Guru Besar Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia
Wali Kota Lhokseumawe, Aceh, Suaidi Yahya tetap memberlakukan ketentuan dalang burem (dilarang ngangkang buat perempuan) di wilayah kekuasaannya. Semua tomas (tokoh masyarakat) dan togam (tokoh agama) serta eksponen pemda dan DPRD tidak ada yang keberatan karena alasannya untuk mempertahankan tradisi dan syariat Islam.
Padahal Cut Nyak
Dien menunggang kuda dengan ngangkang, sementara Ratu Elizabeth II (yang
sekarang sudah sepuh tetapi masih bertakhta), sebagai panglima satuan berkuda,
setiap kali melakukan inspeksi pada pasukan berkudanya justru selalu menunggang
kuda dengan garing (gaya miring). Padahal RE II bukan keturunan Aceh dan
tergolong kafir pula. Di sisi lain, walaupun dalang burem sudah resmi
diberlakukan di Lhokseumawe sejak 7 Januari 2013 yang lalu, di jalanan para
pemudi dan ibui-bu tetap saja dengan gaya mapan (madep ke depan).
Padahal mereka Aceh
tulen dan muslimah sejati (berjilbab). Ketika ditanya di layar TV, jawab mereka
karena lebih nyaman atau demi keselamatan atau karena membawa anak atau barang
atau apa salahnya? Kan di Alquran atau hadis pun tidak ada larangan. Bahkan
Kementerian Dalam Negeri merasa tergugah untuk mengevaluasi surat edaran Wali
Kota tentang dalang burem yang kontroversial tersebut.
Konon cuma para PNS
perempuan di kota itu yang membonceng motor dengan garing. Itu pun kalau mereka
pakai rok panjang yang ketat (daripada roknya robek). Wali Kota sendiri tidak
pernah memberi jawaban yang argumentatif (dengan alasan yang masuk akal), misalnya
dengan memaparkan data kecelakaan lalu lintas bahwa membonceng garing sama
amannya dengan membonceng mapan atau malah mungkin garing lebih aman. Juga
tidak ada hadis-hadis tentang Siti Aisyah, misalnya, yang naik unta dengan
garing. Yang ada cuma pokoknya. Pokoknya gaya miring. Titik.
Nah, kalau sudah
gaya pokoknya ini, mulai ada yang harus dipertanyakan. Ada motivasi apa di
balik “pemaksaan” itu? Sejumlah milis feminis di dunia virtual mulai menuding
adanya diskriminasi gender. Perempuan selalu jadi korban. Kalau ada sweeping
resmi oleh Satpol PP maupun yang ilegal oleh FPI (Forum Pen-sweeping
Indonesia), di warung remang-remang maupun di losmen-losmen terang-benderang,
selalu saja yang ditangkapi para perempuan. Kalau ada KDRT yang disalahkan juga
perempuan.
Tidak nurut kepada
suami, padahal suami adalah imam keluarga, termasuk suami PTS (pemabuk dan
tukang selingkuh). Kalau ada perempuan diperkosa, yang salah adalah perempuan
juga. Memakai baju yang mengundang selera laki-laki (walaupun si korban berjilbab)
atau pura-pura saja diperkosa, padahal suka-samasuka atau perempuannya kurang
beriman atau kurang pendidikan agama.
Ke depan, korban
pemerkosaan dijauhi masyarakat, dianggap menjijikkan, bekas orang, dan
seterusnya. Begitulah kira-kira pendapat teman-teman saya yang pembela
perempuan. Tapi, lebih dari itu, beberapa teman peneliti masalah radikalisme
Islam merasa lebih khawatir lagi. Jangan-jangan ini adalah salah satu bagian
dari proses Talibanisasi masyarakat Indonesia.
“Saya tertegun
karena saya banyak membaca dan melihat di CNN, ketika Taliban berkuasa di
Afghanistan, laki-laki yang tidak berjanggut atau perempuan yang kedapatan
berjalan sendirian di tengah kota, tanpa ditemani oleh muhrimnya, walaupun di
siang hari bolong, bisa digantung sampai mati begitu saja.” Astagfirullah,
tidak mungkinlah sampai begitu, kata saya membantah teman itu. Tapi teman saya
itu bersikukuh, “Nanti dulu”, katanya, “jangan buru-buru diingkari.”
Penelitian LaKIP
(Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian) tahun 2011 menunjukkan bahwa 48,9% siswa
dan 28,2% guru pendidikan agama Islam di SMP dan SMA menyatakan bersedia
terlibat dalam aksi kekerasan terkait agama dan moral. Beberapa pelaku bom
bunuh diri adalah pelajar-pelajar SLTA yang entah bagaimana menjadi radikal.
