Headlines News :
Home » » Natalius Pigai: Mengintip Kesibukan Pembela HAM

Natalius Pigai: Mengintip Kesibukan Pembela HAM

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, January 02, 2013 | 1:33 PM


Kijang Innova hitam berhenti di depan Stasiun Universitas Indonesia, Depok. Stasiun kereta itu masih berada di area kampus negeri itu. Begitu mobil berhenti, tiga orang pria dengan sigap keluar.

Satu dari tiga orang itu adalah Natalius Pigai, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Ia membidangi Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Pelanggaran HAM. Bersama dua stafnya, Pigai berjalan cepat ke arah stasiun.

Pria asal Papua itu melirik ke arah ratusan orang yang sedang unjuk rasa di depan pintu masuk Stasiun UI. Pigai juga masih sempat melambaikan tangan, sebelum masuk stasiun.

“Di mana ruang kerja Kepala Stasiun UI ini? Kami dari Komnas HAM ingin bertemu terkait aksi unjuk rasa yang sedang terjadi,” kata Pigai kepada petugas keamanan stasiun yang berdiri di depan loket pintu masuk.

Tanpa banyak bertanya, petugas itu langsung mengantarkan Pigai. Dikawal petugas kepolisian yang memang sedang berjaga di stasiun, Pigai diajak berjalan ke arah kanan menuju ruang kerja Kepala Stasiun UI, Darmawan.

Berbasa-basi sebentar, Pigai dan Darmawan terlibat rapat serius. Hampir satu jam, Pigai yang didampingi dua stafnya membahas masalah rencana PT Kereta Api Indonesia melakukan pembongkaran terhadap kios pedagang di Stasiun UI.

Dianggap menemui titik terang, rapat pun akhirnya selesai. Darmawan yang mengenakan seragam dinas berwarna biru laut ikut meninggalkan ruangan bersama anggota Komnas HAM. Keduanya mendatangi para demonstran yang terdiri dari mahasiswa UI dan para pedagang kaki lima (PKL).

Layaknya demonstran, Pigai lalu mengambil alih gagang megaphone (pengeras suara) untuk melakukan berorasi.

Dengan nada suara yang sedikit tinggi, Pigai sesekali menyatakan dukungannya terhadap para PKL yang terampas hak-haknya untuk berjualan.

“Pada intinya, kami sangat prihatin dengan masalah yang me­nimpa para pedagang di sini. Saya dari Komnas HAM berada di barisan kalian untuk melawan ketidakadilan ini,” ujar Pigai.

Kepada massa, dia menyampaikan sudah mencoba mengontak Direktur Utama (Dirut) PT KAI untuk menengahi persoalan penggusuran ini.

“Sejak tanggal 11 Desember lalu telepon saya cuma diangkat satu kali oleh Dirut PT KAI Ignasius Jonan,” tambahnya.

Tak hanya itu, di hadapan para demonstran, Pigai yang mengenakan batik merah tangan panjang ini mengungkapkan juga sudah mengirim surat pada pim­pinan PT KAI melalui Daops I. Sayangnya, surat tersebut tidak dijawab, baik secara lisan maupun tertulis.

“Jika begini terus dan kalau sampai terjadi penggusuran, PT KAI bisa kena dua pasal. Pasal kriminalisasi dan penyerobotan hak,” kata Pigai dengan suara tinggi.

Sekitar 15 menit, Pigai berorasi dihadapan para demonstran. Selanjutnya gantian Darmawan yang berbicara dengan para demonstran. Darmawan mengatakan pihaknya memberikan waktu sampai Kamis, 3 Januari 2013 kepada para pedagang untuk menggosongkan kios di area stasiun.

Orasi pun selesai. Darmawan memilih meninggalkan stasiun dengan menggunakan KRL commuter line. Dia mengaku akan pergi ke kantor Daops I guna membawa masalah tersebut.

Beda dengan Pigai, pria yang terpilih sebagai anggota Komnas HAM Oktober lalu ini memilih bertahan sebentar di lokasi unjuk rasa. “Saya ingin mendengar sekaligus memberikan motivasi pada para PKL ini,” jelasnya.

