Oleh Kreshna Aditya
Inisiator Bincang
Edukasi
SUKU Indian Dakota
mengenal sebuah peribahasa yang berbunyi `apabila engkau sadar sedang
menunggangi kuda yang sudah mati, turunlah'. Kita tentu berpikir, peribahasa
apa itu, bukankah hal tersebut sudah jelas? Siapa yang mau tetap menunggangi
kuda mati? Pada kenyataannya lazim kita temui dalam dunia pemerintahan, bisnis,
dan pendidikan, banyak orang yang seharusnya sudah sadar bahwa sedang
menunggangi kuda mati. Namun, bukannya turun, ia malah melakukan hal-hal yang
absurd.
Dalam dunia
pendidikan, logika kuda mati terlihat pada kengototan pemerintah menjalankan
sistem ujian nasional yang terus menuai kontroversi.
Ada dua masalah
mendasar dalam sistem ujian nasional yang diterapkan saat ini. Masalah pertama
ialah penempatannya sebagai highstake standardized test--ujian standar yang
bersifat hidupmati bagi siswa, guru, sekolah, bahkan pejabat diknas daerah.
Sifat ujian seperti itu menyebabkan pendidikan di sekolah tereduksi menjadi
sekadar persiapan untuk lulus ujian nasional. Sekolah menjadi tak ubahnya bimbingan
tes.
Masalah mendasar
kedua ialah kualitas soal ujian nasional yang menekankan pada kemampuan
kognitif rendah. Ujian nasional dipenuhi dengan soal-soal dengan hafalan dan
hitungan rumit, tapi dengan tingkat penalaran rendah. Tak mengherankan saat pemerintah
membanggakan nilai ujian nasional yang naik dari tahun ke tahun, nilai
siswa-siswi kita justru terpuruk di tes pemetaan berskala internasional yang
lebih mengutamakan penalaran.
Semisal di tes PISA
terakhir untuk matematika, 50% siswa kita hanya mencapai level 1 (terendah),
25% berikutnya mencapai level 2, lalu tidak ada satu pun yang mencapai level 5
dan 6 (tertinggi).
Tak kurang para
praktisi pendidikan, pakar SDM, anggota DPR, dan Wantimpres telah menyuarakan
penolakan pada ujian nasional. Bahkan Mahkamah Agung pun telah mengeluarkan
putusan menghentikan ujian nasional sampai pemerintah memastikan keadilan
distribusi layanan pendidikan. Sayangnya, ketika banyak pihak telah menyeru
pemerintah bahwa ujian nasional adalah kuda yang sudah mati, pemerintah tak
memilih turun darinya, tetapi malah melakukan hal-hal yang absurd.
Misal, para
petinggi Kemendikbud berulang kali menyatakan bahwa, “Anak-anak tidak akan
belajar bila tidak dipaksa. Ujian nasional adalah alat rekayasa sosial memaksa
anak belajar. Proses belajar mengajar di sekolah tak akan berjalan bila tak ada
ujian nasional.“ Dalam analogi kuda mati, pemerintah malah membeli pecut yang
lebih besar untuk mengancam si kuda mati dan penunggangnya. Bukannya menyadari
bahwa pendidikan kita telah gagal membuat siswa senang belajar, pemerintah
malah menjadikan belajar sebagai keterpaksaan bagi anak-anak kita.
Mendikbud pernah
menyatakan bahwa konsep ujian nasional ialah yang terbaik secara akademik.
Entah bagaimana caranya membela sebuah uji standar untuk kognitif rendah
sebagai yang terbaik secara akademik. Itu seperti menurunkan standar kategori
kuda pacuan sedemikian rendah sehingga kuda mati bisa termasuk ke dalamnya.
Sering juga
dikatakan bahwa ujian nasional sudah baik, hanya pelaksanaannya yang masih
penuh kecurangan yang perlu diperbaiki. Tidak demikian. Ujian nasional
bermasalah secara mendasar. Kecurangan adalah konsekuensi dari penempatan ujian
nasional sebagai ujian berisiko tinggi bagi semua yang terlibat didalamnya.
Mengganti kulit kuda mati yang sudah bopeng bopeng dengan kulit baru yang mulus
tak akan membuatnya menjadi kuda pacu yang dapat berlari.
Baru-baru ini
pemerintah juga menyatakan akan mengintegrasikan ujian nasional sebagai tes
masuk perguruan tinggi. Salah satu alasan yang dikemukakan ialah demi
efisiensi. Namun, efisiensi tak seharusnya mengorbankan efektivitas. Penolakan
telah disuarakan sebelumnya oleh kalangan perguruan tinggi yang meragukan
kredibilitas ujian nasional.
Pada dasarnya ujian
untuk kelulusan proses belajar, ujian untuk pemetaan distribusi kualitas
pendidikan, dan ujian untuk masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi
adalah tiga macam ujian yang memiliki format dan sifat berbeda. Menggabungkan
ketiga ujian menjadi satu akan menghasilkan termometer rusak yang tidak
menggambarkan apa-apa. Hal itu layaknya mengumpulkan beberapa kuda mati dan
berharap lari mereka akan lebih kencang, lalu menyatakan bahwa kuda mati itu
juga lebih hemat biaya daripada kuda hidup karena tak perlu diberi makan.