Dalam kasus
Cikeusik, minoritas Ahmadiyah jadi korban, di Sampang Madura, minoritas Syiah
tewas di tangan mayoritas Sunni Madura, yang penganut ahlussunnah waljamaah
yang sejak zaman dulu kala cinta damai kepada semua golongan. Di Bogor dan
Bekasi, umat Kristen tidak bisa beribadah di gereja milik mereka sendiri; dan
seterusnya. Teman saya yang jadi wakil dekan III urusan kemahasiswaan
mengatakan bahwa hampir semua pengurus BEM di kampusnya sudah dikuasai oleh
mahasiswa aktivis dari kelompok radikal.
Bahkan ketika saya
mengikuti sebuah rapat tentang penanggulangan terorisme, ada yang melaporkan
bahwa revisi UU No 15/2003 tentang Antiterorisme sulit sekali karena ideologi
radikal sudah menyusup juga ke sebagian anggota legislatif. Dalam
revisi/pembuatan UU, satu orang saja tidak setuju pada suatu konsep, prosesnya
bisa berlarut-larut sampai akhirnya terjadi voting. Kalau hal ini terjadi
berkali-kali dan berkali-kali, sampai Lebaran kuda pun revisi UU itu belum
tentu jadi.
Namun, itu belum
apa-apa. Saya makin kaget lagi ketika pada Minggu, 6 Januari 2013 lalu, saya
mendapat undangan lewat SMS untuk menghadiri peluncuran buku karangan Abu Bakar
Baasyir di TMII yang berjudul Tadzkiroh (Peringatan dan Nasihat karena Allah)
kepada Ketua MPR/DPR dan Semua Anggotanya yang Mengaku Muslim & Aparat
Thaghut NKRI di Bidang Hukum dan Pertahanan yang Mengaku Muslim.
Saya tidak hadir
pada acara bedah buku itu karena hari Minggu, kalau tidak penting sekali, saya
pilih main-main sama cucu-cucu saya, tidur atau cari makan enak. Tapi dari
cerita yang hadir dan dari resensi yang saya baca, isi buku itu adalah semacam
fatwa yang mengafirkan para pejabat pemerintah dan aparat penegak hukum RI dan
mengarah pada permusuhan.
Kalau dibiarkan,
paham yang disebarkan dari buku ini merupakan ancaman terhadap integrasi bangsa
dan harmonisasi sosial, bahkan bisa mengancam eksistensi bangsa. Anehnya,
pertemuan seperti itu dan buku sejenis itu, yang jelas-jelas memusuhi
pemerintah, bahkan bisa mengancam eksistensi NKRI, kok dibiarkan saja oleh
petugas. Polisi memberikan izin pertemuan dan kejaksaan tidak membredel
(mencabut dari peredaran) buku yang kontroversial itu?
Saya melihat foto
yang memperlihatkan Abu Bakar Baasyir, yang berstatus narapidana 15 tahun, di
Penjara Nusa Kambangan, sedang menerima kunjungan beberapa puluh umatnya, duduk
lesehan di lantai lapas sambil salah satu di antara pengunjung itu mengacungkan
buku Tadzkiroh yang berwarna hijau itu. Bagaimana bisa pengurus lapas
membolehkan narapidana ABB menerima tamu seperti sebuah majelis taklim?
Mudah-mudahan
kecemasan teman saya itu, yang juga menjadikan saya khawatir setengah mati,
tidak terlalu benar. Kebanyakan ulama Indonesia main stream adalah ulama-ulama
moderat. Merekalah yang akan mengawal Islam Indonesia yang damai dan inklusif.
Sayangnya kaum moderat ini, meskipun mayoritas, tidak vokal, lebih banyak diam
daripada cari ribut, apalagi repot-repot mengadakan counter program.
Sebaliknya para
radikalis, walaupun jumlahnya sedikit, mereka vokal dan militan. Mereka mau menemani
rekan-rekannya ngobrol di musala sampai larut malam, sampai teman-teman itu
lambat laun percaya pada ajaran radikalnya. Sementara guru-guru agama atau
ustaz-ustaz sudah bobok di pelukan istri masing-masing.
Akhirnya marilah
kita berdoa bahwa tidak ada hubungannya antara dalang burem dengan radikalisasi
bangsa dan agar bangsa Indonesia tetap berada dalam naungan Pancasila,
khususnya Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sumber: Seputar
Indonesia, 13 Januari 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!