“Lihat saja, para PKL ini sudah mulai kehilangan harapan. Makanya saya akan memberikan motivasi bahwa harapan itu tetap ada,” tambahnya.

Menurut Pigai, pihaknya sudah beberapa kali menengahi persoalan penggurusan para PKL di stasiun. Jumat lalu (28/12) dirinya menemui para PKL di Stasiun Lenteng Agung. Siang sebelumnya mereka digusur dari area stasiun.

“Komnas HAM sangat menye­salkan kejadian tersebut. Penggusuran itu dilakukan tanpa dialog dan solusi. Ini bisa masuk kategori pelanggaran HAM, makanya kami akan bela pedagang ini,” ujarnya.

Kenapa Komnas HAM membela PKL? Kata dia, Komisi ini dibentuk untuk memperjuangkan nasib orang atau kelompok yang hak-haknya dirampas. Biasanya, mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM itu berasal dari kalangan kecil.

Karena itu, dirinya tidak takut kedekatannya dengan para PKL bakal dianggap Komnas HAM telah berpihak. “Kami berpihak pada konflik yang menimpa masyarakat biasa dengan penguasa. Masyarakat itu perlu ditolong, makanya Komnas HAM berpi­hak pada mereka,” tegasnya.

Kecuali, lanjutnya, bila konflik yang terjadi itu pada level yang sama. Misalnya dalam pembangunan jalur kereta, PT KAI dan pihak Kementerian Pekerjaan Umum berseteru soal peran dan kewenangan.

“Karena levelnya seimbang, tentunya kami akan bersifat im­parsial alias di tengah-tengah. Tapi kalau penguasa dengan rakyat, kami memihak pada rakyat,” katanya.

Pigai mengatakan, ada empat alasan yang membuat Komnas HAM sangat ingin memanggil Dirut PT KAI Ignasius Jonan. Pertama, penggusuran dilakukan tanpa adanya sosialisasi terlebih dahulu.

Kedua, sambungnya, telah terjadi kriminalisasi terhadap PKL saat pembongkaran kios pada dua stasiun sebelumnya, Depok Baru dan Lenteng Agung. Kriminalisasi tersebut berupa tindakan fisik maupun psikis terhadap PKL.

Selanjutnya, kata dia, ada nilai kontrak sewa kios yang masih dipegang PKL untuk tetap bisa berjualan di stasiun hingga Maret 2013. Kontrak itu, menurut Pigai, berupa perjanjian sewa kios berkisar Rp 15 juta sampai Rp 25 juta per kios.

“Terakhir, kami menganggap PT KAI sangat tidak kooperatif dan responsif, baik pada PKL maupun Komnas HAM,” tegasnya.

Usai Mengadu, Pelapor Minta Ongkos Pulang

Baru menjabat tiga bulan sebagai anggota Komnas HAM, Natalius Pigai sudah banyak memperoleh pengalaman. Ada yang menyenangkan. Namun lebih banyak tidak senangnya.

“Dari dipuji, dimarah-marahi hingga mendapatkan ancaman dari pihak-pihak yang tidak senang akan kinerja kami,” ujar Ketua Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Pelanggaran HAM ini.

Pigai menuturkan, dirinya kerap dimarah-marahi ketika turun ke lapangan lantaran masyarakat tak paham mengenai tugas dan fungsi Komnas HAM. “Itu sering sekali terjadi,” katanya.

Ia menjelaskan, ketika terjadi peristiwa pelanggaran HAM pihaknya pasti akan turun. “Peran kami hanya melakukan investigasi dan penyelidikan, tentu hak untuk menindak sama sekali di luar kewenangan kami,” ujarnya.

Lantaran tidak bisa melakukan penindakan, masyarakat menganggap Komnas HAM tak melakukan apa-apa. Padahal, kata Pigai, pihaknya sudah memberikan rekomendasi. Hanya saja pihaknya tak bisa berbuat banyak bila rekomendasi itu tak digubris.

