Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI
Ketika model perwakilan politik (political
representation) diperkenalkan, para pemikir politik dan ketatanegaraan
memperingatkan risiko menggunakan jenis perwakilan ini yang dapat menyebabkan
terciptanya government by amateurs yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh
sekelompok orang yang tidak memiliki keahlian dan tidak memahami tugas dan
fungsinya.
Hal tersebut dapat terjadi karena perwakilan
politik lebih mementingkan popularitas dan akseptabilitas dibanding kualitas.
Orang-orang duduk di lembaga perwakilan semata karena memperoleh suara lebih
banyak dibanding lawannya, tidak peduli kemampuan apa yang dimilikinya yang
menjadi alasan mereka terpilih. Di antara cara yang dilakukan untuk mengatasi
masalah ini adalah dengan mendirikan partai-partai politik (parpol).
Parpol melakukan pemberdayaan para calon
wakil rakyat dengan memberikan agenda, program, peningkatan pengetahuan, jaringan,
dan sebagainya. Maka dikenallah fungsi parpol sebagai wadah seleksi
kepemimpinan dan pendidikan politik bagi masyarakat. Parpol kini seakan tidak
bisa dipisahkan dari proses perwakilan politik.Hampir semua rekrutmen politik
melibatkan parpol baik secara langsung maupun tidak langsung. Kini, ancaman
terciptanya government by amateurs kembali terjadi.
Menariknya, ancaman government by amateurs
justru terjadi karena peningkatan kualitas pengetahuan masyarakat tentang
fungsi kepemerintahan dan ketatanegaraan secara masif. Hal itu terjadi bukan
karena parpol ataupun elite politik berhasil melakukan fungsi edukasi politik,
melainkan karena masyarakat secara luas memiliki akses informasi kepada
terhadap persoalan-persoalan negara dengan lebih mudah bahkan sebagian mungkin
lebih baik dibanding para politisi.
Akses informasi yang mudah dan globalisasi
informasi yang tak dapat ditahan menyebabkan pengetahuan dan informasi menjadi
milik publik tanpa bisa dihalangi. Elite politik bukan lagi sekelompok orang
yang dapat memonopoli informasi atau paling tidak memiliki informasi lebih
dibanding rakyat pada umumnya seperti yang terjadi pada masa lalu. Malah dalam
banyak hal, masyarakat sekarang lebih berpengetahuan dibanding para wakilnya di
pemerintahan.
Di berbagai negara demokrasi maju, fenomena
ini dinilai sebagai penyebab lahirnya berbagai lembaga yang juga berperan dalam
perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik (public policy). Lembaga-lembaga
ini berpengaruh sangat besar di masyarakat namun diisi oleh orang-orang
profesional, memiliki kapasitas keilmuan yang kuat, memahami kompleksitas
tentang kebijakan publik dan berbagai keahlian khusus lain serta yang
terpenting mereka adalah unelected people (Paul Vibert,2007).
Dengan demikian, para elite politik yang
merupakan pilihan rakyat bukan lagi faktor dominan dalam perumusan dan
pelaksanaan kebijakan publik. Justru ada anggapan bahwa jalur pemilihan para
wakil rakyat banyak digunakan oleh mereka yang berkompetensi rendah dan
keahlian minim tetapi menginginkan kekuasaan. Persaingan dalam mendapatkan
jabatan politik tidak menggantungkan pada kompetensi, tetapi pada popularitas
sehingga tidak memicu para pesertanya untuk berpengetahuan dan berkompetensi
tinggi.
Kelebihan para wakil rakyat dalam pelaksanaan
fungsinya, kini, relatif hanya pada fungsi representasi. Fungsifungsi lain
seperti legislasi, kontrol dan anggaran secara substantif dapat dilaksanakan
oleh unelected body atau unelected people dengan lebih baik namun mereka tidak
memiliki fungsi representasi yang melekat, sehingga tidak memungkinkan produk
berkualitasnya terebut menjadi kebijakan publik yang mengikat seluruh rakyat.
Kaidah demokrasi mengharuskan setiap kebijakan apalagi berdampak pembebanan
pada rakyat harus diputuskan melalui mekanisme perwakilan (no tax without
representation).
Mengamati perkembangan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) di Indonesia, fenomena di atas juga terjadi. Dulu para anggota
parlemen datang kepada masyarakat dengan membawa informasi penting, dan seakan
rakyat hanya bisa mengakses informasi lewat para elite politik tersebut
sehingga apa yang disampaikan oleh para elite politik seakan tidak
terbantahkan.
Namun kini, wakil rakyat habis-habisan
mendapatkan sorotan dan menerima kritik masyarakat dalam setiap proses
pengambilan putusan. Bahkan, rakyat secara detail dapat mengakses bukan hanya
kegiatan perumusan kebijakan publik tetapi juga perilaku-perilaku para elite
politik secara personal. Akibatnya isu yang tampil ke publik bukan saja
pelaksanaan fungsi parlemen seperti yang ditentukan oleh konstitusi, isu-isu di
luar pelaksanaan fungsi juga tidak lepas dari perhatian publik.
Menariknya, jika diamati beberapa tahun
belakangan ini, isu-isu di luar fungsi justru tampil lebih dominan dibanding
kegiatan dewan di bidang legislasi, pengawasan, dan anggaran yang menjadi
fungsinya. Gedung Dewan tanpa malumalu justru secara besar-besaran memproduksi
isu-isu penyelewengan moral dan urusan-urusan rumah tangga dewan yang
nyata-nyata tidak memiliki implikasi bagi kesejahteraan rakyat yang
diwakilinya.
Artinya, di tengah para wakil rakyat secara
eksklusif, hanya memiliki satu-satunya fungsi yang tidak bisa dimiliki rakyat
pada umumnya yaitu fungsi representasi seperti diuraikan di atas, justru mereka
sendiri melakukan pelemahan terhadap fungsi tersebut. Perdebatan panas dewan
bukan dalam rangka mereka sedang melakukan agregasi kepentingan rakyat,
melainkan diisi oleh isu-isu degradasi moral para wakil rakyat dan urusan rumah
tangga yang merupakan kepentingan pribadi para wakil rakyat.
Posisi parlemen sebagai lembaga negara yang
mewakili kepentingan rakyat membuat semua pihak juga menjadi terlibat dalam
isu-isu nonfungsi tersebut. Akibatnya, energi bangsa terkuras untuk
berdialektika kosong mengenai hal tersebut. Rakyat dibawa arus perdebatan tidak
substantif jauh dari kebutuhannya. Korupsi para legislator, penyelewengan seks,
persoalan keluarga, renovasi berbagai fasilitas para wakil rakyat, kunjungan
luar negeri hingga jajanan rapat harus menambah beban rakyat karena harus
terusmenerus teramat kecewa dengan perilaku para wakilnya.
Lebih buruk lagi, semua persoalan tersebut
tampil di tengah-tengah miskinnya prestasi para wakil rakyat dalam melaksanakan
tugasnya, baik dalam legislasi,pengawasan,maupun anggaran. Peningkatan kualitas
pengetahuan rakyat di era informasi seharusnya dapat dimanfaatkan wakil rakyat
untuk menjadi pendukung kualitas putusan politik, bukan menjadi musuh politisi
dan aktivitas politiknya. Kontrol publik bukan untuk dihindari,melainkan harus
dijadikan pemicu lahirnya putusan yang berkualitas. Melawan kontrol publik
hanya akan menyebabkan elite politik menjadi “bulan-bulanan” dan justru
memisahkan para elite politik menjadi kelompok para amatir yang berkuasa.
Sumber: Sindo, 15 Oktober 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!