Wakil Menteri Hukum
dan HAM;
Guru Besar Hukum
Tata Negara UGM
Waktu terus
bergulir, tanpa berhenti, 2012 berakhir, 2013 hadir. Selamat tahun baru
Indonesiaku. Kami akan terus bersamamu, dulu, sekarang, dan hingga akhir hayat
meregang di ujung pengabdian.
Tahun 2012 telah
menjadi masa lalu, 2013 menjadi masa kini, dan 2014 akan menjadi masa depan
terdekat, di hadapan mata kita. Pemilu 2014 pastilah menjadi agenda politik
terhangat yang harus kita persiapkan sebaik mungkin, baik pemilu
legislatif,apalagi pemilu presidennya. Pasca-Oktober 2014, kita memiliki
presiden baru karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak mungkin lagi
mencalonkan diri setelah dua periode memimpin Indonesia.
Aturan konstitusi
kita, pascaperubahan, telah melarang seseorang menjabat sebagai presiden lebih
dari dua periode. Ya, aturan konstitusi kita lebih baik. Lebih sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar demokrasi, termasuk soal pembatasan kekuasaan. Jelaslah
kita tidak berjalan di tempat sebagaimana dikatakan salah satu narasumber
diskusi di Yogyakarta minggu lalu. Kita malah telah maju ke depan, ke arah
negara yang lebih demokratis. Tapi demokrasi tentu saja tidak selalu datang
hanya dengan peluang.Tidak jarang demokrasi hadir dengan tantangan, yang tidak
ringan. Salah satu tantangannya adalah bagaimana menciptakan ketertiban dan
kestabilan dalam iklim yang demokratis.
Demokrasi membuka
ruang berbeda pendapat lebih lebar, lebih luas. Karenanya, setiap kita bebas
berbicara menyampaikan pandangan, yang sangat kritis sekalipun. Tapi, bukan
berarti kita diizinkan mengkritik semaunya, apalagi yang sifatnya fitnah dan
mencemarkan nama baik orang lain. Kebebasan tetap ada batasnya. Bahkan dalam
demokrasi yang sehat, pembatasan kebebasan adalah juga keniscayaan.
Agar kebebasan
tidak lepas kendali, agar kebebasan tidak justru dimanfaatkan untuk merusak
demokrasi itu sendiri, kebebasan pun diatur dengan regulasi, yang menjamin
kebebasan dan menjaganya sekaligus dari pelanggaran hukum. Di 2013, regulasi
tentang pemilu akan menyita perhatian, tenaga, dan pikiran kita. Aturan tentang
penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) serta UU mengenai pemilu legislatif
relatif sudah selesai disiapkan, salah satunya perihal syarat memiliki kursi di
DPR (parliamentary threshold) yang naik menjadi 3,5%.
KPU tinggal
menyiapkan aturan teknis yang lebih terperinci dan Januari ini dimulai dengan
pengumuman partai-partai yang akan ikut menjadi peserta Pemilu Legislatif
(Pileg) 2014. Awalnya saya gembira karena partai yang ikut verifikasi faktual
hanya 16 partai. Tapi dengan putusan DKPP,seluruh parpol yang dinyatakan tidak
lulus verifikasi administrasi akhirnya juga mengikuti verifikasi faktual.
Kendati demikian, saya tetap optimistis, parpol peserta Pileg 2014 tetap lebih
sedikit daripada Pileg 2009.
Satu dan lain hal
karena syarat parpol peserta pileg sudah semakin ketat. Saya juga optimistis,
parpol yang akan memiliki kursi di DPR akan lebih sedikit. Di tahun 2004 ada
17,menurun menjadi 9 parpol di tahun 2009,dan akan lebih turun lagi di tahun
2014—salah satunya karena parliamentary threshold yang lebih tinggi. Ya, sistem
kepartaian kita menuju ke arah penyederhanaan. Meskipun dengan cara yang
bertahap, hal itu lebih demokratis, yang ditentukan oleh rakyat melalui pileg.
Sangat berbeda memang dengan cara cepat Orde Baru yang langsung membatasi
parpol peserta pemilu hanya tiga, melalui UU Parpol.
Saya pun sedang
berdoa agar pilpres kita juga akan lebih baik. Pilpres 2014 adalah pemilihan
langsung presiden yang ketiga kalinya setelah di tahun 2004 dan 2009. Saya
yakin, kita sudah makin banyak belajar dan mampu untuk meningkatkan kualitas
Pilpres 2014. Faktor penentu kesuksesan itu tidak hanya KPU dan Bawaslu selaku
penyelenggara, tetapi juga kesiapan parpol peserta pileg serta para pasangan
capres—dan yang tidak kalah pentingnya adalah kita sendiri, para pemilih dan seluruh
pemangku kepentingannya, utamanya: media massa, LSM, perguruan tinggi, dan
tokoh masyarakat lainnya.
Saya meyakini, kita
sudah lebih belajar dalam melakukan pemilu demokratis sejak tahun 1999, 2004,
dan 2009. Tentu masih ada kekurangan penyelenggaraan, baik yang sifatnya formal
maupun substansial. Namun, kita harus optimistis dari waktu ke waktu, bangsa
ini makin paham dan mengerti. Saya juga meyakini pemilihan kepala daerah secara
langsung juga memberi dampak positif, di samping negatif.
Dampak negatifnya,
pastinya adalah makin maraknya money politicsyang berujung pada banyaknya
kepala daerah terjerat korupsi karena harus membayar kembali biaya politik yang
telah dikeluarkannya.Namun, dampak positifnya adalah percepatan pendidikan
politik kepemiluan bagi seluruh masyarakat, utamanya para pemilih. Ambil contoh
Pilkada DKI Jakarta.Saya melihat kualitasnya meningkat, Pilkada 2012 lebih baik
dibandingkan lima tahun sebelumnya.
Yang paling
terlihat adalah pasangan cagub yang hanya dua di tahun 2007 menjadi 6 pasangan
cagub di tahun 2012 dengan kualitas kontestan yang juga membaik. Saya menunggu
dengan optimistis Pilgub Jabar,Jateng, serta Jatim yang tahun ini akan
berlangsung. Dengan keyakinan itu, saya menatap tahun 2013 dan 2014 dengan
optimisme meski,mudah diprediksi,tahun 2013 dan 2014 adalah tahun politik
pemilu. Itu artinya, politik hukum 2013 dan 2014 akan diwarnai dengan politik
kepemiluan.
Setelah agenda
penentuan peserta Pileg 2013 diumumkan pada bulan Januari, DPR akan diramaikan
dengan pembahasan perubahan UU Pilpres. Salah satu yang akan menjadi topik
perdebatan adalah soal ambang batas syarat capres (presidential threshold).
Pasti akan ada aspirasi untuk menurunkan ketatnya syarat pencapresan,utamanya
presidential threshold. Kita ingat syarat capres pernah tidak ketat secara
fisik, tidak ketat terkait persoalan hukum, tidak tinggi terkait syarat
pendidikan, serta tidak tinggi terkait suara parpol yang mencalonkan. Semuanya
untuk mewadahi para kandidat capres di Pilpres 2004.
Hal demikian
seharusnya tidak lagi mewarnai perumusan syarat capres 2014. Bagaimanapun, kita
harus menyusun peraturan yang berjangka panjang, mengantisipasi keadaan jauh ke
depan, dan bukan alasan pragmatis politik jangka pendek. Maka, saya lebih
sependapat agar syarat capres tidak diubah, apalagi terkait presidential
threshold meskipun itu berarti hanya akan ada maksimal 4 capres di tahun 2014.
Yang lebih perlu didorong adalah agar parpol atau koalisinya memilih capres
terbaik bagi bangsa ini.
Maka, ketimbang
menghabiskan tenaga dengan mengubah syarat capres, lebih baik kita mendorong
parpol 2013 mengajukan capres terbaik— yang bukan berdasarkan transaksi
politik, apalagi yang sifatnya koruptif. Sekali lagi, mari kita dorong capres
dengan rekam jejak terbaik. Yang mempunyai kapasitas- intelektual,
integritas-moral, di samping tingkat elektabilitasnya yang tinggi. Jika calon
terbaik dengan kapasitas dan integritas itu masih rendah popularitasnya, adalah
kewajiban parpol pengusung dan seluruh pemangku kepentingan –utamanya
media— untuk segera menyosialisasikannya kepada khalayak pemilih.
Dalam hal ini media
televisi menjadi penting kontribusinya. Jangan sampai capres kita populer dan
menang hanya karena mempunyai akses lebih kepada televisi. Maka, aturan tentang
keberagaman pemilik media (diversity of ownership) dan keberagaman isi berita
(diversity of content) menjadi sangat krusial untuk diperbaiki. Kita harus
pastikan pemenang Pileg dan Pilpres 2014 adalah rakyat dan bangsa Indonesia,
bukan yang lain. Kekayaan dan ketenaran saja tidak boleh menang tanpa
dilengkapi kapasitas dan integritas, demi Indonesia yang lebih baik.Selamat
Tahun Baru 2013. Keep on fighting for the better Indonesia.
Sumber: Seputar
Indonesia, 1 Januari 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!