Headlines News :
Home » » Natal dan Kesetaraan Kemakmuran

Natal dan Kesetaraan Kemakmuran

Written By ansel-boto.blogspot.com on Sunday, December 23, 2012 | 2:44 PM

Oleh Paulinus Yan Olla, MSF
Rohaniwan, bekerja di Dewan Kongregasi MSF di Roma, Italia

“Lengkungan busur moral dari alam semesta berada pada lengan keadilan.” Pernyataan Martin Luther King Jr itu dikutip Presiden Grup Bank Dunia, Jim Yong Kim untuk mengajak dunia mengakhiri kemiskinan, membangun kemakmuran setara, dan inklusif dalam semangat merajut solidaritas global.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun dalam Regional Meeting and Stakeholder Consultation on the Post-2015 Development Agenda, di Bali 13 Desember 2012, mengingkatkan dunia agar menerapkan konsep pembangunan inklusif dalam mengatasi masalah ketidakadilan. Presiden amat prihatin atas ketidakadilan ekonomi dunia seperti tercermin dalam laporan PBB tentang adanya 20 persen populasi dunia yang menikmati lebih dari 70 persen pendapatan dunia.

Perayaan Natal merupakan undangan bagi semua yang merayakannya untuk memahami ketimpangan sosial-ekonomi sebagai sebuah panggilan moral yang menanti jawaban dan tindakan konkret. Salah satu makna terdalam peristiwa Natal adalah solidaritas Allah terhadap manusia. Solidaritas Allah diperlihatkan dalam universalitas kasihNya yang menjangkau semua orang, tetapi yang sekaligus memihak mereka yang kurang beruntung dalam masyarakat.

Secara nasional perintah etis solidaritas yang bermuara dari Natal menjadi kesempatan menakar kedalaman keberpihakan kepada mereka yang miskin dan tersingkir dalam masyarakat. Lengkungan busur moral bangsa perlu ditempatkan pada lengan keadilan agar kemakmuran yang dicapai bangsa ini dinikmati secara setara.

Pertumbuhan 6,1 persen pada 2010 dan 6,5 persen pada 2011 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan tertinggi kedua setelah Tiongkok. Begitu pula pendapatan per kapita sejak 2009 terus meningkat dan mencapai US$ 3.508, 61 pada 2012. Pendapatan per kapita itu diramalkan bisa mencapai US$ 6.000 pada 2016.

Ketimpangan

Kesetaraan ekonomi dan solidaritas sosial tampak masih jauh dari perwujudannya. Seiring pertumbuhan di atas, ketimpangan pendapatan masyarakat sebagaimana digambarkan dengan rasio gini semakin meningkat. Pada 2009 rasio gini sebesar 0,37 meningkat menjadi 0,38 pada 2010, dan menjadi 0,41 pada 2011. Rasio gini 0,41 menunjukkan bahwa 1 persen penduduk menguasai hingga 41 persen total kekayaan di Indonesia. Pertumbuhan dan pendapatan per kapita yang makin meningkat ternyata tidak diiringi pemerataan kesejahteraan.

Data Lembaga Penjamin Simpanan tahun 2012 menunjukkan 51 persen dari total deposito perbankan senilai Rp 1.700 triliun dimiliki 0,13 persen nasabah. Data dari Bahan Pertanahan Nasional tahun 2010 memperlihatkan bahwa mayoritas aset negara dalam bentuk tanah dikuasai 0,2 persen penduduk. Petani gurem bertambah. Dari Sensus 1993 dan sensus terbaru 2003, jumlah rumah tangga petani kecil beranjak dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta pada 2003. Kesenjangan dalam kepemilikan tanah, bangunan, saham, serta kesenjangan pendidikan dan kesehatan ternyata tetap tinggi.

Tidak cukup bagi Presiden Yudhoyono menyerukan konsep pembangunan inklusif itu pada dunia, tanpa lebih dahulu mewujudkannya di negerinya sendiri. Laporan Forbes 2012, misalnya, memperkirakan harta 40 orang terkaya di Indonesia mencapai Rp 850 triliun atau setara dengan 60 persen APBN 2012.

Perlu politik ekonomi yang adil dan solider untuk menjembatani kesenjangan kesejahteraan yang terjadi pula antara masyarakat Indonesia di kawasan timur dan barat yang kian hari kian melebar. Produk domestik regional bruto antara kawasan Indonesia barat dan timur tumbuh terbalik. Penguasaan dan eksploitasi sumber daya alam di bagian timur Indonesia oleh segelintir pemodal tidak memberikan kesejahteraan kepada rakyat.

