Tenaga Ahli DPR Dapil Papua;
Staf Kaukus
Papua di Parlemen RI
TANAH Papua kembali mendapat perhatian Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam pidatonya di hadapan anggota DPR/MPR RI di
Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2013), Presiden Yudhoyono
menegaskan bahwa Papua (dan Aceh) bagian NKRI. Jika melihat ke belakang, soal
Papua juga sempat diangkat. Pada 16 Agustus 2012, di hadapan Sidang Bersama
DPR/DPD RI dalam rangka HUT RI ke-67, Kepala Negara menegaskan bahwa masyarakat
di seantero Tanah Papua berada dalam hati kita semua.
Mengapa isu Papua dan NKRI menjadi begitu serius?
Hal ini bisa beralasan. Publik tahu bahwa penembakan warga sipil maupun aparat di
sejumlah wilayah di Tanah Papua kian menggila. Beberapa bulan terakhir, kekerasan
nampak telanjang. Pada 31 Juli 2013, misalnya, insiden penembakan terjadi
sekitar pukul 13.15 WIT di Jalan Puncak Senyum, Distrik Mulia, Puncak Jaya,
Papua. Kelompok bersenjata menembaki ambulans DS-5800-PJ milik RSUD Mulia yang
tengah melaju ke Tingginambut untuk menjemput seorang pasien yang akan dibawa
ke Mulia, Puncak Jaya. Eri Wonda, seorang warga sipil tewas. Dua lainnya,
Darson dan Frits Baransano terluka.
Kekerasan dipertontonkan membabibuta. Bisa jadi
situasinya darurat. Hal ini mengingatkan kita bagaimana kekerasan selalu lahir sejak
Papua integrasi. Parahnya, pascareformasi kekerasan terjadi sporadis dengan
berbagai tujuan. Kondisi ini kemudian diperparah lagi dengan belenggu kemiskinan,
kesehatan, pendidikan, ketertinggalan, sosial-politik, pertahanan-keamanan yang
melilit hampir sebagian wilayah Tanah Papua.
Jejak pelaku
Kita tentu miris menyaksikan kekerasan terus terjadi.
Namun, tentu juga tak sebatas meratapi jatuhnya korban dan mengutuk pelaku.
Lebih penting lagi yakni mencari tahu pelaku dan jejak tapaknya kemudian menemukan
solusi efektif. Imparsial menjelaskan terminologi konflik dan kekerasan.
Konflik disebut sebagai relasi yang menggambarkan ketidaksejalanan sasaran yang
dimiliki atau yang hanya dirasa dimiliki oleh dua pihak atau lebih.
Sedangkan kekerasan merupakan kegiatan yang mencakup
tindakan, perkataan, sikap yang menyebabkan kerusakan fisik, mental sosial atau
lingkungan. Konflik ditimbulkan adanya perbedaan politik dan ekonomi yang cukup
mencolok antar dua kelompok. Sumber utama kekerasan dalam konflik yang
disebabkan oleh politik, etnis dan budaya adalah tidak adanya pembangunan
ekonomi yang bisa mengeliminasi kemiskinan (Sekuritisasi
Papua ; 2011).
Pemerintah terkesan kesulitan mencari tahu akar
persoalannya. Menyebut kelompok bersenjata sebagai pelaku merupakan informasi
rutin yang sampai ke publik tanpa mengendus akar persoalannya. Menyebut
kelompok pemberontak/separatis sebagai otak kekerasan, lagu lama. Pun menyebut
aksi-aksi kekerasan dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang ingin mengacaukan
suasana kantibmas, hanya kabar kabur.
Muridan S Wijojo, dkk menyimpulkan, sumber konflik
Papua mencakup empat isu strategis. Keempat isu dimaksud yaitu (i), sejarah integrasi Papua ke wilayah
NKRI dan identitas politik orang asli Papua; (ii), kekerasan politik dan pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM);
(iii), gagalnya pembangunan di Papua;
dan (iv), inkonsistensi pemerintah
dan implementasi otonomi khusus serta marginalisasi orang Papua.
Secara historis, penafsiran terhadap sejarah
integrasi, status politik, dan identitas politik Papua muncul sebagai hasil
pertarungan politik kekuasaan pada masa dekolonisasi Papua. Sedangkan kekerasan
politik dan kegagalan pembangunan merupakan implikasi dari rezim
otoritarianisme Orde Baru. Sementara itu, inkonsistensi pemerintah dalam
implementasi otonomi khusus lebih merupakan persoalan yang muncul pada saat
pasca Orde Baru (Papua Road Map ;
2009).
