Rohaniwan, bekerja di Dewan Kongregasi MSF di Roma,
Italia
“Lengkungan busur moral dari alam semesta berada
pada lengan keadilan.” Pernyataan Martin Luther King Jr itu dikutip Presiden
Grup Bank Dunia, Jim Yong Kim untuk mengajak dunia mengakhiri kemiskinan,
membangun kemakmuran setara, dan inklusif dalam semangat merajut solidaritas
global.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun dalam Regional
Meeting and Stakeholder Consultation on the Post-2015 Development Agenda, di
Bali 13 Desember 2012, mengingkatkan dunia agar menerapkan konsep pembangunan
inklusif dalam mengatasi masalah ketidakadilan. Presiden amat prihatin atas
ketidakadilan ekonomi dunia seperti tercermin dalam laporan PBB tentang adanya
20 persen populasi dunia yang menikmati lebih dari 70 persen pendapatan dunia.
Perayaan Natal merupakan undangan bagi semua yang
merayakannya untuk memahami ketimpangan sosial-ekonomi sebagai sebuah panggilan
moral yang menanti jawaban dan tindakan konkret. Salah satu makna terdalam
peristiwa Natal adalah solidaritas Allah terhadap manusia. Solidaritas Allah
diperlihatkan dalam universalitas kasihNya yang menjangkau semua orang, tetapi
yang sekaligus memihak mereka yang kurang beruntung dalam masyarakat.
Secara nasional perintah etis solidaritas yang
bermuara dari Natal menjadi kesempatan menakar kedalaman keberpihakan kepada
mereka yang miskin dan tersingkir dalam masyarakat. Lengkungan busur moral
bangsa perlu ditempatkan pada lengan keadilan agar kemakmuran yang dicapai
bangsa ini dinikmati secara setara.
Pertumbuhan 6,1 persen pada 2010 dan 6,5 persen pada
2011 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan tertinggi kedua
setelah Tiongkok. Begitu pula pendapatan per kapita sejak 2009 terus meningkat
dan mencapai US$ 3.508, 61 pada 2012. Pendapatan per kapita itu diramalkan bisa
mencapai US$ 6.000 pada 2016.
Ketimpangan
Kesetaraan ekonomi dan solidaritas sosial tampak
masih jauh dari perwujudannya. Seiring pertumbuhan di atas, ketimpangan
pendapatan masyarakat sebagaimana digambarkan dengan rasio gini semakin
meningkat. Pada 2009 rasio gini sebesar 0,37 meningkat menjadi 0,38 pada 2010,
dan menjadi 0,41 pada 2011. Rasio gini 0,41 menunjukkan bahwa 1 persen penduduk
menguasai hingga 41 persen total kekayaan di Indonesia. Pertumbuhan dan
pendapatan per kapita yang makin meningkat ternyata tidak diiringi pemerataan
kesejahteraan.
Data Lembaga Penjamin Simpanan tahun 2012
menunjukkan 51 persen dari total deposito perbankan senilai Rp 1.700 triliun
dimiliki 0,13 persen nasabah. Data dari Bahan Pertanahan Nasional tahun 2010
memperlihatkan bahwa mayoritas aset negara dalam bentuk tanah dikuasai 0,2
persen penduduk. Petani gurem bertambah. Dari Sensus 1993 dan sensus terbaru
2003, jumlah rumah tangga petani kecil beranjak dari 10,8 juta pada tahun 1993
menjadi 13,7 juta pada 2003. Kesenjangan dalam kepemilikan tanah, bangunan,
saham, serta kesenjangan pendidikan dan kesehatan ternyata tetap tinggi.
Tidak cukup bagi Presiden Yudhoyono menyerukan
konsep pembangunan inklusif itu pada dunia, tanpa lebih dahulu mewujudkannya di
negerinya sendiri. Laporan Forbes 2012, misalnya, memperkirakan harta 40 orang
terkaya di Indonesia mencapai Rp 850 triliun atau setara dengan 60 persen APBN
2012.
Perlu politik ekonomi yang adil dan solider untuk
menjembatani kesenjangan kesejahteraan yang terjadi pula antara masyarakat
Indonesia di kawasan timur dan barat yang kian hari kian melebar. Produk
domestik regional bruto antara kawasan Indonesia barat dan timur tumbuh
terbalik. Penguasaan dan eksploitasi sumber daya alam di bagian timur Indonesia
oleh segelintir pemodal tidak memberikan kesejahteraan kepada rakyat.
