Co-Founder &
Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
Selamat Tahun Baru!
Di awal tahun ini, saya ingin berbagi cerita tentang perjumpaan saya dengan
seorang kawan baik, perempuan Indonesia berprofesi akuntan yang sudah lama
menetap di Amerika Serikat.
Sebagaimana
layaknya pertemuan seorang kawan lama, apalagi karena dia sudah saya anggap
seperti adik sendiri, perbincangan antarkami mengalir sangat lancar. Ia
menanyakan apa saja perkembangan politik ekonomi Indonesia dan apa saja yang
sedang dikembangkan di Tanah Air. Satu pertanyaan yang sangat menggelitik dari
dia. Apa yang harus kita kerjakan pada 2013, terutama para orang muda
Indonesia?
Pertanyaan macam
itu yang sebenarnya perlu didiskusikan secara berkala di antara praktisi dan
pemikir di Indonesia. Negeri ini termasuk negeri berpopulasi penduduk usia muda.
Rugi besar bila kita mengabaikan potensi mereka. Apalagi tahun 2013 adalah
tahun yang sangat menentukan bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi dan daya
saing Indonesia dalam percaturan politik ekonomi global. Ini tahun di mana kita
perlu bergerak cepat melengkapi kekurangan dan kelemahan supaya tepat 1 Januari
2014 segala instrumen bagi Indonesia sebagai negara maju sudah siap pakai.
Gerak cepat
diperlukan karena tahun ini negara-negara Barat masih akan disibukkan oleh
pergulatan membangun “jembatan penyelamat” bagi perekonomian mereka yang
kembang-kempis. Dari segi regulasi, mereka butuh waktu untuk sampai pada satu
kesepakatan politik internal. Namun, jangan kita lengah. Penduduk di
negara-negara tersebut termasuk cepat beradaptasi. Dengan bekal pendidikan,
keterampilan, mentalitas serta kebiasaan hidup (habitus) kompetitif dalam
kehidupan yang serbaindividualistis, mereka akan menciptakan caracara baru
untuk menyalip Indonesia, China, India, Brasil.
Mereka sudah punya
instrumennya seperti sistem perbankan yang maju, sistem logistik dan mekanisme
bisnis hulu-hilir yang lengkap dan satu atap, serta cara berpikir yang
sistematis dan berstandar internasional. Jangan heran, mereka pasti lebih
agresif melakukan penetrasi ke Indonesia. Sektor swasta di belahan dunia Barat
tidak akan tinggal diam menunggu pemerintahnya tiba pada kesepakatan politik.
Negara-negara berkembang seperti Indonesia akan makin merasakan tekanan ekonomi
pasar global. Bukan tekanan secara abstrak, tetapi riil karena sosok tekanan itu
bisa dilihat langsung di Tanah Air.
Pasokan barang dan
jasa dari berbagai negara di seluruh dunia akan dengan mudah ditemui di
Indonesia, mulai dari barang pecah belah dari Turki, sepatu dan tekstil dari China, teknologi
ramah lingkungan dari Spanyol hingga jasa layanan teknologi informasi dari
India dan masih banyak lagi. Di kala penduduk di belahan dunia lain mengetatkan
ikat pinggang dan mengurangi porsi belanja, penduduk Indonesia justru sedang
hobi (dan mampu) berbelanja. Wajar jika negara-negara lain ingin agar orang
Indonesia berbelanja produk dan jasa buatan mereka.
Yang repot tentu
para produsen lokal. Jika harga dan mutu barang serta jasa mereka tidak
dianggap keren atau mewah oleh konsumen, kalah sainglah dia. Jika tak ada
gebrakan insentif untuk orang Indonesia membeli produk dan jasa lokal, akhirnya
kita akan sibuk mengisi pundi-pundi uang negara lain saja. Namun, saya kemudian
diingatkan oleh keunikan hubungan antarorang Indonesia dan rata-rata orang
Asia. Misalnya hubungan saya dengan kawan tadi. Kami sama sekali tidak punya
ikatan darah dan kami bertemu dalam usia dewasa. Kebetulan kami “klik” dan
nyaman berdiskusi sehingga meskipun sudah hidup berjauhan, kami saling ingat.
Ketika
bertemu,tanpa direncanakan, kami saling bertukar hadiah. Di situ saya terhenyak
karena meskipun ia sudah lebih dari 18 tahun hidup dan bekerja di AS, kultur
Indonesia masih melekat erat dalam dirinya. Rupanya tiap kali melihat barang
unik (dan tidak murah lho), ia terpikir untuk membelikan itu untuk saya dan anak
saya. Kata “kamu seperti saudara sendiri” dimaknai sungguh-sungguh dengan
memberikan yang terbaik. Penuh perhatian dan tulus. Hubungan semacam itu tidak
pernah saya rasakan dalam budaya Barat.Bahkan antarkeluarga sedarah pun ritual
bertukar hadiah di antara mereka lebih sering karena alasan praktis saja.
