Kijang Innova hitam berhenti di depan Stasiun
Universitas Indonesia, Depok. Stasiun kereta itu masih berada di area kampus
negeri itu. Begitu mobil berhenti, tiga orang pria dengan sigap keluar.
Satu dari tiga orang itu adalah Natalius
Pigai, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Ia membidangi
Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Pelanggaran HAM. Bersama dua stafnya, Pigai
berjalan cepat ke arah stasiun.
Pria asal Papua itu melirik ke arah ratusan
orang yang sedang unjuk rasa di depan pintu masuk Stasiun UI. Pigai juga masih
sempat melambaikan tangan, sebelum masuk stasiun.
“Di mana ruang kerja Kepala Stasiun UI ini?
Kami dari Komnas HAM ingin bertemu terkait aksi unjuk rasa yang sedang terjadi,”
kata Pigai kepada petugas keamanan stasiun yang berdiri di depan loket pintu
masuk.
Tanpa banyak bertanya, petugas itu langsung
mengantarkan Pigai. Dikawal petugas kepolisian yang memang sedang berjaga di
stasiun, Pigai diajak berjalan ke arah kanan menuju ruang kerja Kepala Stasiun
UI, Darmawan.
Berbasa-basi sebentar, Pigai dan Darmawan
terlibat rapat serius. Hampir satu jam, Pigai yang didampingi dua stafnya
membahas masalah rencana PT Kereta Api Indonesia melakukan pembongkaran
terhadap kios pedagang di Stasiun UI.
Dianggap menemui titik terang, rapat pun
akhirnya selesai. Darmawan yang mengenakan seragam dinas berwarna biru laut
ikut meninggalkan ruangan bersama anggota Komnas HAM. Keduanya mendatangi para
demonstran yang terdiri dari mahasiswa UI dan para pedagang kaki lima (PKL).
Layaknya demonstran, Pigai lalu mengambil
alih gagang megaphone (pengeras suara) untuk melakukan berorasi.
Dengan nada suara yang sedikit tinggi, Pigai
sesekali menyatakan dukungannya terhadap para PKL yang terampas hak-haknya
untuk berjualan.
“Pada intinya, kami sangat prihatin dengan
masalah yang menimpa para pedagang di sini. Saya dari Komnas HAM berada di
barisan kalian untuk melawan ketidakadilan ini,” ujar Pigai.
Kepada massa, dia menyampaikan sudah mencoba
mengontak Direktur Utama (Dirut) PT KAI untuk menengahi persoalan penggusuran
ini.
“Sejak tanggal 11 Desember lalu telepon saya
cuma diangkat satu kali oleh Dirut PT KAI Ignasius Jonan,” tambahnya.
Tak hanya itu, di hadapan para demonstran,
Pigai yang mengenakan batik merah tangan panjang ini mengungkapkan juga sudah
mengirim surat pada pimpinan PT KAI melalui Daops I. Sayangnya, surat tersebut
tidak dijawab, baik secara lisan maupun tertulis.
“Jika begini terus dan kalau sampai terjadi
penggusuran, PT KAI bisa kena dua pasal. Pasal kriminalisasi dan penyerobotan
hak,” kata Pigai dengan suara tinggi.
Sekitar 15 menit, Pigai berorasi dihadapan
para demonstran. Selanjutnya gantian Darmawan yang berbicara dengan para demonstran.
Darmawan mengatakan pihaknya memberikan waktu sampai Kamis, 3 Januari 2013 kepada
para pedagang untuk menggosongkan kios di area stasiun.
Orasi pun selesai. Darmawan memilih
meninggalkan stasiun dengan menggunakan KRL commuter line. Dia mengaku akan
pergi ke kantor Daops I guna membawa masalah tersebut.
Beda dengan Pigai, pria yang terpilih sebagai
anggota Komnas HAM Oktober lalu ini memilih bertahan sebentar di lokasi unjuk
rasa. “Saya ingin mendengar sekaligus memberikan motivasi pada para PKL ini,”
jelasnya.
“Lihat saja, para PKL ini sudah mulai
kehilangan harapan. Makanya saya akan memberikan motivasi bahwa harapan itu
tetap ada,” tambahnya.
