Headlines News :
Home » » Apresiasi Atas Sikap Presiden

Apresiasi Atas Sikap Presiden

Written By ansel-boto.blogspot.com on Saturday, October 13, 2012 | 9:05 AM

Oleh Abdul Hakim MS
Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI)

BANYAK orang tak mengira, Presiden SBY berani mengambil tindakan tegas terkait konflik yang sedang membelit dua lembaga penegak hukum kita: KPK vs Polri. Saat perseteruan dua lembaga ini berada di titik puncak, Presiden SBY berhasil meredakan situasi dengan “turun gunung‘, menengahi pertikaian yang semakin memanas.

Seperti diketahui, seteru KPK-Polri berada di titik didih kala polisi menggeruduk Gedung KPK untuk membawa paksa Kompol Novel Baswedan, 5 Agustus lalu. Saat menjabat sebagai Kasatreskrim Polres Bengkulu pada 2004, Novel dituduh terlibat tindak pidana kekerasan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang dalam kasus pencurian sarang burung walet. Novel sendiri merupakan tim penyidik KPK yang menangani kasus simulator SIM Korlantas Polri. Dalam kasus ini, nama salah satu jenderal di kepolisian, Djoko Susilo, masuk dalam daftar tersangka.

Syahdan, ulah Polri ini menuai reaksi keras dari masyarakat. Berbagai kalangan menilai, tindakan yang dilakukan korps berseragam coklat ini sebagai tindak kesewenang-wenangan. Bahkan salah satu pimpinan KPK, Bambang Widjayanto, menyebut, upaya yang dilakukan Polri merupakan bentuk kriminalisasi yang dilakukan terhadap salah satu penyidiknya.

Atas konflik yang semakin meruncing ini, Presiden pun turun tangan. Dalam keterangan pers di Istana Negara, 8 agustus lalu, presiden mengambil empat kebijakan penting. Pertama, kewenangan penanganan kasus simulator SIM yang sebelumnya menjadi perebutan dua institusi ini diserahkan kepada KPK.

Kedua, keinginan Polri untuk melakukan proses hukum terhadap Kompol Novel Baswedan dinilai Presiden tidak tepat dari segi waktu dan caranya. Ketiga, masa penugasan penyidik Polri di KPK akan diatur ulang dalam peraturan pemerintah (PP). Dan keempat, upaya DPR-RI untuk melakukan revisi UU KPK sangat tidak tepat dilakukan saat ini.

Menjaga Komitmen Polri

Substansi empat kebijakan penting yang dikeluarkan Presiden SBY ini tentu menjadi kabar baik bagi masyarakat yang mengharapkan adanya penguatan terhadap kelembagaan KPK. Saat komitmen lembaga hukum lain masih dipertanyakan dalam upaya pemberantasan korupsi, KPK saat ini masih satu-satunya lembaga yang paling bisa diharapkan untuk menggerus praktik rasuah di Tanah Air.

Terhadap sikap Presiden ini, kita tentu patut memberikan apresiasi. Dugaan banyak kalangan bahwa Presiden SBY akan bersikap normatif terhadap konflik KPK-Polri ternyata tidak terbukti. Bahkan, apa yang disampaikan Presiden ini merupakan upaya yang bisa dibilang semakin memperkokoh kedudukan KPK dalam menjalankan tugasnya.

Meski demikian, para pegiat antikorupsi tak boleh terlalu terlena. Tugas pengawalan terhadap penguatan KPK belum selesai, khususnya terkait poin penanganan kasus simulator SIM yang sudah diserahkan Presiden kepada KPK, dan proses hukum terhadap Kompol Novel Baswedan.

Pentingnya pengawasan tersebut merujuk pada fakta bahwa institusi Polri kerap “membangkang‘ instruksi yang sudah diberikan Presiden. Indikasi tersebut terlihat dari masih ngototnya Polri untuk tetap melanjutkan proses hukum terhadap Kompol Novel Baswedan. Padahal, jelas-jelas Presiden SBY mengatakan bahwa proses hukum yang dikenakan kepada Novel saat ini sangat tidak tepat, baik dari sisi waktu maupun caranya.

Selain indikasi pembangkangan di atas, kasus pembangkangan lain juga kerap dilakukan Polri. Tentu kita masih ingat kasus rekening gendut para perwira tinggi Polri yang menghebohkan tahun 2011. Untuk menepis kecurigaan masyarakat, Presiden SBY memerintahkan agar kasus rekening gendut mantan jenderal-jenderal Polri dituntaskan.

Bahkan perintah Presiden untuk membuka data rekening gendut tersebut juga diperkuat dengan putusan Komisi Informasi Pusat yang mengabulkan gugatan ICW, 8 Februari 2011. Dalam gugatannya, ICW meminta agar data rekening jumbo 17 perwira Polri dibuka. Akan tetapi, hingga kini belum terlihat iktikad baik pihak Polri untuk melakukan hal iu.

Kasus lain terkait perintah Presiden yang tak segera ditindaklanjuti Polri adalah investigasi terhadap kasus penganiayaan yang menimpa aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S Langkun. Juli 2010, Tama yang baru pulang nonton sepakbola dari Kemang, tiba-tiba diserang sejumlah pria tak dikenal sampai luka di bagian kepalanya sehingga membutuhkan 29 jahitan. Penganiayaan itu diduga karena Tama merupakan pelapor “rekening gendut‘ perwira tinggi Polri ke KPK.

Beberapa indikasi di atas menunjukkan bahwa Polri sering lambat menangani kasus-kasus yang memiliki keterkaitan langsung dengan institusinya. Maka itu, dalam kasus simulatir SIM yang melibatkan perwira tingginya, tentu perlu dilakukan pengawalan berbagai pihak agar perintah Presiden SBY betul-betul bisa dilaksanakan.

Political Will DPR-RI

Selain poin perintah penyerahan penanganan kasus simulator SIM ke KPK, poin krusial lain yang perlu ditindaklanjuti adalah imbauan Presiden terkait tak tepatnya DPR-RI melakukan reivisi UU KPK saat ini. UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dinilai sudah cukup mumpuni untuk menindak para koruptor. Proses revisi yang di antaranya mengusulkan hilangnya wewenang penuntutan oleh KPK dan kewenangan penyadapan yang dilakukan KPK harus mendapat izin pengadilan, dipandang hanya sebagai upaya politisi di Senayan untuk melemahkan KPK.

Padahal, korupsi di negeri ini sudah seperti tumor stadium empat yang sangat sulit diangkat. Apabila kewenangan penuntutan dan penyadapan dihilangkan, lantas apalagi kewenangan yang dipunyai KPK? Itu sebabnya, political will DPR-RI saat ini sangat dibutuhkan guna mendukung gerakan KPK yang saat ini sedang melakukan bersih-bersih di tubuh Polri.

Pekerjaan bersih-bersih di tubuh Polri bukan perkara mudah. Lembaga korps Bhayangkara ini merupakan institusi yang seolah “tak terjamah hukum‘ selama ini. Padahal, bersih-bersih di tubuh Polri ini sangat penting dilakukan, jika merujuk keberhasilan pembentukan Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Hong Kong tahun 1973. ICAC saat ini banyak menjadi rujukan berbagai negara untuk membentuk model lembaga antikorupsi.
Sumber: Jurnal Nasional, 13 Oktober 2012

SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger