Ketua
Umum DPP Partai Demokrat
Sudah lama kita
tidak membicarakan Pancasila secara hangat dan intens. Pancasila seolah lenyap
dalam hiruk-pikuk politik pasca-Reformasi. Pancasila sudah keburu identik
dengan hafalan murid sekolah dasar.
Membicarakan
Pancasila dianggap tidak seksi bagi banyak pihak, termasuk politisi, pengamat, atau
media. Mereka yang membicarakan Pancasila malah dianggap terjebak masa lalu atau
dituduh pro-Orde Baru. Kita tidak ingat bahwa perdebatan pendiri bangsa ini
mengenai Pancasila adalah serangkaian diskusi filosofis yang penuh gelora
intelektual.
Bapak-bapak
bangsa tersebut mendialogkan khazanah keilmuan dan filsafat, mengutip pemikiran
Barat dan Islam, menggali nilai-nilai di Nusantara, lalu membenturkannya dengan
realitas pedih sebagai bangsa terjajah. Pancasila adalah karya filsafat yang
bermutu tinggi, terbukti dengan keandalannya menjadi rancang arsitektur
negara-bangsa kita. Pancasila memang pernah tercerabut dari hati rakyat.
Pemerintahan
Orde Baru mendominasi pemaknaan Pancasila dan menjadikannya alat pembenaran
atas kebijakan pembangunan yang dijalankan. Berbeda atau bersikap kritis
terhadap pemerintah akan dicap “anti-Pancasila” sehingga wajah Pancasila
terkaburkan oleh wajah rezim. Di mata rakyat, Pancasila menjadi abstrak, tak
membumi,bahkan asing.Inilah yang menyebabkan Pancasila seolah runtuh jadi debu
seiring runtuhnya Orde Baru.
Imajinasi dan
Kesadaran
Lahirnya
Pancasila erat berhubungan dengan lahirnya Indonesia sebagai suatu imajinasi
sosial yang menghadirkan gambaran situasi yang ingin dituju (Setiawan, 2010).
Gambaran tujuan itulah yang memberi arah dan orientasi bagi institusi sosial
dan pranata politik serta melahirkan budaya.
Semua itu hasil
dari proses menyejarah,yang dilakukan dengan menengok ke belakang dan mencandra
ke depan, yang berujung pada kesimpulan nasionalisme Indonesia. Nasionalisme
Indonesia bukanlah etnonasionalisme yang didasari kesamaan etnis.Nasionalisme
Indonesia adalah hasil kesadaran,yang diekspresikan dalam sebuah sumpah:
Sumpah
Pemuda,untuk bersatu menjadi negara-bangsa yang lepas dari cengkeraman kemelaratan
akibat penjajahan menuju kesejahteraan yang hanya dapat diwujudkan jika bangsa
Indonesia bernaung dalam sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Sumpah
Pemuda 1928 adalah penegasan identitas sebagai bangsa yang baru,yang berbeda
dari suku-suku bangsa yang sudah ada pada waktu itu.
Penegasan bahasa
Indonesia sebagai modus eksistensi,bukan bahasa Jawa yang mayoritas atau bahasa
Belanda yang dominan, mencerminkan kesadaran dan hasrat untuk melangkah ke
dalam suatu konstruksi dunia baru bernama Indonesia. Kesadaran tersebut
membutuhkan titik temu untuk menjembatani perbedaan dan menjadi orientasi dalam
melangkah bersama ke masa depan.Pancasila menjadi titik temu itu.
Sila Ketuhanan
Yang Maha Esa mengakui keberagamaan bangsa Indonesia tanpa terjebak menjadi
teokrasi yang mengacu pada agama tertentu. Agama mayoritas memberi tempat yang
sama kepada agama lain sehingga tidak mendominasi rumusan cetak biru bangsa
Indonesia. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan Sila Persatuan Indonesia
merupakan penegasan alasan dibentuknya negara Indonesia merdeka, yaitu
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Dalam terang
Pancasila, kemanusiaan hanya dapat diwujudkan dengan keadilan dan keadaban.
Atau, keadilan hakiki yang ingin diwujudkan oleh negara Indonesia adalah
keadilan yang mengutamakan kemanusiaan, bukan keadilan “sama-rata-sama-rasa”
yang berpotensi mengorbankan kemanusiaan dan keadaban.
Sila persatuan
juga konsisten terhadap hasrat beridentitas baru Sumpah Pemuda, sebagai bangsa
yang satu,bertanah air satu. Sila keempat merupakan rancangan cara mencapai
tujuan kita merdeka. Kerakyatan menegaskan bahwa demokrasi Indonesia bukanlah
demokrasi borjuasi; hikmat kebijaksanaan merupakan konsep dasar teknokrasi, kepemimpinan
rakyat bukan sekadar kepemimpinan populis, melainkan juga teknokratis yang
kompeten; dan permusyawaratan/perwakilan sebagai cara untuk melahirkan
keputusan dalam pranata demokrasi dan kepemimpinan politik. Akhirnya, keadilan
sosial harus terwujud karena itulah tujuan dan alasan kita menjadi Indonesia.
Tugas Pemimpin
Pertanyaannya,
bagaimana mengembalikan Pancasila menjadi relevan dalam derap kehidupan
sekarang? Tugas besar kita adalah menghidupkan kembali ruh Pancasila sebagai
ideologi yang hidup (living ideology) dan ideologi yang bekerja (working
ideology) yang adaptif dan responsif. Pandangan ini disampaikan oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan Hari Kelahiran Pancasila
pada 1 Juni 2010.
Pancasila tidak
patut diperlakukan sebagai dogma, apalagi dikeramatkan, karena tindakan
tersebut justru menghalang-halangi Pancasila dalam merespons tantangan zaman.
Menurut Presiden SBY,itulah nilai terbesar Pancasila ketika diaktualisasikan
untuk menghadapi tantangan zaman kini dan mendatang.
Pancasila tidak
boleh menjadi dasar negara yang beku, tetapi hidup dan relevan karena selalu
didiskusikan dalam kehidupan sehari-hari anak bangsa. Pancasila tidak sematamata
menjadi domain negara sehingga rakyat tidak peduli, tetapi ia seyogianya berada
di ranah publik, dalam sebuah ruang bersama dan dirawat bersama-sama untuk
menjadi acuan solusi bagi pelbagai permasalahan kebangsaan kita.
Kembali berkaca
pada sejarah, sumbangsih Presiden Soekarno ketika merumuskan Pancasila adalah
menghadirkan imajinasi sosial yang sesuai dengan konteks ruang dan waktu.
Memang ada yang berpendapat bahwa Bung Karno “bereksperimen”, mulai dari
Pancasila, Manipol-USDEK, hingga demokrasi terpimpin. Tidak semua
berhasil,namun itulah sejatinya tugas pemimpin: menghadirkan imajinasi yang
menggambarkan tujuan yang ingin dicapai.
Bung Karno telah
memberi teladan tentang upaya untuk terus mendiskusikan suatu narasi hidup yang
berkaitan dengan kondisi waktu itu. Kita harus bisa melangkah lebih dari apa
yang telah dicontohkan Bung Karno. Dengan tingkat pendidikan yang lebih baik,
keterbukaan informasi, dan kemajuan demokrasi yang kita miliki sekarang, kita
harus mampu merealisasikan kekuatan Pancasila sebagai ideologi yang hidup dan
bekerja sehingga mampu mengatasi dan melintasi dimensi ruang dan waktu.
Sumber: Sindo,
1 Juni 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!