Pengajar Filsafat Politik di STF Driyarkara
”Apa yang meninggikan manusia; tak lain daripada
kepribadian, yaitu kebebasan dan kemerdekaan dari mekanisme seluruh alam.”
Menarik untuk merenungkan makna kemerdekaan yang dirumuskan oleh Immanuel Kant
ini. Tiada kemerdekaan tanpa kepribadian dan tiada kemerdekaan selama kita
menjadi korban ”mekanisme seluruh alam”.
Frasa terakhir ini mengacu pada dorongan bertahan
hidup/kesintasan (survival) manusia sebagai makhluk hidup di alam ini.
Kemerdekaan bukan sekadar persoalan survival, melainkan penemuan jati diri.
Demikian juga apa yang meninggikan suatu bangsa adalah kemampuan bangsa itu
untuk menemukan jati dirinya yang mengatasi desakan-desakan survival-nya.
”Zoe” dan ”Bios”
Teks Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakan oleh
Soekarno dan Hatta 67 tahun yang lalu dimulai dengan frasa ”Kami Bangsa
Indonesia”. Kemerdekaan adalah sebuah penegasan diri, yaitu lepas dari kuk
perhambaan, dekolonisasi. Kelompok ini –yang kemudian menyebut diri ’bangsa
Indonesia’– menegaskan eksistensinya di hadapan penindasnya.
Eksklusi dari kalangan tuan-tuan penjajah itu
diiringi kehendak untuk inklusi ke dalam kalangan bangsa-bangsa merdeka dan
setara. Adanya musuh bersama memungkinkan inklusi berbagai subkelompok di
dalamnya menjadi suatu bangsa. Dilihat dari sisi ini kemerdekaan adalah bagian survival suatu kelompok di dalam medan
pertarungan antarbangsa.
Tentu kemerdekaan suatu bangsa lebih dari sekadar
persoalan survival karena kehidupan manusia
tidak melulu tunduk pada mekanisme biologis. Orang Yunani kuno memiliki dua
kata yang berbeda untuk ’kehidupan’, yakni zoe dan bios. Kata zoemengacu pada kehidupan
pada umumnya yang dimiliki makhluk hidup, entah itu tetumbuhan, hewan, atau
manusia.
Seperti spesies lain kita manusia menjalani
keniscayaan survival dengan produksi, konsumsi,
kopulasi, agresi, dan ekskresi. Zoe adalah hidup alamiah yang
dijalani semua makhluk hidup, Dalam Homo Sacer, Giorgio Agamben berpendapat, zoe dijalani oleh mereka yang
kehilangan hak-hak dan identitasnya. Para tahanan kamp konsentrasi Nazi,
misalnya, diidentifikasi sebagai nomor belaka. Kehidupan mereka tidak
terlindung, rentan terhadap kesewenang-wenangan, maka disebutnya la nuda vita(hidup belaka).
Kata lain untuk kehidupan adalah bios. Yang diacu di sini
adalah cara atau ”bentuk kehidupan spesifik” yang pantas dijalani hanya oleh
manusia sebagai individu atau kelompok. Bios inilah
yang dimaksud Aristoteles dalam Politica dengan kehidupan bernegara,
suatu cara hidup yang ditempa oleh proses berbagi nilai, identitas, dan narasi
bersama lewat pemakaian bahasa.
Dengan bernegara manusia tak hidup sebagai makhluk
belaka, melainkan sebagai warga negara, yaitu memiliki identitas, martabat, dan
dilindungi oleh hak-hak keanggotaan dalam negara. Aristoteles menulis tujuan bernegara bukanlah untuk bertahan hidup
belaka, melainkan mengejar ”hidup yang baik”. Dalam arti ini bernegara, bios politikos merupakan ungkapan kebebasan
yang melampaui keniscayaan alamiah. Ciri lebih inilah yang disebut oleh Hegel Geist (roh).