Akibatnya, banyak pihak pelapor yang tidak bisa puas terhadap Komnas HAM. “Makanya sering kami dimarah-marahi,” kata Pigai

Pria yang pernah bekerja di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi ini mendapat teror ketika menangani konflik di Poso. “Ada ancaman sampai pembunuhan dan sebagainya soal penanganan kasus Poso ini. Tapi saya tidak akan sebutkan, pihak mana yang melakukan itu,” terangnya.

Pengalaman menarik lainnya yang membuat pria berkepala plontos ini tak bisa melupakannya yakni ketika didatangi pelapor dari luar daerah. Kata Pigai, orang itu datang untuk melaporkan masalah ketenagakerjaan dan penggusuran.

“Saat itu saya baru menjabat sebagai Komnas HAM. Selama beberapa hari ada pelapor dari luar kota. Lucunya, setelah melapor mereka minta dibantu soal ongkos pulang,” ungkap Pigai.

Karena memang tidak ada dana untuk itu, Pigai yang merasa kasihan akhirnya merogoh kocek pribadi untuk ongkos balik pelapor tersebut. Meskipun enggan menyebutkan jumlahnya, Pigai menyebutkan tabungannya selama seminggu jadi terkuras.

Untuk itu, dia mengusulkan Sekjen Komnas HAM untuk menyediakan anggaran pelaporan. Anggaran tersebut, difungsikan untuk membantu akomodasi bagi korban pelanggaran HAM yang ingin melapor tapi terbentur masalah biaya.

“Banyak korban karena ma­salah biaya tidak bisa melaporkan kasusnya ke Komnas HAM. Meskipun laporan itu bisa melalui surat dan internet. Tetap saja, temu langsung itu jauh lebih baik,” ujarnya.
Tangani Pemukulan Tukang Ojek Sampai Penggusuran Rumah

Anggota Komnas HAM Natalius Pigai punya cara  memperoleh informasi akurat mengenai suatu persoalan. Yakni dengan terjun langsung ke lapangan saat kejadian.

Pigai —sapaan akrabnya—, sudah mempraktikkan cara ini sejak dipilih menjadi anggota Komnas HAM pada Oktober lalu. Dengan terjun langsung ke lapangan saat peristiwa berlangsung, dirinya juga bisa berperan sebagai mediator pihak-pihak yang “bersengketa”.

Ia mencontohkan, pada awal Desember lalu terjadi konflik antara warga Cilodong, Depok dengan Mabes TNI AU. Kedua pihak saling mengklaim sebagai pemilik sah lahan yang diperebutkan. Konflik fisik hampir terjadi ketika pihak TNI AU hendak menggusur perumahan warga yang dianggap berdiri di atas lahan milik TNI AU.

“Saya datang langsung ke sana, temui warga dan pihak TNI AU. Saya lakukan pendekatan persuasif. Hasilnya pihak TNI AU menunda eksekusi tersebut sampai ada putusan pengadilan,” jelasnya.

Kasus lainnya, lanjut Pigai, soal rencana PT KAI membongkar kios para pedagang kaki lima (PKL) di sejumlah stasiun yang menjadi jalur commuter line. Menurutnya, saat eksekusi baru akan dimulai merupakan waktu yang tepat untuk turun tangan.

“Kalau belum terjadi, Komnas HAM bisa menjadi mediator untuk melakukan negosiasi. Setidaknya, cara ini cukup melegakan para pedagang selama beberapa hari ke depan,” tuturnya.

Terkait pelanggaran HAM, pria asal Papua berjanji tidak akan ada tebang pilih. Dia berprinsip setiap pelanggaran HAM harus ditindaklanjuti tanpa mempedulikan kasus besar atau kecil.

“Semua kasus sama saja. Selama itu mengganggu sendi-sendi masyarakat atau perorangan terkait diterabasnya hak asasi oleh penguasa. Kami akan bergerak untuk itu,” tegasnya.

Dia mencontohkan, kasus pemukulan tukang ojek oleh aparat penegak hukum. Ketika mendapat laporan itu, lanjut Pigai, dirinya langsung turun ke lokasi dan melakukan inves­tigasi. “Ini bukti, terkait pelang­garan HAM yang menimpa orang atau kelompok, kami langsung terjun,” tegasnya.

