhan yang sangat urgent untuk Mabar sekarang. Sebab, ketika transportasi berjalan lancar maka wisatawan mudah mengunjungi tempat wisata, dan rakyat mudah mengakses informasi, pasar, pendidikan dan kesehatan. Pada gilirannya, rakyat tergerak berpacu secara aktif-partisipatif dalam roda pembangunan daerah.
Pada moment seperti inilah, kita butuh kehadiran sosok seorang pemimpin yang punya naluri agresivitas pembangunan tinggi. Sehingga, impian kita yang sudah lama terpendam (das sollen) bahwa suatu saat Mabar bisa menjadi “The Second Bali” akan menjadi kenyataan (das sein). Jangan hanya merasa nyaman dengan bermimpi!
Sumber: nttonlinenews.com, 10 August 2008