Ketua Komisi
Hubungan Antaragama &
Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang
Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang
Umat kristiani
diundang untuk merayakan Natal dalam semangat liberasi dan pemerdekaan.
Semangat liberasi Natal hanya dapat tampak dalam konteks perjuangan hidup-mati
demi keadilan dan kesejahteraan hidup bersama. Maka, segala bentuk perayaan
Natal mesti menjadikan "pesta pora" dan "nyanyian pujian"
bukan sekadar ungkapan iman dan cinta bakti kepada Allah, melainkan juga kepada
sesama. Perayaan menjadi saat istimewa kekuatan dan kegembiraan untuk
membangkitkan kesadaran akan perwujudan iman. Dalam konteks ini adalah iman
dalam cinta kasih kepada sesama terutama yang miskin, tertindas, terasing,
sakit, kelaparan, kehausan, telanjang, tunawisma, dan terpenjara ketidakadilan.
Dalam semangat
liberasi itulah, manusia harus memaknai peristiwa Natal secara horizontal,
menyentuh kehidupan sosial politik sezaman. Maksud dan tujuan utama kelahiran
Yesus adalah mengaruniakan dan menyatakan kasih Allah yang begitu besar kepada
manusia dan melepaskannya dari kuasa dosa dan kejahatan. Dengan begitu, manusia
tidak binasa, melainkan memperoleh kehidupan yang adil dan sejahtera (Yohanes
3:16).
Berkat kelahiran
Yesus, manusia disadarkan memiliki Allah yang mengambil perjuangan dari kaum
miskin sebagai perjuangan-Nya sendiri. Dalam sosok Yesus, Allah hadir dan
menyelenggarakan perjuangan melawan kesombongan, para penguasa korup,
keserakahan, dan ketamakan. Pilihan Itulah sebabnya, sejak kelahiran- Nya di
Bumi, Yesus tidak memilih menjadi bagian dari sistem kekuasaan yang menindas,
melainkan menjadi bagian dari rakyat yang tertindas.
Pilihan ini tampak
dalam kisah kelahiran- Nya sebagaimana direnungkan Lukas. Dia lahir dalam
kondisi sosial politik yang mencekam, saat kedua orang tua-Nya bersama rakyat
sezaman harus mengungsi dari Nazareth di Galilea ke Betlehem di Yudea. Itu
karena perintah paksa untuk sensus penduduk oleh penjajah Romawi ( Kaisar
Agustus) demi penarikan pajak.
Dalam kondisi
"ketertindasan" itulah Yesus lahir, dibungkus dalam kain lampin
(gombal rusak) dan dibaringkan di palungan, tempat makanan ternak (Lukas
2:1-7)! Persis itulah aspek liberasi Natal yang di kemudian hari dihidupi Yesus
dalam mengembangkan dan memperjuangkan pilihan-Nya untuk membela kaum miskin,
tertindas, termarjinalisasi oleh sistem kekuasaan yang korup dan tidak adil.
Semangat liberasi Natal membawa manusia bersentuhan dengan Yesus Kristus: yang
lahir di tempat tidak selayaknya, yang menyembuhkan orang sakit, dan memberi
makan orang banyak. Dia juga Yesus yang melenyapkan stigma sosial religius
marjinal (sakit, lepra, dosa).
Yesus juga menjadi
ancaman bagi status quo kekuasaan Herodes. Dia dihujat dan dibelenggu dalam
hukum yang tidak adil. Dia juga menjadi korban fanatisme agama dan oportunisme
politis. Dia akhirnya mati mengenaskan di kayu salib. Semangat memerdekakan itu
menampilkan aspek manusiawi Yesus Kristus yang menunjukkan kepada manusia
akar-akar tersembunyi dehumanisasi.
Dengan semangat
liberasi, sejak kelahiran-Nya Yesus Kristus hadir untuk membebaskan manusia
dari kemiskinan yang dipaksakan, sebagai buah dosa kekuasaan korup serta
permainan uang yang mencekik dan memperbudak. Sekarang pun, situasi dunia dan
masyarakat ditandai kemiskinan, kekerasan, dan kehadiran para penguasa serta
elite politik yang korup dari pusat hingga daerah. Korupsi, kolusi, dan
nepotisme menjadi bagian dari sistem kekuasaan yang korup dan tidak berpihak
pada kepentingan rakyat.
Dalam situasi ini,
bagaimanakah manusia menggemakan kembali dan memperjuangkan semangat liberasi
Natal? Natal harus dapat membangun kesadaran bahwa cinta bakti kepada Allah
dalam Yesus Kristus diwujudkan terhadap sesama, utamanya mereka yang kecil,
lemah, miskin, tersingkir, dan difabel.
Sikap hidup beriman
tidak hanya merupakan gerak vertikal, tetapi juga horizontal. Yesus sendiri
menegaskan, "Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, budimu dan
jiwamu dan kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri" (Matius 12:37-39).
Dalam konteks ini, perlu dipertimbangkan segala bentuk perayaan Natal yang
memberi tempat bagi kasih dan perhatian kepada sesama! Itu berarti, dalam
merayakan kelahiran Yesus Kristus, umat kristiani ditantang untuk menjadi saksi
tentang hidup penuh keberanian dan harapan dengan mengupayakan perbaikan hidup
bersama.
Mereka perlu
menggalang kesetiakawanan di antara semua anak bangsa guna menciptakan budaya
damai dan rekonsiliasi demi kesembuhan lukaluka bangsa. Orang kristiani memberi
bantuan korban kekerasan dan ketidakadilan, hindari mementingkan kelompok
sendiri. Orang kristiani juga harus peka terhadap keadaan sekitar yang
memerlukan kepedulian, jangan boros, hidup terlalu mewah. Perayaan Natal sekonteks
dengan kenyaaan sosial kemasyarakatan yang tengah dilanda krisis
multidimensional tiada henti. Natal tahun 2012 ini diwarnai luka perasaan
karena banyak tindakan kekerasan intoleran di berbagai tempat.
Banyak yang merasa
bahwa pemulihan ekonomi masih jauh dari memadai, penegakan hukum mandek,
demokrasi hanya demi kepentingan sesaat dan nafsu tamak pada harta dan kuasa,
otonomi daerah tidak dilaksanakan dengan tepat, sehingga kesejahteraan bangsa
terganggu. Korupsi kian merajalela. Di sana-sini muncul perilaku diskriminatif
dengan membiarkan berbagai tindakan intoleran. Kelambanan dalam membela kaum
minoritas dan tenaga kerja yang teraniaya. Di samping itu, pelayanan kesehatan
semakin kurang. Berbagai penyakit sosial tak ditanggulangi, seperti
penyalahgunaan narkotika serta perdagangan wanita.
Sementara,
kehidupan politik dan ekonomi, yang seharusnya menyejahterakan rakyat,
cenderung menjadi tempat perebutan kekuasaan dan uang. Dengan demikian,
penderitaan rakyat kecil masih meluas. Dalam konteks itulah aktualisasi
semangat liberasi Natal semakin tak dapat ditunda! Setiap manusia diundang
mewujudkan dalam kehidupan bersama secara horizontal. Selamat Natal.
Sumber: Koran
Jakarta, 24 Desember 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!