Ada banyak peristiwa dan pengalaman
hidup yang kita alami berlalu begitu saja tanpa ada jejak makna yang membekas
untuk dijadikan refleksi diri. Lazimnya orang baru mengamati serta mengambil
hikmah dari peristiwa-peritiwa besar, seperti musibah gempa, banjir, longsor,
dan lain-lain.
Tidak banyak orang yang melakukan
internalisasi terhadap peristiwa-peristiwa kecil —atau mungkin dianggap remeh
temeh— di sekitar kita, sebab itu dianggapnya hal yang biasa sehingga tak perlu
repot-repot memikirkannya. Mana pernah kita merenungi makna gelas yang jatuh
pecah? Yang timbul dalam hati, paling rasa sesal dan eman. Karena kita tahu,
barang itu berharga, bagus dan juga mahal.
Hanya Stephie Kleden-Beetz, penulis buku
ini, yang memaknai pecahnya gelas (simbol keduniawian) sebagai pengingat kalau
semua di muka bumi adalah fana, maka kita diajak untuk mencari yang abadi,
yaitu Kebesaran Tuhan Sang Pencipta. Pepatah Jerman mengatakan, Glueck und
glas wie leicht bricht das (kebahagiaan dan kaca betapa mudah pecah).
Stephie, yang pernah tinggal cukup lama
di Eropa, dan kini ia di Malang, hendak mengajak pembacanya agar memaknai
sekaligus merenungi setiap peristiwa-peristiwa yang kita alami dalam
keseharian. Dalam ‘seni menulis’, Stephie tidaklah kalah dengan adiknya, Ignas
Kleden. Ia sangat lihai dan piawai menganyam huruf menjadi kata, lalu
menyusunnya berbentuk untaian kalimat yang bernas, padat, dan berkarakter.
Tentang hakikat miskin dan kaya,
misalnya, Stephie menceritakan. Suatu hari, seorang ayah kaya-raya mengajak
putranya berkeliling melihat keluarga-keluarga miskin. Maksud utamanya ialah
agar putranya sadar betapa kayanya mereka dibandingkan dengan orang lain yang
tidak mampu. Dalam perjalanan pulang, terjadilah percakapan antara ayah dan
anak.
Si ayah menanyakan kepada anaknya:
“katakan apa yang telah kamu pelajari dari pengalaman ini?” Jawab si anak: “…
kita punya kolam renang yang bagus, luas, di tengah taman. Mereka punya teluk
indah yang tak berujung; kita punya lampu taman mahal buatan luar negeri.
Mereka punya bintang di langit setiap malam; kita punya teras belakang yang
luas menjangkau pekarangan, tapi mereka punya seluruh alam semesta; kita punya
sejengkal tanah untuk hidup dengan pajak bumi yang tinggi. Mereka punya ladang
luas untuk hidup selamanya; kita punya banyak pembantu yang melayani, tapi
mereka saling melayani dan saling menolong; kita punya tembok dan pagar tinggi
untuk melindungi harta benda kita, tapi mereka punya teman untuk melindungi
mereka (hlm. 34-35).
Pilihan judul Merajut Kata-kata,
sebenarnya bukanlah simpulan dari keseluruhan tema permenungan Stephie, tapi
lebih pada sikap dirinya dalam mencerna realitas, yang kemudian ia narasikan
lewat bait-bait kata indah dan eksotis. Keistimewaan lain dari buku ini selain
karena gaya bahasa tulisnya, juga didukung oleh daya pikat ilustrasi gambar
yang sangat memesona, mengiringi setiap tema.
Membaca buku ini sebaiknya dinikmati
dalam suasana hati yang tenang, agar kandungan isinya terserap masuk ke lubuk
sanubari. Sebab bila tidak mampu menjiwainya, sungguh disayangkan, karena
panorama makna di balik peristiwa-peristiwa yang diungkap Stephie itu,
dibarengi pula dengan ungkapan-ungkapan hikmah, baik berdasarkan kutipan dari
perkataan filusuf, sastrawan, teolog, dan Al-Kitab.
Pada hemat saya, Stephie menempuh
setidaknya tiga strategi dalam menyusun buku setebal 159 halaman ini. Pertama,
ada kalanya Stephie bertutur lancar, mengalir deras, menceritakan apa yang ia
amati di sekitarnya. Ini bisa disimak pada uraianya tentang “Api dan Lidah”,
yang menganjurkan kita untuk menjaga ucapan. Di akhir tulisan, ia mengutip
Santo Yakobus (Yak 3: 3-8), lidah (pun) adalah api, yang berarti bisa membakar.
Kedua, di bagian lain, Stephie tampak
tidak semua secara langsung menceritakan pengalamannya sendiri, tapi berdasakan
kisah dari teman atau orang-orang terdekatnya, atau kadang pula menarasikan
ulang hasil bacaan yang pernah ia temukan di sejumlah buku. Seperti pada tema
“Temanku Guru Matematika”, yang menceritakan tentang seorang bapak penjual
galon air bekas, bercita-cita hendak membelikan handphone untuk ulang tahun
anaknya. Padahal, pendapatannya tidaklah banyak. Cuma tiga puluh ribu perhari.
Itu pun kalau beruntung.
Singkat cerita, saat pulang ke rumah,
bapak itu membagi hasil jerih payah penghasilannya itu dengan cara membagi dua:
separuh untuk sesuap nasi, dan separuhnya lagi untuk ditabung demi
membahagiakan anak terkasih. Maka tidaklah heran, saat waktunya tiba, mata anak
dan istrinya basah, tetapi tak ada suara yang keluar karena disumbat oleh rasa
haru dan bahagia. Hidup memang bukan matematika, melainkan seni dengan berbagai
rahasianya. Dan rahasia terbesar tentulah cinta (hlm. 55-56).
Ketiga, Stephie menerapkan metode
penulisan dengan terlebih dulu mengantongi beberapa ungkapan bijak, lalu
setelah itu dicari serta menyusun kisah yang dapat membalut utuh ungkapan itu.
Contoh yang paling tepat atas metode ini, ada pada tema “Ingin Tahu”, yang di
dalamnya terdapat ungkapan atau pernyataan Santo Agustinus dalam Confessions,
tahun 397 Masehi, “Jauh sebelum langit dan bumi diciptakan, Tuhan telah
merancang ruang untuk rasa ingin tahu”.
Akhirnya, tampaklah kalau Stephie adalah
seorang pembaca buku yang tekun, dan seorang yang taat memegang ajaran-ajaran
iman Kristen. Mutiara hikmah yang sengaja ditaburkan oleh Stephie tentu saja
memberikan surprise berharga bagi pembacanya. Strategi ini tentu menjadi
langkah efektif untuk membuat tulisan tidak monoton, dan betah membacanya.
Ali Usman, pecinta buku, dan pegiat espeje community di Yogyakarta
Judul : Merajut Kata-kata
Penulis : Stephie Kleden-Beetz
Penerbit : Kanisius
Cetakan : I, Mei 2011
Tebal : 159 halaman
Sumber: kantongbuku.blogspot.com
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!