Hadiah pun
diberikan karena alasan harga dan bukan karena ikatan sentimental dengan pihak
yang menerima hadiah. Ini unik.Orang Indonesia di mana pun mereka berada
sebenarnya loyal satu dan lainnya. Artinya ada ikatan emosional yang bisa
dimanfaatkan untuk memperkuat jaringan penguatan ilmu pengetahuan, keterampilan,
dan teknologi bangsa ini. Tidak selalu dengan pendidikan formal, tetapi dengan
berbagi pengalaman. Bayangkan dahsyatnya bila tiap orang Indonesia bergegas
menyerap ilmu dari segala penjuru bumi dan menyalurkannya untuk membangun
kekuatan sosial ekonomi.
Tak sulit pasti
karena rata-rata orang Indonesia sebenarnya sangat lihai mengambil hati orang.
Alih teknologi akan selalu mahal jika kita menunggu saja. Mereka yang
bersekolah, bekerja atau menetap di luar negeri adalah modal kita untuk
menyerap informasi dan keahlian sebanyak-banyaknya dari negara-negara lain. Hal
ini pernah terjadi di India pada era 1980-1990-an di mana banyak anak muda
cerdas tak kembali ke India setelah menyelesaikan tugas belajar di Eropa dan
Amerika.
Namun ternyata
sejauh-jauhnya mereka pergi, ikatan terhadap tanah leluhur lebih kuat
tarikannya ketimbang materi ekonomi. Saat ini India dikenal sebagai sebuah
negeri outsourcing, khususnya di bidang teknologi informasi.
Sekaranglah kesempatan untuk menyelami para pesaing kita, apalagi pihak Barat tak
segan membuka diri di kala ekonomi mereka sulit seperti ini.
Bangsa Indonesia
perlu bersyukur bahwa dibandingkan dengan negara-negara lain, kita termasuk
bangsa yang berhasil melewati sejumlah krisis ekonomi global. Melewati krisis
ekonomi sekaligus politik di tahun 1998, kita makin menyadari sistem dan
pemimpin seperti apa yang dibutuhkan negeri ini. Gerakan reformasi telah
melapangkan jalan bagi tokoh-tokoh politik muda. Sejumlah pemikir dan kaum
intelektual yang beriktikad baik berhasil mendapatkan akses politik dan karier
baik di kementerian.
Politisi busuk pun
dengan lebih mudah dikenali. Korupsi tampaknya akan tetap menjadi fokus
perhatian di tahun ini. Meskipun ada yang apatis atau kecewa dengan banyaknya
kasus korupsi yang terungkap, saya melihat itu semua sebagai hal positif yang
perlu diapresiasi karena penegak hukum mulai unjuk gigi memburu para
politikus birokrat yang telah menggerogoti uang rakyat. Bila tidak
positif, mustahil kiranya para investor tetap memercayakan uangnya untuk
diinvestasikan di Indonesia.
Kita tak boleh lupa
akan naluri tulus individu Indonesia yang senang berada dalam kebersamaan. Kita
perlu yakin bahwa individu yang baik akan terus berjuang mengasah keterampilan
untuk menangani kecurangan, korupsi, dan kekerasan. Kita buka kesempatan
seluas-luasnya bagi orang baik untuk berperan dalam kehidupan publik di Tanah Air.
Satu lagi hal yang menggembirakan adalah bahwa ideologi partai politik mulai
terkuak dan tidak lagi sembunyi di bawah bayang-bayang sektarian.
Partai politik
tidak lagi sibuk berlomba-lomba mewacanakan isu nasionalisme versus
agama, tetapi mulai mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan kewarganegaraan,
termasuk untuk hidup bebas korupsi. Tentu saja di sejumlah daerah masih ada saja
orang yang mudah termakan isu sektarian, tetapi kita perlu yakin bahwa
kecerdasan politik masyarakat dan partai politik akan makin berkembang.
Percayalah, bangsa ini punya kemampuan beradaptasi dan kerja sama yang baik.
Para pemimpin dan
politisi negeri ini perlu memupuk dan memfasilitasi kemampuan warga ini dengan
sebaik-baiknya. Jangan serahkan pengembangan sumber daya manusia pada pasar.
Jangan biarkan orang muda yang peduli cuma jadi penonton dan komentator.
Buatlah mereka menjadi bagian dari langkah strategis yang terencana sehingga
tahun peluang ini membuahkan hasil sebaik-baiknya.
Sumber: Seputar
Indonesia, 2 Januari 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!