Suatu bangsa disebut ’merdeka’ dalam arti bios ini
bila bangsa itu mengorganisasikan diri ke dalam sebuah tatanan hukum yang
disahkannya sendiri. ”Kami bangsa Indonesia” lalu juga berarti suatu tekad moral untuk hidup bersama
secara politis yang melampaui tembok-tembok suku, agama, ras, dan golongan. Itulah dasar ”kepribadian”
yang dimaksud oleh Kant. Dari tengah-tengah anonimitas bangsa terjajah
kepribadian itu tampil ke muka oleh keberanian untuk memulai suatu permulaan
baru. Bagaikan ’mukjizat’ tindakan pendasaran republik modern itu menembus
hal-hal yang mustahil sekaligus tak terduga, bahaya sekaligus peluang
perubahan. Tekad moral untuk hidup bersama dalam republik itulah yang
menjadikan kita Indonesia.
Tantangan Globalisasi
Globalisasi pasar adalah tantangan bagi bios. Ekonomi beroperasi
dengan logikasurvival yang
merupakan ciri zoe. Sejauh pasar mendikte
wilayah politik, logika survivalmengambil
alih bios. Keutamaan, karakter,
pendirian, dan bahkan jati diri yang memberikan ciri spesifik bios memudar ditelan
universalitas kehidupan yang didikte oleh desakan produksi, konsumsi, kopulasi,
agresi, dan ekskresi. Negara sebagai sistem hukum bagaikan bendungan yang tidak
sanggup lagi menahan pasar sehingga politik kontemporer makin sulit membedakan
dirinya dari ekonomi. Ketika uang menjadi segalanya dan jual- beli menjadi
paradigma hubungan sosial, yang tersisa tinggal suatu kehidupan yang tidak terlindung dari
kesewenangan, zoe.
Sosok enigmatis yang menjadi judul buku Agamben dapat menjelaskan bagaimana zoemenjadi aturan harian
politik kontemporer. Homo
sacer adalah istilah yuridis
Romawi kuno untuk seorang yang dikucilkan dari kota karena pelanggaran berat.
Sejak diumumkan sebagai homo
sacer orang ini boleh dibunuh
siapa saja, tetapi tak boleh dipakai sebagai korban nyawa dalam ritual
religius. Singkatnya, homo
sacer adalah seorang yang
kehilangan semua hak dan pribadi moralnya sehingga ia menjalani hidup belaka
yang penuh kesewenang-wenangan, la
nuda vita.
Dalam politik kontemporer sosok itu adalah para
pengungsi, para korban perdagangan manusia, para korban penggusuran, kaum
marjinal, para korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan seterusnya.
Kalau komersialisasi dan kepentingan privat melanda semua hubungan, termasuk
politik, pendidikan, pelayanan kesehatan, agama, dan hukum, gagal membatasinya
untuk melindungi individu, setiap orang menjadi korban potensial bagi orang
lain. Kita lalu boleh setuju dengan Zizek yang mengatakan bahwa dalam milenium
ketiga ini kita semua adalah homines
sacri. Dalam kompleksitas baru itu kemerdekaan terkait dengan keberhasilan
demokratisasi dan supremasi HAM dalam masyarakat kita.
Suatu bangsa yang dirongrong oleh penyakit kronis
korupsi, diwarnai oleh pelanggaran-pelanggaran HAM, dan dihantui oleh
kemiskinan menjalani kehidupan yang tidak terproteksi dari kesewenang-wenangan.
Sulitlah menyebut kehidupan seperti itu sebagai merdeka. Karena itu, kemerdekaan sebagai
dekolonisasi memang telah diraih, tetapi kemerdekaan sebagai perwujudan
kehidupan di dalam republik para warga negara adalah suatu proyek yang belum
selesai. Akan selalu dibutuhkan negarawan-negarawan seperti Soekarno dan Hatta
yang berani memulai suatu permulaan yang baru. Keberanian kenegarawanan itu
pada gilirannya berasal dari suatu kepribadian yang merdeka.
Sumber:
Kompas, 16 Agustus 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!