Pemerintah memang berusaha menjembatani jurang kesenjangan sosial-ekonomis itu dengan janji menciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah orang miskin. Pemerintah menetapkan target menciptakan lapangan kerja bagi satu juta orang pada 2013. Menurut Menko Kesra Agung Laksono, angka kemiskinan Indonesia pada 2004 mencapai 17,9 persen, namun pada Maret 2012 turun menjadi 11,9 persen. Pemerintah menargetkan angka kemiskinan pada 2014 hanya sebesar 7,5 persen atau 8 persen.

Semua hitungan dan target bisa saja menghibur jika benar. Namun tanpa distribusi aset ekonomi yang merata, pertumbuhan hanya akan terkapitalisasi pada kantong pemodal. Aset ekonomi seperti lahan pertanian dan hutan kian dikuasai pemodal. Tanpa keadilan ekonomi rakyat miskin kian terpinggirkan.

Pada masa kejayaan Orde Baru, mantan Presiden Soeharto sering berbicara tentang “kue pembangunan”. Dalam teori itu rakyat miskin dihibur tentang akan datangnya masa kesejahteraan ketika “kue pembangunan” itu akan dibagikan. Pembangunan ekonomi di zaman itu digambarkan akan mencapai periode “tinggal landas”. Namun sejarah mencatat kue itu akhirnya hanya dimakan segelitir keluarga dan kroni di sekitarnya. Ekonomi pun hanya membawa segelintir orang “lepas landas” bergelimang kekayaan karena korupsi dan nepotisme sedangkan kebanyakan rakyat kecil tetap tinggal di landasan kemiskinan.

Di masa kini pembangunan ekonomi dikiaskan seperti membangun anak tangga. Pembangunan oleh pemerintah digambarkan bagaikan meletakkan batu bata untuk mencapai ketinggian tertentu. Ketinggian itu misalnya diukur melalui tingkat pertumbuhan dan pendapatan per kapita. Konsep pembangunan yang demikian membawa bangsa ini menghadapi persoalan yang sama seperti di masa lalu. Pertanyaan etis yang diajukan selalu berkaitan soal siapa yang bisa menaiki anak tangga pertumbuhan dan siapa menikmati tingginya pendapatan per kapita itu?

Ekonomi yang dilepaskan dari nilai-nilai etis-religius hanya akan mereduksi manusia dalam dimensi materialnya. Nilai yang dimutlakkan hanya keuntungan diri tanpa solidaritas. Penumpukan kekayaan atas biaya dan penderitaan mereka yang kecil dan tak berdaya, dalam semangat Natal, seharusnya menjadi sebuah skandal kemanusiaan yang memalukan (bdk., Compendio della Dottrina Sociale della Chiesa, 2005: 204).

Dalam peristiwa Natal manusia diangkat dan dipulihkan martabatnya yang mulia sebagai “gambaran” atau pantulan kebesaran Allah sendiri. Manusia dalam terang itu tidak dapat direduksi menjadi sekadar barang ekonomis. Pembangunan ekonomi seharusnya berkiblat melayani manusia yang oleh kemiskinan dan penderitaan direndahkan martabatnya. Hendaknya pembangunan bangsa tidak meminggirkan masyarakat kecil hanya sebagai penonton.

Penumpukan kekayaan hanya pada segelintir orang merupakan pembiaraan kekerasan terhadap mereka yang kecil dan pengingkaran terhadap kesetaraan sosial. Padahal kesetaraan dan solidaritas terhadap mereka yang lemah-miskin merupakan nilai-nilai etis-religius yang menjadi jiwa sebuah masyarakat bermartabat. Begitu pula kebijakan ekonomi yang hanya mengandalkan pertumbuhan dan pendapatan per kapita mereduksi pembangunan hanya pada angkaangka tanpa menghitung ongkos penderitaan manusia di balik angka-angka itu.

Dalam peristiwa Natal diperlihatkan solidaritas dan keberpihakan Allah yang nyata bagi manusia lemah dan terpinggirkan. Keberpihakan dan solidaritas itu menjadi panggilan etis bagi negeri ini agar menegakkan kesetaraan kemakmuran bagi seluruh rakyat dan bukan hanya bagi segelintir orang.
Suara Pembaruan, 22 Desember 2012
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger