Orang
Kampung asal Lembata;
Tinggal
di Halim Perdana Kusuma Jakarta
PADA Sabtu, 25
Agustus 2012, kepemimpinan Bupati Lembata Eliaser Yentjie Sunur dan wakilnya, Viktor
Mado Watun genap setahun. Keduanya resmi dilantik Gubernur Frans Lebu Raya atas
nama Mendagri Gamawan Fauzi di Lewoleba, Kamis, 25 Agustus 2011. Mereka
memimpin Lembata hingga 2016. Tentu belum saatnya mengevaluasi perjalanan kepemimpinan
“Lembata Baru” karena masih balita. Namun, kepemimpinannya penting direfleksikan
dan didiskusikan guna ikut mencari strategi lainnya memajukan Lembata. Termasuk
melihat sejauh mana program seratus hari pertama yang sudah berjalan sejak
dilantik.
Mengapa diskusi itu
penting karena yang mencolok dan menjadi rahasia publik Lembata yakni keretakan
hubungan bupati/wakil bupati. Juga informasi perjalanan dinas bupati yang sudah
menelan biaya Rp. 3-5 miliar memasuki satu tahun jabatannya. Perjalanan dengan
angka yang terbilang besar seperti itu sah-sah saja. Bisa dimaklumi karena
jabatan yang melekat. Pun tak ada klausul dalam regulasi yang membatasi
intensitas perjalanan dinas bupati keluar daerah. Begitu pula berhasil atau
tidaknya perjalanan dinas tersebut, itu soal berbeda.
Di lain pihak, bupati
sepertinya alpa melangkah bersama wakilnya. Berbagai keluhan masyarakat lebih
disampaikan kepada wakil karena dalam sebulan bupati lebih banyak di luar
daerah dengan alasan dinas. Sejumlah anggota birokrat pun tahu sekalipun ogah
bicara. Bahkan bisik-bisik di segelintir anggota DPRD, ada oknum DPRD tanpa
malu-malu berperan seperti staf ahli bahkan asisten pribadi. Kemana-mana selalu
berada di samping bupati. Hal-hal kecil dilakukan sejumlah oknum anggota DPRD dengan
dalil konsultasi namun di balik itu hanya bertujuan menambah uang saku.
Masyarakat di
pedalaman malah dijanjikan bupati untuk bangun ini itu, ternyata selalu teriak
tentang persoalan yang dihadapi namun tak pernah didengar. Kita lihat salah
satu keluhan masyarakat berikut. “Mat siang, ama. Saya mau sampaikan
penyesalan. Pak Bupati turba ke desa-desa beliau janji masyarakat untuk aspal
jalan mulai Mei 2012. Ternyata tidak jadi, katanya dana tidak ada. Kami sangat
kecewa.” Itu bunyi pesan singkat yang masuk ke telepon selular saya belum lama
ini.
Pesan Manahan
Ada hal yang aneh
menyaksikan gelagat kepemimpinan seperti itu. Juga melahirkan kekhawatiran kepemimpinan
politik tidak didedikasikan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Kekuasaan
dan jabatan masih sekadar alat mendulang fulus daripada pemahaman atas esensi
jabatan sebagai pemimpin rakyat. Fatsun dan kesantunan kekuasaan (politik)
bergeser seratus delapan puluh derajat. Peran komunikasi menjadi tali pengikat
dengan rakyat untuk mendengar suka-duka, susah-senang luntur seketika. Padahal,
komunikasi memainkan peranan penting dalam efektivitas kepemimpinan. Seorang
pemimpin tidak hanya bisa bicara atau minta didengar orang lain, tetapi juga
bisa mendengar suara rakyat.
Peringatan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menjadi sinyal bagi pelaksanaan tugas para
pemimpin/pejabat pemerintahan. Kepala Negara meminta dan mengingatkan pejabat mulai
dari menteri, gubernur hingga bupati dan wali kota agar di samping menjalankan
kegiatan politik, jangan meninggalkan tugas pemerintahan. Permintaan disampaikan
di hadapan 34 ribu lebih kader GP Anshor dan Nahdlatul Ulama (NU) pada puncak
peringatan hari lahir ormas kepemudaan di Stadion Manahan, Solo, Senin, 16 Juli
2012. Kata Presiden, para pejabat harus menjalankan sumpah jabatan, yaitu
menomorsatukan tugas dan kewajiban melayani rakyat. Pesan Mahahan masih relevan
di tengah menurunnya kualitas pelayanan pejabat publik.
Masalah Lama
Saya sempat meliput
acara penandatangan nota kesepahaman (MoU) untuk Fajar Bali, Denpasar. MoU antara Menko Perekonomian Dorodjatun
Kuntjoro-jakti (kala itu), Pemprov NTT, dan International Labour Organization berlangsung
di Auditorium Departemen Keuangan, Lapangan Banteng, Jakarta. MoU terkait pelaksanaan
kegiatan percontohan pengembangan infrastruktur pedesaan terintegrasi.