Alasan lainnya ialah
untuk mengurangi tingkat stres siswa karena tak perlu ujian dua kali. Benarkah?
Belum tentu, karena dengan demikia ujian nasional akan memiliki risiko semakin
tinggi bagi siswa. Analoginya, bila dulu siswa harus balap mobil dua kali di
jalan raya, nanti siswa cukup balap mobil sekali saja, tapi di pinggir jurang!
Terakhir,
pemerintah saat ini sedang sibuk mempersiapkan perubahan kurikulum nasional
yang akan diterapkan mulai 2013. Kabarnya, kurikulum baru nanti akan memberi
penekanan lebih pada pendidikan karakter dan juga mem buat proses belajar lebih
menyenangkan. Itu merupakan niat per niat perubahan yang baik.
Namun, perubahan
kurikulum sebaik apa pun akan percuma apabila di ujungnya tetap diletak kan
proses evaluasi yang hanya menguji kognitif rendah dan diposisikan bersifat
high-stake bagi pelaku pendidikan (siswa, guru, sekolah). Proses persekolahan
tetap akan bersifat teaching-tothe-test. Tanpa reposisi ujian nasional,
kurikulum sebaik apa pun pada tataran kebijjakan hanya akan berubah menjadi
kurikulum berbasis ujian nasional pada penerapan di lapangan.
Yang perlu diingat
pemerintah, ketika banyak pihak menyuarakan penolakan terhadap kuda mati, bukan
berarti mereka menolak naik kuda hidup. Mengkritik ujian nasional bukan berarti
antiterhadap segala macam bentuk ujian. Justru peran evaluasi dalam pendidikan
sangatlah penting untuk mengarahkan dan memperkaya proses pembelajaran, apabila
dirancang dan dijalankan dengan benar. Oleh karena itu, diperlukan penataan
ulang terhadap sistem dan model evaluasi dalam pendidikan kita.
Tempatkan kembali
ujian nasional sesuai dengan fungsinya, yaitu pemetaan distribusi kualitas
pendidikan yang tak perlu dikaitkan dengan kelulusan siswa ataupun treward and punishment untuk guru, sekolah, dan daerah. Lepaskan sifat high-stake dari
ujian nasional karena tak membawa efek positif bagi pembelajaran, tapi malah
mengerdilkannya. Jangan letakkan ujian nasional di ujung persekolahan agar ada
kesempatan perbaikan kualitas seusai pemetaan dilakukan.
Kembalikan wewenang
menentukan kelulusan siswa kepada para pendidik di sekolah sesuai amanat UU
Sisdiknas dan roh Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Tingkatkan kemampuan
guru di sekolah untuk menjalankan evaluasi pembelajaran bersifat autentik yang
mendorong proses pengembangan diri berkelanjutan, bukan karbitan.
Bukankah semua itu
sulit di lakukan? Tentu saja. Menunggangi kuda hidup yang sehat dan kuat memang
lebih sulit daripada menunggangi kuda mati. Namun, bukankah menunggangi kuda
mati tak akan membawa kita ke manamana?
Menurut teori gaya
pengasuhan (parenting style) yang sangat relevan dengan dunia pendidikan, sifat
otoriter pemerintah dalam memaksakan prakonsepsi tentang ujian nasional jelas
menunjukkan rendahnya kontrol dan minimnya kehangatan (warmth). Pemerintah
laksana orangtua yang lepas kendali atas emosi dan hanya menimbang kebutuhan
ijazah untuk anak-anaknya agar cepat bisa bekerja.
Kuda mati tak akan
mampu membawa siapa pun, bahkan untuk satu langkah ke depan. Membiarkan anak,
guru, dan sekolah tetap dalam pelana kuda mati sama artinya dengan
menghilangkan harapan dan mimpi siapa saja untuk berkelana sesuai dengan
citacita yang mereka idamkan. Jelas sekali kita membutuhkan kuda hidup yang
baru. Laksana para koboi, membiarkan siswa, guru, dan sekolah mencoba
menaklukkan kuda baru tersebut agar bisa ditunggangi sesuai harapan dan arah
yang mereka inginkan.
Bagaimanapun juga,
usaha mendorong pemerintah untuk mengevaluasi dan mereposisi ujian nasional
tampaknya kini akan membutuhkan perjuangan yang lebih besar. Beberapa waktu
lalu Mendikbud mengeluarkan pernyataan, “Ujian nasional sudah sah keabsahannya,
jangan diganggu, tinggal kita laksanakan dengan sebaik-baiknya.“ Maka,
pertanyaan ini pun kembali terngiang, quo vadis pendidikan Indonesia?
Sumber: Media Indonesia,
15 Oktober 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!