Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera;
Berfokus pada Isu Pangan dan Pedesaan
"Produk Rekayasa Genetik Sebagai Realitas
Dunia", demikian judul kolom Agus Pakpahan, Ketua Komisi Keamanan Hayati
Produk Rekayasa Genetik (KKHPRG), di Koran Tempo edisi 2 Oktober 2012. Dilihat
dari tata waktu, tulisan tersebut merupakan reaksi dari berita yang muncul di
media dua minggu terakhir ini. Dengan seluruh data dan referensi, Agus mencoba
menjelaskan soal keputusan KKHPRG yang meloloskan keamanan pakan jagung
transgenik Bt Mon dan RR. Intinya bahwa semua itu sebuah keniscayaan, realitas
yang tidak bisa dihindari.
Penggambaran kedigdayaan produk rekayasa genetik
(PRG) demikian terperinci, mulai perkembangan luas, dampak ekonomi, hingga
alasan ilmiah mengapa PRG harus diterima. Termasuk di dalamnya menggunakan Uni
Eropa sebagai penguat alasan, karena selama ini mereka dianggap sebagai
penentang. Bangunan logika tersebut menggiring kesimpulan bahwa, apabila
Indonesia tidak menggunakannya, kita akan menjadi bangsa yang tidak punya
ketahanan pangan yang kuat, kualitas lingkungan yang hebat, berkecukupan
energi, dan mempunyai petani yang sejahtera. Benarkah demikian? Untuk melihat
secara kritis, ada baiknya pesan Sukarno, Presiden RI pertama, dihayati.
"Jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jas Merah)."
Lebih dari 10 tahun silam negeri ini pernah diberi kado
istimewa oleh Menteri Pertanian Bungaran Saragih. Pada 7 Februari 2001, Menteri
Pertanian mengeluarkan SK Nomor 107/ Kpts/ KB.403/2/2001 tentang pelepasan
secara terbatas kapas PRG Bt DP 5690 B sebagai Varietas Unggul dengan Nama
NuCOTN 35B (Bollgard). Perlu juga dicatat bahwa, saat itu, Agus Pakpahan
merupakan Direktur Jenderal Perkebunan yang bertanggung jawab dalam urusan
peningkatan produksi perkebunan, termasuk kapas di dalamnya. Surat keputusan
ini mendapat perlawanan dari organisasi non-pemerintah (ornop), karena dianggap
tergesa-gesa lantaran tidak melalui pengujian serta melanggar Undang-Undang
Lingkungan Hidup.
Perdebatan yang muncul dalam diskusi publik ataupun
media akhirnya berpindah ke jalur pengadilan. Lebih dari tiga tahun keputusan
Menteri Pertanian tersebut diuji, mulai di Pengadilan Tata Usaha Negara,
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, sampai kasasi di Mahkamah Agung.
Persidangan ini menarik, karena masuknya intervensi perusahaan dan petani,
sehingga posisi satu lawan tiga, antara ornop di satu pihak dan pemerintah,
Monagro Kimia sebagai investor dan petani yang pro-PRG di pihak lain. Hasilnya,
sudah dapat diduga, gugatan ornop dikalahkan.
Fakta dan putusan persidangan bertolak belakang
dengan kondisi di lapangan. Dampak lingkungan, termasuk di dalamnya sosial,
ekonomi, dan budaya dari komersialisasi kapas PRG yang didalilkan oleh ornop,
terbukti. Meski ditutupi dengan dukungan kebijakan yang kompak,
pengorganisasian petani dan ornop pendukung, serta dari para pakar PRG, data
lapangan berkata lain. Ketika dikampanyekan, lahan kapas PRG ini akan
menghasilkan 3-4 ton per hektare, bahkan dijanjikan lima kali panen dan bisa
membawa petani ke Mekah. Nyatanya, data dari Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan
menyebutkan bahwa 74 persen lahan menghasilkan kurang dari 1 ton per ha.
Bukannya benih kapas PRG-nya ditarik, justru petani yang disalahkan karena
tidak menaati aturan perusahaan. Tragis, sudah mengalami kegagalan, masih
disalahkan pula.
Alih-alih mencabut, Menteri Pertanian terus
memperpanjang izin penanaman hingga 2003, meski benih kapas PRG tersebut bukan
benih unggul seperti yang dicantumkan dalam surat keputusannya. Baru setelah
Monagro Kimia mengibarkan bendera putih, Menteri patuh. Tinggallah petani kapas
di tujuh kabupaten di Sulawesi Selatan sendirian memikirkan mimpinya yang
hilang untuk menjadi haji mabrur seperti yang dijanjikan. Kapas yang dijanjikan
tahan hama pun ternyata salah sasaran, sehingga serangan hama tetap membuat
sang kapas unggul tidak bisa bertahan. Sedangkan bukti lain hasil penelitian
mahasiswa tingkat magister IPB yang menemukan adanya kontaminasi gen pada kapas
lokal di sekitar lahan kapas PRG pun dibungkam secara sistematis.
Belakangan, terbukti ketergesaan itu mengandung bau
amis suap dan korupsi. Departemen Kehakiman Amerika Serikat menemukan fakta
bahwa Monsanto menyuap lebih dari US$ 700 ribu kepada pejabat di Kementerian
Pertanian, Lingkungan Hidup, dan pihak lain. Suap itu membuktikan ada
pelanggaran dari ketentuan yang berlaku. Sayang, temuan dan fakta ini tidak
ditindaklanjuti di Indonesia.