Dalam laporan
tertulis dibeberkan potensi dan problematika pembangunan infrastruktur dan
potensi Lembata. Problem kabupaten/pulau seluas 126.638 hekter dan berpenduduk tidak
kurang dari 116.000 jiwa tersebut, secara umum yaitu kondisi jalan yang buruk.
Tak kurang dari 85% masuk kategori rusak dan rusak parah. Jalan bergelombang
dan berlubang besar tertutup debu. Aspal tipis pelapis jalan yang telah hancur
berkeping-keping menjadi saksi bisu manipulasi pembangunan jalan. Jalan raya
yang hanya selebar 4 meter kondisinya mirip “sungai kering”.
Anehnya, memasuki
usia 13 tahun otonomi pada 15 Oktober 2012, wajah buram itu masih terlihat.
Setiap berganti rezim, bupati minim strategi memajukan daerahnya. Masalah-masalah
lama tersebut masih membelit sebagian besar wilayah Lembata. Bupati lebih sering
keluar daerah seperti turis. Masyarakat ditinggalkan berkubang dengan persoalannya.
Perencanaan pembangunan juga serampangan, asal jadi.
Sri Palupi dalam www.ecosocrights.blogspot.com,
mencatat, ada yang aneh tapi nyata. Pertama, Lembata memiliki satu bupati dengan tiga kantor bupati.
Selain kantor pertama yang berdiri sejak 1960-an, dua kantor lain dibangun
dengan anggaran miliaran rupiah. Satu di antaranya ditelantarkan karena
terindikasi korupsi dan satu lagi masih diteruskan dan sudah menghabiskan
miliaran rupiah. Bersamaan itu pula dibangun juga gedung DPRD yang menghabiskan
biaya sedikitnya Rp. 2,3 miliar. Padahal, kantor DPRD lama pun masih berdiri
megah di samping kantor bupati peninggalan tahun 1960-an.
Kedua, banyak gedung dibangun dan kemudian
ditelantarkan. Misalnya, rumah dinas ketua dan para wakil ketua DPRD
yang kosong dan terlantar; rumah dinas bupati yang kini jadi tempat merumput
ternak kambing; tempat pelelangan ikan yang kini mulai rusak; pabrik es; kantor
kecamatan, dll. Pemkab Lembata telah menghabiskan miliaran rupiah untuk
mendirikan seluruh bangunan baru yang kini dibiarkan terlantar itu. Padahal,
sekali lagi, Lembata tergolong kabupaten miskin.
Ketiga, banyak dinas pemerintah belum memiliki
kantor. Keanehan ketiga ini terkait dengan keanehan pertama dan kedua.
Ketika bupati dan DPRD tengah membangun kantor baru dan di saat banyak
bangunan-bangunan baru ditelantarkan, hampir 50 persen dinas di belum memiliki
kantor sendiri. Mereka masih menyewa rumah-rumah warga untuk dijadikan kantor.
Persoalan-persoalan
yang tertinggal pemimpin terdahulu seperti di atas mesti juga ikut diselesaikan
segera. Pada 25 Agustus 2012 Lembata Baru genap berusia setahun. Pada 13
Oktober 2012, Lembata juga memasuki 13 tahun otonomi. Dua momentum itu menjadi
kesempatan refleksi para pemimpin serta pelayan masyarakat lainnya bersama
masyarakat melanjutkan pengabdian untuk Lembata yang lebih baik. Bupati dan
wakil harus kembali ke visi dan misi awalnya menjadi pemimpin tanah lepanbatan membawa masyarakat lebih sejahtera.
Para pemimpin, seperti diingatkan presiden, mesti menjalankan sumpah jabatan, yaitu
menomorsatukan tugas dan kewajiban melayani rakyat.
Masyarakat juga mesti
mengawal sekaligus mengawasi pemimpinnya (termasuk DPRD) agar tidak bermental
saudagar yang punya kalkulasi untung-rugi. Saudagar punya watak dasar mengejar
keuntungan secepat kilat namun dengan modal seupil. Mereka adalah “binatang
ekonomi” atau homo economicus.
Sumber: Flores Pos,
24 Agustus 2012
Profisiat ama.. atas sumbangan idemu demi kemajuan Lewo Tanah tercinta.. harap para pejabat kita membaca tulisan ama.. dan berusaha membenah diri... Salam dari tanah Misi...
ReplyDeleteTerima kasih, tuan. Kita semua berdoa dan berusaha dengan cara kita masing-masing ikut membangun kampung kita, lepanbatan. Semoga kita semua, masyarakat dan anak kampung ini lebih mencintainya.
ReplyDelete