Direktur Sunspirit for Justice and Peace
Kekerasan semakin menambah berat derita
Papua. Di pengujung tahun ini, kontak senjata menewaskan 3 anggota polisi dan 2
warga sipil di Lani Jaya. Di Manokwari, seorang warga sipil meregang nyawa di
ujung laras aparat, memicu amuk massa yang melumpuhkan kota. Di Merauke,
seorang pendeta perempuan ditembak anggota TNI. Rangkaian insiden itu menambah
panjang catatan kekerasan tahun 2012.
Tahun ini juga terjadi eskalasi benturan
horizontal antarberbagai kelompok, baik antarsesama Papua, seperti di Timika,
maupun antara Papua dan non-Papua, seperti di Abepura pada Juli 2012. Marak
pula kekerasan terhadap perempuan dan anak di lingkup domestik. Secara
keseluruhan korban langsung kekerasan mencapai ribuan orang, tidak kurang dari
100 orang meninggal dunia.
Rentetan kekerasan itu merusak sendi tatanan
sosial dan relasi antarmanusia, kelompok, dan institusi. Kekerasan itu bukan
lagi berupa insiden sporadik yang terpisah satu sama lain, melainkan rangkaian
berpola umum (sistemik), berwujud dalam perilaku dan tindakan aktor-aktor
individual, sosial, dan politik. Itu terjadi pada level rumah tangga
(domestik), antarkelompok masyarakat berbeda klan, suku, agama, kelas ekonomi,
dan orientasi politik (sosial), serta antara masyarakat dan negara (politik).
Situasi Papua mengarah ke darurat kekerasan.
Dalam istilah Hobbes, bellum omnium contra
omnes, kekerasan semua melawan semua.
Multidimensi Kekerasan
Konstruksi segitiga kekerasan Johan Galtung
membantu kita memahami multidimensi kekerasan di Papua dan memikirkan solusinya
secara baru. Galtung dalam Theory of
Violence membagi kekerasan atas tiga tingkat: kekerasan langsung,
struktural, dan kultural.
Kekerasan langsung, mulai dari kekerasan di
dalam rumah tangga hingga perang atau operasi militer, adalah wujud kasatmata
dari kekerasan. Kekerasan struktural tertanam dalam struktur-struktur sosial,
politik, ekonomi, dan budaya. Kekerasan model ini termanifestasi dalam berbagai
bentuk ketidakadilan, eksploitasi, represi, dan marjinalisasi. Kekerasan
kultural ada dalam pola perilaku, kerangka berpikir, ideologi, bahasa, dan
falsafah. Kekerasan jenis ini, walau tak kasatmata, melegitimasi kekerasan
langsung dan struktural.
Masyarakat asli/adat yang termarjinalisasi
dalam proses pembangunan dan eksplorasi sumber daya alam adalah contoh
kekerasan struktural. Tengoklah kondisi hidup orang Amungme di Mimika atau
orang Waris-Senggi-Web di Keerom. Ketika korporasi tambang, kayu, dan
perkebunan mengeruk untung di tanah leluhur mereka, mayoritas orang asli hidup
dalam kemiskinan, tanpa pelayanan pendidikan dan kesehatan yang memadai, tanpa
akses pada listrik, air bersih, dan jalan.
Pada aras horizontal, masyarakat asli dipaksa
bersaing dengan ”pendatang” yang jumlahnya kini melebihi penduduk asli.
Penduduk non-Papua umumnya mendiami kota dan menguasai sentra-sentra ekonomi.
Kombinasi berbagai faktor, seperti keterampilan, etos, modal, dan jejaring,
menyebabkan pendatang lebih menikmati kesempatan dan hasil pembangunan.
Kesenjangan ekonomi asli dan pendatang, selain persoalan politik, jadi sumber
ketegangan baru di Papua.
Dua wujud kekerasan itu dilegitimasi dan
dilanggengkan oleh kekerasan kultural. Dalam kaitan dengan konflik politik,
relasi pemerintah pusat dengan elemen masyarakat Papua masih diwarnai
ketidakpercayaan. Orang Papua yang kritis langsung digeneralisasi sebagai
separatis dan dihabisi aparat negara, sementara desakan mereka untuk dialog
yang jujur tak kunjung ditanggapi.
Secara ekonomi, ideologi kapitalis-liberal
membuka Papua bagi investasi berbasis eksploitasi SDA dan membiarkan masyarakat
adat yang polos bersaing dengan pemodal dalam pertarungan yang asimetris.
Secara sosial budaya, kekerasan kultural mewujud dalam budaya patriarkat untuk
kekerasan domestik serta mentalitas sukuisme-rasisme untuk konflik sosial.
Inilah akar kultural rangkaian kekerasan di Papua.
Jadi, kekerasan di Papua bukanlah semata-mata
insiden, melainkan kondisi darurat lingkaran setan yang brutal, bersumber pada
komplikasi kekerasan langsung, struktural, dan kultural.
Pembangunan Transformatif
Tak ada cara lain menghentikan kekerasan
selain dengan menghentikan kekerasan. Mengutip Gandhi, tidak ada jalan menuju
perdamaian, damai itulah jalannya. Konkretnya?
Pertama, potong mata rantai kekerasan dengan
stop kekerasan politik. Semakin banyak aktivis Papua disiksa dan dibunuh, makin
dalam antipati mereka terhadap Indonesia. Semangat Papua merdeka tidak sekadar
hidup di hutan gerilya, tetapi juga dalam sanubari korban kekerasan aparat dan
kekejaman pembangunan.
Kedua, tegakkan hukum sipil serta perbaiki
kapasitas aparat untuk mengelola konflik sosial dan mengatasi amuk massa. Di
tengah komplikasi konflik vertikal dan horizontal, pemerintahan pada semua
level di Papua semestinya dibekali kemampuan fasilitasi dan resolusi konflik.
Ketiga, wujudkan pembangunan yang
transformatif. Salah satu akar konflik Papua adalah paradoks pembangunan.
Jangan percepat atau perpanjang pembangunan eksploitatif dan represif. Sejumlah
agenda pembangunan transformatif itu sudah sering disuarakan, di antaranya
”selamatkan manusia dan alam Papua”; penuhi hak-hak dasar, kontrol migrasi;
laksanakan kebijakan afirmatif dalam UU Otonomi Khusus; dan stop eksploitasi
alam, ibu bumi mereka.
Keempat, hentikan diskriminasi dan memandang
rendah orang asli Papua. Pengalaman pahit orang Papua selama 50 tahun
melahirkan apa yang disebut memoria
passionis, pengalaman penderitaan kolektif. Butuh pengalaman manis,
solidaritas, keadilan, dan empati untuk memulihkannya. Selain itu, akar lain
dari budaya kekerasan di Papua juga harus direfleksikan dan diubah oleh orang
Papua sendiri. Orang Papua mesti belajar hidup dalam keberagaman dengan
berbagai kelompok suku bangsa, sambil dengan penuh percaya diri membangun masa
depan mereka sendiri.
Sumber: Kompas, 29 Desember 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!