Menurut Pigai, pihaknya sudah beberapa kali
menengahi persoalan penggurusan para PKL di stasiun. Jumat lalu (28/12) dirinya
menemui para PKL di Stasiun Lenteng Agung. Siang sebelumnya mereka digusur dari
area stasiun.
“Komnas HAM sangat menyesalkan kejadian
tersebut. Penggusuran itu dilakukan tanpa dialog dan solusi. Ini bisa masuk
kategori pelanggaran HAM, makanya kami akan bela pedagang ini,” ujarnya.
Kenapa Komnas HAM membela PKL? Kata dia,
Komisi ini dibentuk untuk memperjuangkan nasib orang atau kelompok yang
hak-haknya dirampas. Biasanya, mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM itu
berasal dari kalangan kecil.
Karena itu, dirinya tidak takut kedekatannya
dengan para PKL bakal dianggap Komnas HAM telah berpihak. “Kami berpihak pada
konflik yang menimpa masyarakat biasa dengan penguasa. Masyarakat itu perlu
ditolong, makanya Komnas HAM berpihak pada mereka,” tegasnya.
Kecuali, lanjutnya, bila konflik yang terjadi
itu pada level yang sama. Misalnya dalam pembangunan jalur kereta, PT KAI dan
pihak Kementerian Pekerjaan Umum berseteru soal peran dan kewenangan.
“Karena levelnya seimbang, tentunya kami akan
bersifat imparsial alias di tengah-tengah. Tapi kalau penguasa dengan rakyat,
kami memihak pada rakyat,” katanya.
Pigai mengatakan, ada empat alasan yang
membuat Komnas HAM sangat ingin memanggil Dirut PT KAI Ignasius Jonan. Pertama,
penggusuran dilakukan tanpa adanya sosialisasi terlebih dahulu.
Kedua, sambungnya, telah terjadi
kriminalisasi terhadap PKL saat pembongkaran kios pada dua stasiun sebelumnya,
Depok Baru dan Lenteng Agung. Kriminalisasi tersebut berupa tindakan fisik
maupun psikis terhadap PKL.
Selanjutnya, kata dia, ada nilai kontrak sewa
kios yang masih dipegang PKL untuk tetap bisa berjualan di stasiun hingga Maret
2013. Kontrak itu, menurut Pigai, berupa perjanjian sewa kios berkisar Rp 15
juta sampai Rp 25 juta per kios.
“Terakhir, kami menganggap PT KAI sangat
tidak kooperatif dan responsif, baik pada PKL maupun Komnas HAM,” tegasnya.
Usai Mengadu, Pelapor Minta Ongkos Pulang
Baru menjabat tiga bulan sebagai anggota
Komnas HAM, Natalius Pigai sudah banyak memperoleh pengalaman. Ada yang
menyenangkan. Namun lebih banyak tidak senangnya.
“Dari dipuji, dimarah-marahi hingga
mendapatkan ancaman dari pihak-pihak yang tidak senang akan kinerja kami,” ujar
Ketua Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Pelanggaran HAM ini.
Pigai menuturkan, dirinya kerap
dimarah-marahi ketika turun ke lapangan lantaran masyarakat tak paham mengenai
tugas dan fungsi Komnas HAM. “Itu sering sekali terjadi,” katanya.
Ia menjelaskan, ketika terjadi peristiwa
pelanggaran HAM pihaknya pasti akan turun. “Peran kami hanya melakukan investigasi
dan penyelidikan, tentu hak untuk menindak sama sekali di luar kewenangan
kami,” ujarnya.
Lantaran tidak bisa melakukan penindakan,
masyarakat menganggap Komnas HAM tak melakukan apa-apa. Padahal, kata Pigai,
pihaknya sudah memberikan rekomendasi. Hanya saja pihaknya tak bisa berbuat
banyak bila rekomendasi itu tak digubris.
Akibatnya, banyak pihak pelapor yang tidak
bisa puas terhadap Komnas HAM. “Makanya sering kami dimarah-marahi,” kata Pigai
Pria yang pernah bekerja di Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi ini mendapat teror ketika menangani konflik di
Poso. “Ada ancaman sampai pembunuhan dan sebagainya soal penanganan kasus Poso
ini. Tapi saya tidak akan sebutkan, pihak mana yang melakukan itu,” terangnya.
Pengalaman menarik lainnya yang membuat pria
berkepala plontos ini tak bisa melupakannya yakni ketika didatangi pelapor dari
luar daerah. Kata Pigai, orang itu datang untuk melaporkan masalah
ketenagakerjaan dan penggusuran.
“Saat itu saya baru menjabat sebagai Komnas
HAM. Selama beberapa hari ada pelapor dari luar kota. Lucunya, setelah melapor
mereka minta dibantu soal ongkos pulang,” ungkap Pigai.
Karena memang tidak ada dana untuk itu, Pigai
yang merasa kasihan akhirnya merogoh kocek pribadi untuk ongkos balik pelapor
tersebut. Meskipun enggan menyebutkan jumlahnya, Pigai menyebutkan tabungannya
selama seminggu jadi terkuras.
Untuk itu, dia mengusulkan Sekjen Komnas HAM
untuk menyediakan anggaran pelaporan. Anggaran tersebut, difungsikan untuk
membantu akomodasi bagi korban pelanggaran HAM yang ingin melapor tapi terbentur
masalah biaya.
“Banyak korban karena masalah biaya tidak
bisa melaporkan kasusnya ke Komnas HAM. Meskipun laporan itu bisa melalui surat
dan internet. Tetap saja, temu langsung itu jauh lebih baik,” ujarnya.
Tangani Pemukulan Tukang Ojek Sampai Penggusuran
Rumah
Anggota Komnas HAM Natalius Pigai punya
cara memperoleh informasi akurat mengenai
suatu persoalan. Yakni dengan terjun langsung ke lapangan saat kejadian.
Pigai —sapaan akrabnya—, sudah mempraktikkan
cara ini sejak dipilih menjadi anggota Komnas HAM pada Oktober lalu. Dengan
terjun langsung ke lapangan saat peristiwa berlangsung, dirinya juga bisa berperan
sebagai mediator pihak-pihak yang “bersengketa”.
Ia mencontohkan, pada awal Desember lalu
terjadi konflik antara warga Cilodong, Depok dengan Mabes TNI AU. Kedua pihak
saling mengklaim sebagai pemilik sah lahan yang diperebutkan. Konflik fisik
hampir terjadi ketika pihak TNI AU hendak menggusur perumahan warga yang
dianggap berdiri di atas lahan milik TNI AU.
“Saya datang langsung ke sana, temui warga
dan pihak TNI AU. Saya lakukan pendekatan persuasif. Hasilnya pihak TNI AU
menunda eksekusi tersebut sampai ada putusan pengadilan,” jelasnya.
Kasus lainnya, lanjut Pigai, soal rencana PT
KAI membongkar kios para pedagang kaki lima (PKL) di sejumlah stasiun yang
menjadi jalur commuter line. Menurutnya, saat eksekusi baru akan dimulai
merupakan waktu yang tepat untuk turun tangan.
“Kalau belum terjadi, Komnas HAM bisa menjadi
mediator untuk melakukan negosiasi. Setidaknya, cara ini cukup melegakan para
pedagang selama beberapa hari ke depan,” tuturnya.
Terkait pelanggaran HAM, pria asal Papua
berjanji tidak akan ada tebang pilih. Dia berprinsip setiap pelanggaran HAM
harus ditindaklanjuti tanpa mempedulikan kasus besar atau kecil.
“Semua kasus sama saja. Selama itu mengganggu
sendi-sendi masyarakat atau perorangan terkait diterabasnya hak asasi oleh
penguasa. Kami akan bergerak untuk itu,” tegasnya.
Dia mencontohkan, kasus pemukulan tukang ojek
oleh aparat penegak hukum. Ketika mendapat laporan itu, lanjut Pigai, dirinya
langsung turun ke lokasi dan melakukan investigasi. “Ini bukti, terkait
pelanggaran HAM yang menimpa orang atau kelompok, kami langsung terjun,”
tegasnya.
“Kami Seperti Kiai Atau Pastor”
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM di
sepanjang 2012 dinilai menurun dibanding tahun sebelumnya. Komnas HAM masih
memiliki “utang” penuntasan sejumlah kasus. Di antaranya kasus Munir, Trisakti-Semanggi
I & II dan Poso.
Pengacara sekaligus aktivis HAM, Todung Mulya
Lubis mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan kinerja Komnas HAM
sangat memprihatinkan. Pertama, sebagai lembaga yang dibentuk negara, Komnas
HAM tidak memiliki gigi untuk bekerja.
“Ini terjadi karena Komnas HAM tidak punya
kewenangan melakukan penyidikan. Makanya Komnas HAM menjadi tidak bergigi dan
tidak berdaya,” tutur Todung.
Faktor lainnya, menurut Todung adalah
anggaran Komnas HAM yang minim. Banyaknya kasus pelanggaran HAM yang terjadi
sepanjang tahun 2012, komisi itu hanya mendapat anggaran sekitar Rp 40 miliar.
Dengan anggaran segitu, Todung menilai
keberadaan Komnas HAM saat ini seolah hanya sebagai pajangan. Keberadaannya tak
lebih dari sekadar pencitraan luar negeri negara.
“Seolah Komnas HAM didirikan hanya sekadar
menjawab kritik luar negeri terhadap banyaknya pelanggaran HAM,” ujar Todung.
Hal lain yang menghambat adalah kebijakan
pemerintah yang tak memprioritaskan penuntasan pelanggaran HAM. Akhir-akhir
ini, ucap Todung, pemerintah lebih fokus pada sektor peningkatan pertumbuhan
ekonomi.
“Puja-puji luar negeri terhadap kuatnya ekonomi
Indonesia membuat negara lupa, bahwa ada kasus HAM yang mesti segera diselesaikan,”
ujarnya.
Wakil Ketua Komnas HAM Sandra Moniaga tidak
menampik bila keberadaan lembaga yang dipimpinnya masih sangat lemah. Komnas
HAM, kata dia, kerap menemui jalan buntu alias deadlock saat menyelesaikan
kasus pelanggaran ham. Rekomendasi yang disampaikan institusinya, kerap diabaikan
oleh instansi terkait.
“Dalam undang-undang HAM, secara teknis
penyelesaian kasus, Komnas HAM hanya diberi kewenangan sebatas penyelidikan.
Usai penyelidikan Komnas HAM hanya memiliki kewenangan memberikan rekomendasi,”
jelasnya.
“Rekomendasi itu pun hanya sebatas imbauan
kepada pihak terkait. Sekedar rekomendasi saja, tidak ada kewajiban dari pihak
yang diberikan rekomendasi untuk menanggapi dan tidak ada sanksi apabila tidak
menanggapi,” tambahnya.
Karena itu, saat ini pihaknya telah
mengajukan revisi Undang-undang 39/1999 tentang HAM ke Badan Legislasi DPR.
Revisi itu berisi pemisahan Komnas HAM itu dari undang-undang itu. Diharapkan
Komnas HAM memiliki undang-undang sendiri. Selama ini, wewenang Komnas HAM
yang tertuang di UU HAM kurang berjalan ketika berhadapan dengan sejumlah
kasus.
Komnas HAM berharap diberikan kewenangan
lebih, bukan hanya di tingkat penyelidikan dan imbauan saja. Bahkan, revisi
tersebut juga mengatur soal kekuatan rekomendasi. Maksudnya, yakni mencakup
batasan waktu rekomendasi dan kewenangan sebuah rekomendasi yang harus
mengikat.
Sehingga rekomendasi tersebut dijalankan
pihak yang diberi rekomendasi, atau diberi sanksi bila tidak diindahkan.
“Selama ini Komnas HAM kan hanya sebagai kiai atau pastor yang hanya memberikan
ceramah dan imbauan di setiap rekomendasinya. Dijalankan syukur, nggak
dijalankan, ya, gimana?” tuturnya.
Sumber: Rakyat Merdeka, 2 Januari 2013
Ket foto: Natalius Pigai (gbr 1) saat meninjau eksekusi rumah dinas di Kompleks TNI AU Dwikora, Selasa (04/12/2012) siang (gbr 2)
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!