Sastrawan
Ketika sosiologi
menyebutkan bahwa manusia itu mendua, kita tertegun. Tetapi pada kenyataannya
memang ada paradoks dalam diri manusia. Disatu sudut ia adalah mahluk sosial.
Di sudut lain ia adalah mahluk individual.
Ketika sendirian
manusia iti bebas, merdeka dan kadang bisa bablas mengikuti kemauannya sendiri.
Tetapi di ruang publik, semua manusia adalah anggauta dari masyarakat,
kelompok, peguyuban, partai, suku, keyAkinan, idiologi, agama, serta lain
sebagainya. Kedua hal itu seringkali bertentangan,sehingga tak salah kalau
dikatakan dalam diri setiap manusia pada dasatnya sudah ada konflik.
Manusia, setiap
manusia, adalah sebuah konflik. Ketika manusia sebagai sebuah konflik bertemu
dengan manusia lain, yang juga sebuah konflik, di ruang publik maka terjadilah
peristiwa. "Dramatik". Untuk menghindari peristiwa dramatik yang
terus menerus, manusia berusaha mencari peredAmnya dalam apa yang disebut
"harmoni". Itu dengan mudah dapat dilakukan kalau manusia mampu
mengganti perannya yang bisa "nyambung" atau hidup damai dengan
mamusia lain. Hal tersebut tidak menyulitkan, karena setiap manusia sudah
terbiasa meniru atau berpura-pura,
Sejak kecil manusia
sudah belajar berpura puira dengan meniru ibunya kemuadian orang tuanya,
saudara-saudaranya, lingkungannya, gurunya, idolanya dan sebagainya. Bahkan
dalam lukisan-lukisan purba digua-gua dapat dilihat bagaimana manusia puirba
meniru-niru gerakan binatang yang akan diburunya supaya perburuannya sukses.
Jadi setiap manusia dewasa telah belajar dari pengalamannya untuk meniru atau
menirukan.
Setiap orang pada
hakekatnya setiap hari menjalankan peranan dalam hidupnya. Sejak ia bangun
tidur kemudian keluar pintu rumah, bertemu dengan tetangga kemuadiAn teman
kerja, orang-orang yang menjadi atasan dan bawahannya dansebagainya,
menyebabkan setiap manusia memasang topeng-topeng yang berbeda beda menurut
fungsi dan kegunaannya agar ia bisa nyambung dengan manusia lain.
Dengan demikian,
selain sebagai sebuah konflik manusia adalah seuiah teayer. Penyair Taufik
ismail menulis lirik lagu untuk duet "dua kribo" memgatakan :
"Dunia ini panggung sandiwara". Maka semakin jelas bahwa kehidupan
dan manusia-manusia yAng menjalaninya adalah sebuah teater atau sandiwara.
Artinya kalau kita menyebut teater ada dua hal : teater yang dipersiapkan atau
dipertontonkan dengan tiket yang dijual, atau teater yang merupakan peristiwa
yang terjadi dengan sendirinya.
Di tahun 2013
setapak di belakang pemilu 2014, teater "Sungguhan" nampaknya akan
semakin marak. Kepura-puraan disinyalir oleh berbagAi kalangan yang menekuni
peristiwa-peristiwa politik di Indonesia dinyatakan "laku"
demikianlah disinyalir bahwa banyak calon pemimpin tidak lagi berjuang untuk
merebut kedudukannya demi kesejahteraan rakyat tetApi untuk memperkaya dirinya.
Juga disinyalir banyak kader-kader partai yang lebih tekun berjuang untuk
mengumpulkan setoran kepada partainya , daripada kesejahteraan rakyat, dan
akhirnya dapat dimengerti mengapa dapat disimpulkan bahwa nampaknya kejayAan
partai akan lebih diutamakan daripada kejayaan bangsa , negara dan nasib
rakyat.
Memikirkan hal itu
, teater sungguhan akan semakin seru dan keos bukan tidak mungkin terjadi. Kita
takut dan khawatir, tetapi bersama dengan itu menyelip juga harapan.
Siapa tahu justru
keos itu akan mempercepat lahirnya seorang pemimpin baru yang( bukan karena
beraninya, bukan karena nekatnya, bukan karena bijaksananya, bukan karena
sabarnya, bukan karena pintar dan lihainya, bukan karena kharismatiknya
danSebagainya) benar-benar "pas kalibernya" dengan segala tantangan
yang tak henti -hentinya membetot negara kita yang tercinta ini. Mari kita
masuki teater 2013 itu.
Sumber: Jurnal
Nasional, 2 Januari 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!