Oleh Sumaryoto
Anggota DPR, Fraksi PDI Perjuangan
GAJAH mati meninggalkan gading, harimau mati
meninggalkan belang. Joko Widodo meninggalkan Solo, ia ''naik kelas'' menjadi
Gubernur DKI Jakarta. Selamat bekerja, sugeng makarya, Mas Joko.
Apa yang ditinggalkan Jokowi buat masyarakat
Solo? Tidak sedikit. Selain birokrasi yang bersih dan efektif serta sikap
bersahaja, juga wajah kota yang ramah. Sebab itulah, meski hanya bermodalkan
''dengkul'', ia yang berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama dan didukung hanya
oleh dua partai, PDIP dan Gerindra, sanggup mengalahkan Fauzi Bowo-Nachrowi
Ramli yang bermodal besar dan didukung banyak partai, termasuk Demokrat dan
Golkar. Putaran kedua Pilgub DKI ibarat perang Bharatayuda, dan Pandawa yang
hanya terdiri atas lima kesatria mampu mengalahkan 100 orang dari Kurawa.
Sanggupkah Jokowi-Ahok berperan sebagai
Pandawa yang bekerja demi menegakkan kebenaran, keadilan, dan kemaslahatan?
Sang-gupkah memerankan Puntadewa dengan jamus Kalimasadanya? Bila dalam
pewayangan Kalimasada adalah dua kalimat syahadat, di alam nyata Ibu Kota,
Kalimasada diibaratkan sebagai dukungan rakyat dan DPRD.
Dukungan rakyat sudah jelas, yakni 54% suara
lebih dalam putaran kedua pilgub pada 11 September 2012. Bahkan kini dukungan
itu kian membesar, seiring ekspektasi publik. Bagaimana dukungan DPRD? Inilah
yang masih mengkhawatirkan mengingat Jokowi-Ahok hanya didukung PDIP yang
memiliki ''cuma'' 11 kursi dan Gerindra dengan 6 kursi, dari 94 kursi di DPRD
DKI.
Inilah tantangan politik lima tahun ke depan,
mampukah Jokowi-Ahok menjinakkan DPRD sehingga jamus Kalimasada bisa
didayagunakan. Tapi apa pun dalihnya, bila suara para anggota DPRD tidak
sejalan dengan suara rakyat, berarti bertentangan dengan adagium vox populi
vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan.
Di Solo, Jokowi benar-benar sanggup menjadi
Puntadewa yang lembut dan antikekerasan. Penertiban pedagang kaki lima
berlangsung damai dan tanpa kekerasan. Bagaimana di Jakarta? Jakarta memang
bukan Solo.
Bila Jokowi berjanji menertibkan PKL tanpa
penggusuran seperti di Solo, akankah terwujud? Langkah pertama, Jokowi akan
menarik senjata pentungan dari tangan petugas Satpol PP, bahkan Kepala Satpol
PP konon akan dijabat perempuan.
Jakarta memang bukan Solo. Saat ini jumlah
penduduk Ibu Kota hampir 10 juta jiwa, ditambah 2,5 juta jiwa warga luar yang
beraktivitas di Jakarta pada siang hari. Jumlah ini sudah di ambang kritis.
Lihat saja Perda RTRW 2030 yang menetapkan jumlah penduduk Jakarta hanya 12,5
juta jiwa pada 2030. Sementara jumlah warga miskin, menurut catatan BPS DKI,
mencapai 363.200 orang. Inilah pekerjaan rumah (PR) Jokowi untuk menyediakan
lapangan kerja dan perumahan bagi mereka.
Mobilitas Warga
PR lainnya adalah mengatasi banjir dan
kemacetan lalu lintas. Apakah keberadaan banjirkamal timur cukup untuk
mengatasi banjir? Apakah aliran 13 sungai yang membelah Ibu Kota dalam kondisi
bagus sehingga aairnya tak meluap pada musim hujan?
Untuk mengatasi kemacetan, Jakarta kini
memiliki program mass rapid transit
(MRT), dan Jokowi tinggal merealisasikannya. Proyek yang didanai pemerintah
Jepang melalui JICA ini membutuhkan dana sekitar 1,6 miliar dolar AS atau Rp 14
triliun. Namun dana yang dipegang pemerintah baru 1,05 miliar dolar.
MRT Jakarta yang berbasis rel ini akan
membentang kurang lebih 110,8 kilometer, meliputi dua koridor utama, yaitu
Koridor Selatan-Utara yang jadi prioritas, dan Koridor Timur-Barat yang masih
tahap kajian. Koridor Selatan-Utara (Lebak Bulus-Kampung Bandan) sepanjang 23,8
km dan Koridor TimurñBarat (Jakarta-Balaraja) 87 km.
Tren mobilitas masyarakat kota di masa
mendatang memang lebih banyak berada di bawah tanah, dan Jakarta mau tak mau
harus mengikuti pola ini. Bila tidak, Ibu Kota akan tertinggal dari kota-kota
besar negara lain. Jakarta juga akan terus mengalami pertumbuhan penduduk.
Ketersediaan fasilitas publik di bidang
transportasi dengan daya angkut besar tak bisa dielakkan. Bila tidak, Jakarta
mengalami stagnasi mobilitas penduduk.
Bila Jokowi mampu mengatasi banjir dan
kemacetan, ia akan tercatat dalam sejarah sebagai gubernur yang berhasil.
Selama ini ikon keberhasilan Gubernur DKI adalah Ali Sadikin. Jokowi harus bisa
mencatatkan diri di hati rakyat sebagai ikon baru keberhasilan Gubernur DKI
setelah Ali Sadikin. Gaya boleh berbeda, tetapi komitmen memajukan Ibu Kota,
Mas Joko tak boleh berbeda dari Bang Ali, bahkan harus lebih. Komitmen itu
harus diwujudkan dengan kerja keras.
Jakarta jelas bukan Solo. Jakarta adalah ibu
kota negara yang sangat kompleks permasalahannya. Sebab itu, ''Puntadewa
Jokowi'' sendiri tidaklah cukup. Ia harus didukung oleh Puntadewa-Puntadewa
lain. Jokowi harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Untuk mengatasi
banjir dan macet, ia harus bekerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan
Kementerian Perhubungan. Untuk urusan permukiman warga, dengan Kementerian
Perumahan Rakyat.
Untuk atasi pengangguran, dengan Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Untuk keamanan, dengan Kapolri dan Kapolda Metro
Jaya, begitu seterusnya.
Sumber: Suara Merdeka, 15 Oktober 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!