Esais & Anggota Pengurus Masyarakat
Bangga
Produk Indonesia untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
Produk Indonesia untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
Kita lahir di sini, dan dengan heroik
menyebut ini negeri tanah tumpah darahku.Di tanah ini pada detik-detik pertama
kita menghirup udara segar.
Kemudian kita makan dari bahan-bahan yang
tumbuh di bumi ini. Lalu kita minum air yang memancar dari dalamnya. Kita
bangga menamakan ini tanah airku. Inilah Ibu Pertiwi: Ibu kesuburan, ibu kasih
sayang, ibu kehidupan, yang di atasnya kita berjalan, di atasnya kita membangun
rumah,di atasnya kitakawin-mawin,berkeluarga, beranak, dan bercucu. Kita
ingat,para pahlawan berjuang, dan bertaruh nyawa, gugur buat negeri ini.
Kuburan kita penuh jasad para pahlawan.
Beberapa di antaranya mati muda, sebelum
sempat menikmati arti hidup sesungguhnya. Tapi, mereka sudah menjadi syuhada,
yang rela berkorban untuk kita. Penyair Chairil Anwar pun berteriak: “Kenang,
kenanglah kami,yang kini terbaring antara Kerawang dan Bekasi”. Lalu dengan
jiwa syahdu, sambil menundukkan wajah, kita menyanyi: “Gugur satu tumbuh
seribu....” Kita meminta maaf pada arwah para pahlawan,yang kita terlantarkan,
dan jutaan yang tak kita kenang jasanya. Mereka terserak di tengah-tengah makam
rakyat biasa, tanpa identitas, tanpa selembar pita merah,dan tanpa air mata
duka yang mengiringi kepergiannya.
Di masa revolusi bahkan beribu-ribu
jumlahnya, yang gugur di kali, di pematang sawah, di tegalan,di jalan desa,di
bawah pohon randu, di belakang masjid, dan juga di hutan-hutan pertahanan
terakhir, yang betul-betul menjadi terakhir dalam arti sebenarnya. Ketika tiap
saat terdengar tembang duka, “gugur satu tumbuh seribu” tadi, kita bertanya:
Apakah kita ini bagian dari yang tumbuh seribu itu?
Apa jasa kita dalam hidup ini? Kita menikmati
kesuburan bumi pertiwi, makan buahbuahnya yang segar, dan bulir-bulir padinya
yang mengenyangkan, atau talas, singkong, jagung dan bahanbahan makanan lain
untuk bertahan hidup, tapi kita lupa bersyukur? Kita mencintai semua jenis
tanaman di bumi ini dan membela mereka dengan sekuat tenaga, ketika tanaman
kita hendak dihancurkan bangsa lain, yang memiliki kepentingan politik ekonomi
lain, selain buat kesejahteraan kita?
Kita tak peduli akan jerit tangis petani
kita—juga petani tembakau—yang diancam kelestariannya oleh kekuatan asing yang
berkolaborasi dengan mereka yang berkhianat pada Tanah Air,dan bangsanya, tanpa
rasa dosa? Kita tak peduli pada para pemilik industri rumah tangga yang
memproduksi kretek, yang dicekik oleh peraturan pemerintah kita sendiri, yang
di belakangnya berdiri kepentingan asing yang serakah?
Kita diam seribu bahasa menyaksikan semua
aset ini dicaplok raksasa asing yang serakah, tetapi bermurah hati memberi
dukungan dana pada mereka yang menyebut diri berjuang demi bangsa, padahal
hakikatnya mereka berjuang buat melebarkan jalan bagi raksasa asing, dan bangsa
asing yang kelewat ngileruntuk menguasai aset bisnis tembakau kita? Kita diam
saja melihat industri-industri kretek di dalam negeri, milik anak negeri,
tumbuh dari tradisi, menjadi mahakarya tak tertandingi ini hendak dilenyapkan
bangsa asing yang memiliki kepentingan yang asing bagi kita?
Sebaliknya, dengan mentalitetinlander yang
terbungkukbungkuk, kita membiarkan industri rokok asing, beroperasi di negeri
ini, tanpa berbagi kesejahteraan dengan anak-anak negeri? Kita biarkan mereka
menjadi raksasa yang hanya punya satu mata: memupuk pertumbuhan—tanpa membagi—
profit dan kemakmuran dengan kita? Mereka lebih suci sehingga kita puji-puji?
Mereka lebih mulia hingga kita puja seolah tanpa cela? Apakah duit telah
menjadi segalanya? Begitu banyak orang yang buta karena mata telah ditutup
harta.
Namun, masih tak malu menyebut diri berjuang,
dan pura-pura tak tahu apa bedanya dana bantuan,yang khusus untuk mencelakai
anak negeri, dibanding dana bantuan antarnegara, atau dana LSM untuk membangun
keswadayaan kita. Perjuangan itu ibadah dan mulia.Tapi,apa arti ibadah dan
kemuliaannya bila kita tak menyertakan apa yang namanya rasa tulus? Kita sudah
menjadi terlalu pandai, terlalu kosmopolitan, dan menganggap rasa tulus tidak
begitu relevan?
Duit hanya duit. Harta hanya harta. Sifatnya
sejak abad delapan belas mungkin tetap sama.Tapi, kekuatan ideologi di baliknya
dan pesona material yang membungkam manusia alangkah kuatnya. Duit membungkam
manusia untuk rela menggelapkan kebenaran. Harta bisa menutup mata agar kita
tak peduli akan ancaman pihak yang kelawatkaya pada mereka yang hampir tak
punya apa-apa. Kita bisa bicara filsafat netralitas, dan jiwa yang tak
terlibat. Kau benar, silakan benar. Dia salah, silakan salah. Kita tidak
ikut-ikutan. Jangan bawa-bawa aku. Netralitas dijadikan landasan untuk tak
berbuat.
Netral dianggap suci, sesuci tetes embun pada
jam tiga pagi, ketika semua jenis kekotoran belum menyentuh dunia ini. Tapi,
pandangan ini mengabaikan sejarah, mengabaikan para pejuang. Sejarah penuh
pemihakan. Tak ada sejarah yang isinya tukang bersemadi. Sejarah selalu memihak
karena isinya para pejuang, yang tak mungkin tak memihak. Aktor sejarah, dalam
sejarah Sartono Kartodirdjo, termasuk petani, petani, dan petani. Juga aktor
sejarah hari ini. Mereka pun sebagian terdiri atas kaum tani,juga kaum tani
tembakau Temanggung.
Mereka meneruskan tradisi perjuangan para
pendahulu,yaitu Pasukan daerah Kedu, yang gagah berani, mendukung Perang Jawa,
di bawah Pangeran Diponegoro,yang dalam waktu pendek membikin kumpeni nyaris
gulung tikar.Mereka bukan hanya terlibat.Sebaliknya, mereka menggelar medan
perang,dan tak gentar melihat, atau merasakan sendiri, darah menetes dari
tubuhnya. Para pejuang hari ini, apa yang Kau lakukan? Tunggu. Jangan bicara
tentang netralitas.
Para pejuang tak berfilsafat lagi karena
berjuang lebih dari sekadar renungan filsafat. Mereka mengambil posisi, membela
Ibu Pertiwi dan semua anak negeri, yang dinodai. Bagi pejuang, berlakulah
adagium puitik Chairil: sekali berarti, sudah itu mati. Kita optimistis: “Mati
satu, tumbuh seribu?”
Sumber: Sindo, 29 Oktober 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!