Pemerintah memang berusaha menjembatani jurang
kesenjangan sosial-ekonomis itu dengan janji menciptakan lapangan kerja dan
mengurangi jumlah orang miskin. Pemerintah menetapkan target menciptakan
lapangan kerja bagi satu juta orang pada 2013. Menurut Menko Kesra Agung
Laksono, angka kemiskinan Indonesia pada 2004 mencapai 17,9 persen, namun pada
Maret 2012 turun menjadi 11,9 persen. Pemerintah menargetkan angka kemiskinan
pada 2014 hanya sebesar 7,5 persen atau 8 persen.
Semua hitungan dan target bisa saja menghibur jika
benar. Namun tanpa distribusi aset ekonomi yang merata, pertumbuhan hanya akan
terkapitalisasi pada kantong pemodal. Aset ekonomi seperti lahan pertanian dan
hutan kian dikuasai pemodal. Tanpa keadilan ekonomi rakyat miskin kian
terpinggirkan.
Pada masa kejayaan Orde Baru, mantan Presiden
Soeharto sering berbicara tentang “kue pembangunan”. Dalam teori itu rakyat
miskin dihibur tentang akan datangnya masa kesejahteraan ketika “kue
pembangunan” itu akan dibagikan. Pembangunan ekonomi di zaman itu digambarkan
akan mencapai periode “tinggal landas”. Namun sejarah mencatat kue itu akhirnya
hanya dimakan segelitir keluarga dan kroni di sekitarnya. Ekonomi pun hanya
membawa segelintir orang “lepas landas” bergelimang kekayaan karena korupsi dan
nepotisme sedangkan kebanyakan rakyat kecil tetap tinggal di landasan
kemiskinan.
Di masa kini pembangunan ekonomi dikiaskan seperti
membangun anak tangga. Pembangunan oleh pemerintah digambarkan bagaikan
meletakkan batu bata untuk mencapai ketinggian tertentu. Ketinggian itu
misalnya diukur melalui tingkat pertumbuhan dan pendapatan per kapita. Konsep
pembangunan yang demikian membawa bangsa ini menghadapi persoalan yang sama
seperti di masa lalu. Pertanyaan etis yang diajukan selalu berkaitan soal siapa
yang bisa menaiki anak tangga pertumbuhan dan siapa menikmati tingginya
pendapatan per kapita itu?
Ekonomi yang dilepaskan dari nilai-nilai
etis-religius hanya akan mereduksi manusia dalam dimensi materialnya. Nilai
yang dimutlakkan hanya keuntungan diri tanpa solidaritas. Penumpukan kekayaan
atas biaya dan penderitaan mereka yang kecil dan tak berdaya, dalam semangat
Natal, seharusnya menjadi sebuah skandal kemanusiaan yang memalukan (bdk.,
Compendio della Dottrina Sociale della Chiesa, 2005: 204).
Dalam peristiwa Natal manusia diangkat dan
dipulihkan martabatnya yang mulia sebagai “gambaran” atau pantulan kebesaran
Allah sendiri. Manusia dalam terang itu tidak dapat direduksi menjadi sekadar
barang ekonomis. Pembangunan ekonomi seharusnya berkiblat melayani manusia yang
oleh kemiskinan dan penderitaan direndahkan martabatnya. Hendaknya pembangunan
bangsa tidak meminggirkan masyarakat kecil hanya sebagai penonton.
Penumpukan kekayaan hanya pada segelintir orang
merupakan pembiaraan kekerasan terhadap mereka yang kecil dan pengingkaran
terhadap kesetaraan sosial. Padahal kesetaraan dan solidaritas terhadap mereka
yang lemah-miskin merupakan nilai-nilai etis-religius yang menjadi jiwa sebuah
masyarakat bermartabat. Begitu pula kebijakan ekonomi yang hanya mengandalkan
pertumbuhan dan pendapatan per kapita mereduksi pembangunan hanya pada
angkaangka tanpa menghitung ongkos penderitaan manusia di balik angka-angka
itu.
Dalam peristiwa Natal diperlihatkan solidaritas dan
keberpihakan Allah yang nyata bagi manusia lemah dan terpinggirkan.
Keberpihakan dan solidaritas itu menjadi panggilan etis bagi negeri ini agar
menegakkan kesetaraan kemakmuran bagi seluruh rakyat dan bukan hanya bagi
segelintir orang.
Suara Pembaruan, 22 Desember 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!