Kini wajah Papua paradoks. Jauh dari batasan Deklarasi
PBB tentang Hak Atas Pembangunan (United Nations General Assembly Resolution
41/128, 4 Desember 1986). Dalam deklarasi itu disebutkan, pembangunan sebagai
proses ekonomi, sosial, kultural, dan politik yang menyeluruh bertujuan
memperbaiki secara konstan kemaslahatan segenap warga dan semua orang lewat
peran serta yang aktif, bebas dan penuh makna di dalam pembangunan dan dalam
distribusi yang adil atas hasil-hasilnya.
Cypri JP Dale dan John Jonga menjelaskan, proses
pembangunan tidak sungguh terjadi di Papua. Ini bukan rahasia. Bukan pula
kritik tanpa dasar. Pemerintah Indonesia secara legal dan terbuka mengaku
kegagalannya di Papua pada mukadimah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus.
Pengakuan pemerintah menyebutkan bahwa penyelenggaaraan
pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan selama ini belum sepenuhnya memenuhi
rasa keadilan, memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, mendukung
terwujudnya penegakan hukum, dan menampakkan pengormatan terhadap HAM di Papua,
khususnya masyarakat Papua.
Selain itu, pengelolaan dan pemanfaatan hasil
kekayaan alam Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf
hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan
antara Papua dan daerah lain serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk
asli Papua (Paradoks Papua ; 2011).
Dialog
Kita pantas menundukkan kepala menyaksikan maraknya
kekerasan hingga memakan korban jiwa seperti yang baru terjadi di Puncak Senyum.
Mengapa? Kekerasan seperti itu pasti berpotensi mengganggu jalannya kehidupan
sosial, politik, ekonomi, dan kantibmas. Ia menguras akal sehat dan sulit
dipahami. Entah berapa banyak seminar dan diskusi sudah digelar, tapi konflik dan
kekerasan masih menemui ruangnya. Karena itu, dialog menjadi jalan yang mesti
dilalui. Ikhwal dialog Jakarta-Papua selama ini menjadi agenda yang
ditungu-tungu warga dan para pihak (stakeholder).
Neles Kebadabi Tebay menjelaskan, ada beberapa
faktor yang memperlihatkan pentingnya dialog. Yaitu (i), jalan kekerasan tidak berhasil menyelesaikan konflik Papua; (ii), implementasi otsus gagal
menyejahterakan orang Papua; (iii),
pemerintah tidak konsisten menerapkan UU Otsus Papua; (iv), orang asli Papua semakin tidak mempercayai pemerintah; (v), dukungan internasional terhadap pemerintah
menurun (Dialog Jakarta-Papua ;
2009).
Menurut Paskalis Kossay, warga Papua ada dalam hati
kita semua. Ini keluar dari hati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat
menyampaikan Pidato Kenegaraan memperingati HUT RI ke-67, 16 Agustus 2012. Kata
Presiden, pemerintah menyadari kompleksitas persoalan yang memerlukan
langkah-langkah spesifik, mendasar, dan menyeluruh. Kita satukan langkah untuk
mempercepat pembangunan bagi rakyat Papua. Otonomi Khusus bagi Papua dan Papua
Barat adalah kerangka dasar kita dalam mengelola pelayanan publik, pembangunan
dan pemerintahan daerah (Membangun Papua
Dengan Hati ; 2013).
Bagaimana wajah Tanah Papua saat ini? Mengapa
kekerasan sering terjadi? Ini pertanyaan retoris di samping
pertanyaan-pertanyaan penting lainnya. Kita percaya, seperti kata Presiden
Yudhoyono, saudara-saudara kita di Tanah Papua senantiasa berada dalam hati
kita. Sekalipun jauh di mata tak berarti Papua jauh juga di hati presiden dan
kita semua. Kita tentu tak sudi kekerasan seperti di Puncak Senyum terulang.
Papua harus jadi tanah damai. Ia mesti ada dalam hati kita.
Sumber: Papua Pos, 26 Agustus 2013
Salam Kenal kak Ganteng,,, saya anak papua sudah membaca tulisan kak dan saya mengucapkan terima kasih sedalam2nya . pesan: Kak teruslah menulis masalah Papua dan NTT semoga publik tau beta besarnya kemiskinan beberapa darah ini terima kasih. Tuhan Yesus Memberkati kak.
ReplyDeleteSalam kenal juga, bro. Kita ikut merawat perdamaian dengan cara kita paling mini. Semoga bisa berguna bagi banyak orang, terutama masyarakat di tanah Papua. Hormat dibri. Wa wa wa....
Delete