Oleh Ansel Deri
Alumni Undana Kupang, NTT;
Pernah Bertugas di Jayapura & Timika
SEJAK awal 2012 hingga
memasuki Juni ini insiden kekerasan berupa penembakan di sejumlah wilayah di
Papua terus terjadi. Peristiwa tragis itu berlangsung di satu wilayah kemudian
bergeser ke wilayah lain.
Tak terkecuali kasus
kekerasan menjelang dan pasca pilkada. Ia bersafari laiknya pejabat yang turun
menyapa rakyat dan melihat langsung dinamika pembangunan. Warga sipil dan
aparat jadi korban sia-sia. Tak terbilang berapa banyak nyawa melayang. Pelaku
dan motifnya beragam dan begitu sulit diidentifikasi. Publik hanya puas dengan
sebuah informasi klasik otoritas keamanan: dilakukan kelompok orang tidak
dikenal.
Di tengah kegaduhan politik
nasional dan ingar-bingar upaya pengungkapan sejumlah mega skandal korupsi
bernilai miliaran hingga triliunan rupiah, Papua terus berkubang dalam pusaran
konflik berdarah dan nyaris luput dari perhatian. Papua seperti negeri dalam
dongeng yang kehilangan pemimpin dan diliputi bayang-bayang kehancuran akibat
berlaku hukum rimba.
Berbagai insiden kekerasan
yang terjadi seperti membenarkan kata-kata imam diosesan Keuskupan Jayapura
Neles Tebay Pr: “hanya satu hal yang paling murah di Papua, yakni nyawa orang
Papua”. Presiden pun bersuara keras meminta aparat mengusut pelaku.
Konflik
Papua merupakan wilayah yang
masih terus dirundung konflik kekerasan berupa penembakan warga jika
dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia. Imparsial dalam Sekuritisasi Papua (2011) mencatat, sejak
awal Indonesia merdeka Papua sudah membawa polemik. Parahnya, hingga reformasi
bergulir tak kunjung membaik—jika tak ingin menggunakan istilah stagnan atau
bahkan memburuk.
Entah berapa banyak lagi
korban akibat ulah pihak-pihak yang gelap mata dan ogah menyaksikan keadilan
dan perdamaian (justice and peace) bersemi di Bumi Cendrawasih. Di tengah upaya
pemerintah dan masyarakat untuk tetap mempertahankan hal itu, ada saja
pihak-pihak yang tetap care dengan
Papua, termasuk ikut membicarakan soal-soal yang dihadapi guna meredam konflik
yang kerap terjadi.
Sebuah diskusi bertajuk
“Resolusi Konflik Papua” digelar di Jakarta pada Kamis, 19 April 2012. Diskusi
sekaligus peluncuran buku Negosiasi:
Noken Dialog untuk Papua Damai digagas Imparsial. Diskusi menghadirkan
anggota DPR Tubagus Hasanuddin, Dekan Fisipol Universitas Parahyangan Mangadar
Situmorang, dan Koordinator Forum Akademisi untuk Papua Damai Otto Iskandar
Ishak.
Ada hal penting yang perlu
dicatat. Memang rencana dialog belum berhasil menyelesaikan konflik di Papua,
sementara pendekatan militer hanya akan memicu perlawanan. Karena itu, dialog
merupakan jalan damai. Dialog dapat pula membantu melihat secara jernih
berbagai persoalan Papua dan mencari alternatif pemecahannya. Termasuk
sumber-sumber konflik lainnya. Dalam Papua
Road Map, (2009), sumber konflik mencakup empat isu strategis.
Yaitu sejarah integrasi
Papua ke wilayah NKRI dan identitas politik orang Papua, kekerasan politik dan
pelanggaran HAM, gagalnya pembangunan di Papua, dan inkonsistensi pemerintah
dalam implementasi otsus serta marginalisasi orang Papua. Secara historis,
penafsiran terhadap sejarah integrasi, status politik, dan identitas politik
Papua muncul sebagai hasil pertarungan politik kekuasaan pada masa dekolonisasi
Papua.
Sedangkan kekerasan politik
dan kegagalan pembangunan merupakan implikasi dari rezim otoritarianisme Orde
Baru. Inkonsistensi pemerintah dalam implementasi otsus lebih merupakan
persoalan yang muncul pada masa pasca-Orde Baru. Peneliti politik dan HAM Papua
dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Amiruddin al Rahab dalam Heboh Papua (2010) melukiskan, ada
ketakutan dan kekhawatiran yang luar biasa dialami rakyat Papua selama ini.
Ketakutan dan kekhawatiran itu terbentuk dalam struktur kekerasan yang terjadi.
Jalan tengah
Membangun Papua dalam
bingkai NKRI tak boleh sepotong-sepotong, namun dalam satu kesatuan yang
integratif dan holistik. Ini bertujuan agar memberikan perhatian setara
daerah-daerah lain di Indonesia sekaligus penghargaan atas provinsi penyokong
sumber pemasukan negara dari sumber daya alam yang kaya raya.
Pendekatan militer yang
berlebihan, seperti diutarakan anggota DPR asal Papua Diaz Gwijangge, berimbas
pada pelanggaran HAM. Begitu pula termarginalkan penduduk lokal. Dua hal ini menjadi
sumber kekerasan. Karena itu, ada jalan tengah atau alternatif solusi memajukan
Papua sekaligus ikut meminimalisasi kasus-kasus kekerasan. Jalan tengah itu
adalah kesejahteraan rakyat diperhatikan serius melalui berbagai program
pembangunan.
Hal yang sudah kerap
diutarakan berbagai pihak. Mengapa? Salah satu akar kekerasan yakni kesenjangan
ekonomi yang berkorelasi dengan kesejahteraan. Pendekatan kesejahteraan
mengandaikan kepekaan semua stakeholders terutama pemerintah. Sebanyak 65% APBN
–menurut analis politik Khudori– berputar di daerah, namun tidak linier dengan
peningkatan kesejahteraan.
Sebanyak 18 dari 33 provinsi
mengalami peningkatan jumlah warga miskin, di 15 propinsi sisanya jumlah
kemiskinan menurun. Korelasi antara transfer per kapita dan persentase penduduk
miskin rentang 2006-2007 misalnya hanya 0,5, bahkan mendekati nol.
Apakah persentase kemiskinan
ini juga berkorelasi dengan meningkatnya aksi kekerasan berupa penembakan di
sejumlah wilayah di Tanah Papua misalnya? May be yes,may be no!
Sumber: Seputar Indonesia, 13 Juni 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!