Budayawan
Saya membaca judul film Soegijo
dengan tambahan Romo dalam hati. Juga dalam percakapan, dalam ingatan, dan
terutama dalam kesadaran. Bukan semata karena merasa kurang hormat tidak
menyebut predikat, melainkan karena keromoan dan kesoegijoan sudah menyatu,
bulat tak terceraikan.
Sebagaimana kredo nasionalisme
yang sakti, tag line yang abadi. ”Seratus persen Indonesia, seratus
persen Katolik”. Seratus persen berlaku selama masih ada Indonesia, masih ada
Katolik.
Sebagaimana hubungan
istri-suami, tak selalu harus disebutkan dengan urutan suami-istri, yang satu
jua adanya, tanpa kehilangan identitas diri masing-masing. Keutuhan –yang
sekilas paradoksal– adalah dinamika dari realitas empiris yang telah
terbuktikan.
Dua Sisi Mata Uang
Bahkan, pengakuan pertama atas
kemerdekaan Indonesia oleh Vatikan adalah buah utuh karakter dan integritas
seorang Monsinyur Albertus Soegijapranata. Rasanya sulit terjadi kalau yang
melakukan diplomasi itu Romo yang bukan manusia Indonesia. Sama sulit
membayangkan orang Indonesia yang bukan Romo yang mengakui dan diterima dalam
hierarki di Vatikan.
Demikian juga ketika pada masa
revolusi, yang menentukan mati-hidup dan legitimasi, keuskupan pusat
dipindahkan ke Yogyakarta dari Semarang lantaran Ibu Kota berpindah dari
Jakarta. Semua hanya dimungkinkan karena menyatunya antara keromoan dan
keindonesian seorang bernama Soegijo. Tidak mungkin muncul dari satu kekuatan
saja, tetapi kekuatan dua sisi mata uang.
Ini mata uang yang sama ketika
Romo Mangunwijaya ikut dalam genangan air mata duka di Kedung Ombo.
Tindakan dan sikap yang
terungkap dari keromoan sekaligus juga kemangunan, yang menyingkap energi yang
berlebih, lebih dari sekadar mengutamakan kepentingan pribadi. Justru
sebaliknya, menyatu dengan kondisi dan keberadaan umat yang menderita, yang
terluka.
Sebagai pribadi, beliau-beliau
ini sebetulnya bisa menikmati berada dalam zona aman. Namun, mereka justru
tetap memilih bersama umat yang tersisih, yang sedih, dan butuh kasih teladan berwujud
pada harapan nyata. Bahkan, sudah jadi kenyataan sejarah: Romo Soegijo
menghardik tentara Jepang atau memaksakan perundingan gencatan senjata.
Inilah yang membedakan Romo
Soegijo mengapa tak harus ikut memanggul senapan atau berhenti menuliskan refleksi
dalam puisi, misalnya. Inilah yang membedakan dengan sosok yang lain, tanpa
meniadakan peran satu dengan lainnya, tanpa menjadi siapa yang harus nomor
satu.
Kadang terpikir mengapa (film
itu) tak dijuduli Romo Soegijo atau Romo Kanjeng; gelaran hormat dari
masyarakat. Atau mengapa harus dihilangkan keromoannya. Adakah perhitungan
komersial –yang juga tidak salah meski belum tentu benar menguntungkan– lebih
dipentingkan?
Kalau jawabannya iya, bisa
dimaklumi meskipun tidak selalu berarti tidak diterima. Kalau jawabannya karena
faktor lain, apakah rendah hati atau takut ”pada bayangan hitam di bulan”, ini
semakin memperkeruh kisruh komunikasi yang sedang berlangsung di negeri ini.
Dari segi pemberitaan,
identitas yang merupakan bagian dari data dan fakta yang adalah nyawa berita
terpangkas sehingga tafsiran berkembang. Misal saja penyerbuan –kata ini pun
bisa dipertanyakan– suatu ormas, tanpa menyebutkan ormas apa yang menyerbu dan
atau diserbu. Atau kasus geng motor –padahal mereka mungkin penjahat yang mengendarai
motor– yang ketika melibatkan nama angkatan, tak jelas angkatan mana atau
aparat apa.
Kita menjadi ketakutan sebagai
mana dulu nenek moyang takut bayangan hitam di bulan lantaran tak mengetahui
mengapa terlihat hitam. Dalam perilaku lain, kisruh komunikasi menemukan diri
dari persoalan yang hangat.
Kasus Lady Gaga membuktikan
bahwa kita tak belajar apa-apa dan akhirnya akan mengulang hal yang sama.
Apakah Lady Gaga ditolak karena terlalu erotis atau karena menganjurkan memuja
setan– perlu klarifikasi dari setan untuk kepastian atau hal lain. Justru yang
menjadi penyelesaian adalah karena izin tidak ada atau pembatalan. Padahal,
bukan itu jawaban yang bisa menjadi pegangan bersama.
Kasus grasi yang diberikan
kepada ratu narkoba, Corby, juga menyisakan pertanyaan yang sama. Tanpa jawaban
yang bisa dijadikan pegangan atau perbandingan perkara yang lebih-kurang sama.
Kasus lain soal lahan– baik perkebunan maupun tempat peribadatan yang sempit– semakin
mempersulit mencari jawaban yang baik dan benar.
Bandara Soekarno-Hatta
Alangkah memedihkan kalau
judul film ini juga bagian dari ketakutan yang dibenarkan sebagai tahu diri
atau istilah sopan apa pun yang digunakan sebagai topeng penyembunyi kebenaran.
Banyak kasus, apalagi yang berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA), tiba-tiba harus tidak jelas identitasnya.
Alhasil, yang menjelas justru
keremangan persoalan. Dan, dengan demikian, kita tak pernah menuntaskan
persoalan yang ada selain lama-kelamaan semakin takut, semakin mengerut, dan
pokok persoalannya tetap nglemeng. Ibarat suhu badan antara panas dan dingin,
suam-suam kuku.
Rasanya bukan suatu dosa, juga
bukan kesalahan, kalau kita menyebut Romo Soegijo atau ada yang memeluk agama
Katolik. Rasanya, dalam surat penetapan sebagai pahlawan nasional, uskup
pertama dari tanah ini juga tak dituliskan dalam sepenggal nama.
Dia bukanlah nama yang harus
disamarkan sebagaimana media massa menyebutkan nama ”mawar” untuk korban
pemerkosaan atau melindungi di balik sebutan oknum.
Barangkali ini saat yang baik
untuk membuka diri, mengakui keimanan dan cara beriman, tanpa beban berlebihan
meskipun tetap waspada dan berhati-hati. Barangkali hanya masalah judul, akan
tetapi saya merasa ada yang lebih memprihatinkan.
Barangkali berlebihan, seperti
saya merasa tak nyaman menyebut bandara di Cengkareng itu sebagai Soetta.
Apalah salahnya mengucap Bandara Soekarno-Hatta secara lengkap sebagai tanda
hormat kita kepada proklamator yang dengan gagah berani menyatakan kemerdekaan
negeri ini. Apa ruginya menyatakan terima kasih dan kekaguman dengan sebutan
lengkap dibandingkan dengan singkatan ”Soetta” yang tidak menyapa kebanggaan
dan kebangsaan kita?
Dan, kemerdekaan, bagi Romo
Soegijo yang mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan, adalah gugatan untuk diri
sendiri. ”Apa artinya terlahir sebagai bangsa merdeka jika gagal untuk mendidik
diri sendiri.” Termasuk mendidik tidak menjadi takut atau ikut mengingkari jati
diri.
Sumber: Kompas, 9 Juni 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!