Setelah lebih 10 tahun, catatan-catatan tersebut
seperti dilupakan. Dengan sederet alasan pembenar, kembali pemerintah membuat
keputusan yang tergesa-gesa. Menjaga ketahanan pangan adalah amanat, dan
mewujudkannya adalah kewajiban. Sahih selama tujuannya adalah mensejahterakan
rakyat dan melindungi bumi Indonesia. Namun, apabila keputusan yang dibuat
untuk sekadar menghamba kepada investor, apalagi sampai menabrak aturan,
sungguh disesalkan.
Produk PRG merupakan produk hasil teknologi tinggi
yang dimiliki korporasi multinasional dan dilindungi aturan Hak atas Kekayaan
Intelektual. Karena hal itu memiliki potensi dampak negatif, hampir seluruh
dunia sepakat mengaturnya melalui Protokol Kartagena. Indonesia telah meratifikasinya
pada 2006. Prinsip yang penting dari protokol adalah dianutnya Prinsip
Kehati-hatian, Partisipasi Publik, serta Kajian Sosial-Ekonomi dan Budaya.
Prinsip Kehati-hatian mengamanatkan bahwa ketiadaan bukti ilmiah tidak boleh
membuat negara tidak melakukan tindakan untuk melindungi lingkungan. Ini
berarti negara berdaulat untuk menyatakan menolak PRG, meski data ilmiah belum
mencukupi, demi melindungi diri dari dampak lingkungan yang tidak terpulihkan.
Adapun partisipasi publik merupakan syarat mutlak untuk
memutuskan, karena publiklah yang akan menanggung seluruh risiko dari
komersialisasi PRG, baik sebagai produsen maupun konsumen. Tercakup di dalamnya
adalah kajian mendalam tentang sosial-ekonomi dan budaya masyarakat.
Setelah belajar dari ketergesa-gesaan dan ketiadaan
payung hukum yang mengatur produk rekayasa genetik, Indonesia melangkah maju
dengan berupaya membuat aturan. Namun tarik-ulur kepentingan terus terjadi.
Dengan alasan lebih murah, dibuatlah Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005
tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. Meski dikritik lemah dalam
substansi, miskin akuntabilitas, dan lemah daya penegakannya, pemerintah tetap
melaju. Beruntung, setelah kasus suapnya terungkap, banyak pihak yang jeri dan
tiarap, sehingga tidak ada produk transgenik yang dilepas. Rupanya, semua itu
hanya menunggu waktu, di mana saat bangsa ini sudah lupa pada dampak yang harus
ditanggung dalam komersialisasi PRG.
Ada instrumen lain, yakni UU 32/2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Prinsip kehati-hatian tercantum
dan menjadi salah satu prinsip dalam melindungi lingkungan. Penerjemahan
prinsip ini secara detail dicantumkan dalam pasal-pasal pencegahan dan
perlindungan, di mana analisis mengenai dampak lingkungan menjadi instrumen izin
lingkungan, baik dalam uji maupun usaha yang terkait dengan produk PRG. Sanksi,
pidana dan perdata, akan dijatuhkan kepada siapa pun pencemar atau perusak
lingkungan, baik kepada pengusaha maupun pejabat pemerintah terkait.
Sayang, masyarakat, sebagai produsen dan konsumen
utama negeri, terus dilupakan, terutama saat negara mengambil kebijakan baru,
seperti proses komersialisasi PRG. Bangsa ini sering lupa, dalam konstitusi
disebutkan bahwa didirikannya negara RI bertujuan mensejahterakan rakyat dan melindungi
seluruh tumpah darah Indonesia. Dengan hanya mengkaji dokumen keamanan pakan,
pangan, dan lingkungan dari perusahaan pengusul, pemerintah tidak melindungi
lingkungan dan mensejahterakan masyarakat. Ini berarti pemerintah telah
menabrak aturan dan konstitusi. Kebijakan tersebut harus segera dikoreksi,
sebelum ada korban jatuh, seperti 10 tahun yang lalu.
Bangsa ini pun sudah terlalu lama melupakan petani.
Sungguh kezaliman apabila petani tidak pernah dilibatkan dalam mengambil
keputusan, termasuk soal komersialisasi PRG yang akan dilakukan. Pernahkah
petani ditanya apakah mereka membutuhkan PRG? Pernahkah dijelaskan bahwa PRG
ini akan menimbulkan ketergantungan dan potensi penindasan, karena sifatnya
yang monopolistik? Pernahkah dijelaskan risiko yang harus mereka tanggung,
termasuk risiko lingkungan dan sosial-ekonomi? Masih banyak pertanyaan yang
harus dijawab oleh pemerintah yang diberi mandat untuk melaksanakan amanat
konstitusi.
Saatnya bangsa ini membangun kedaulatan pangan
dengan masyarakat sebagai pusatnya. Bukan malah terus membangun mitos-mitos
seperti mitos PRG ini. Ingat, mempercepat dan mempermudah komersialisasi PRG
sama saja dengan meningkatkan ketergantungan dan mendukung monopoli.
Kesejahteraan petani pasti akan semakin menjauh. Jangan sampai kita kalah
cerdas dibanding keledai, yang tidak mau terperosok ke lubang yang sama untuk
kedua kalinya. Semoga.
Sumber: Koran Tempo, 15 Oktober 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!