“Kami Seperti Kiai Atau Pastor”

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM di sepanjang 2012 dinilai menurun dibanding tahun sebelumnya. Komnas HAM masih memiliki “utang” penuntasan sejumlah kasus. Di anta­ranya kasus Munir, Trisakti-Semanggi I & II dan Poso.

Pengacara sekaligus aktivis HAM, Todung Mulya Lubis mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan kinerja Komnas HAM sangat memprihatinkan. Pertama, sebagai lembaga yang dibentuk negara, Komnas HAM tidak memiliki gigi untuk bekerja.

“Ini terjadi karena Komnas HAM tidak punya kewenangan melakukan penyidikan. Makanya Komnas HAM menjadi tidak bergigi dan tidak berdaya,” tutur Todung.

Faktor lainnya, menurut Todung adalah anggaran Komnas HAM yang minim. Banyaknya kasus pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang tahun 2012, komisi itu hanya mendapat anggaran sekitar Rp 40 miliar.

Dengan anggaran segitu, Todung menilai keberadaan Komnas HAM saat ini seolah hanya sebagai pajangan. Keberadaannya tak lebih dari sekadar pencitraan luar negeri negara.

“Seolah Komnas HAM di­dirikan hanya sekadar menjawab kritik luar negeri terhadap banyaknya pelanggaran HAM,” ujar Todung.

Hal lain yang menghambat adalah kebijakan pemerintah yang tak memprioritaskan penuntasan pelanggaran HAM. Akhir-akhir ini, ucap Todung, pemerintah lebih fokus pada sektor peningkatan pertumbuhan ekonomi.

“Puja-puji luar negeri terhadap kuatnya ekonomi Indonesia membuat negara lupa, bahwa ada kasus HAM yang mesti segera diselesaikan,” ujarnya.

Wakil Ketua Komnas HAM Sandra Moniaga tidak menampik bila keberadaan lembaga yang dipimpinnya masih sangat lemah. Komnas HAM, kata dia, kerap menemui jalan buntu alias deadlock saat menyelesaikan kasus pelanggaran ham. Rekomendasi yang disampaikan institusinya, kerap diabaikan oleh instansi terkait.

“Dalam undang-undang HAM, secara teknis penyelesaian kasus, Komnas HAM hanya diberi kewenangan sebatas penyelidikan. Usai penyelidikan Komnas HAM hanya memiliki kewenangan memberikan rekomendasi,” jelasnya.

“Rekomendasi itu pun hanya sebatas imbauan kepada pihak terkait. Sekedar rekomendasi saja, tidak ada kewajiban dari pihak yang diberikan rekomendasi untuk menanggapi dan tidak ada sanksi apabila tidak menanggapi,” tambahnya.

Karena itu, saat ini pihaknya telah mengajukan revisi Un­dang-undang 39/1999 tentang HAM ke Badan Legislasi DPR. Revisi itu berisi pemisahan Komnas HAM itu dari undang-undang itu. Diharapkan Kom­nas HAM memiliki undang-undang sendiri. Selama ini, wewenang Komnas HAM yang tertuang di UU HAM kurang berjalan ketika berhadapan dengan sejumlah kasus.

Komnas HAM berharap diberikan kewenangan lebih, bukan hanya di tingkat penyelidikan dan imbauan saja. Bahkan, revisi tersebut juga mengatur soal kekuatan rekomendasi. Maksudnya, yakni mencakup batasan waktu rekomendasi dan kewenangan sebuah rekomendasi yang harus mengikat.

Sehingga rekomendasi tersebut dijalankan pihak yang di­beri rekomendasi, atau diberi sanksi bila tidak diindahkan. “Selama ini Komnas HAM kan hanya sebagai kiai atau pastor yang hanya memberikan ceramah dan imbauan di setiap rekomendasinya. Dijalankan syukur, nggak dijalankan, ya, gimana?” tuturnya.
Sumber: Rakyat Merdeka, 2 Januari 2013
Ket foto: Natalius Pigai (gbr 1) saat meninjau eksekusi rumah dinas di Kompleks TNI AU Dwikora, Selasa (04/12/2012) siang (gbr 2)
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger