Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menyesalkan oknum guru yang berulah nekat menggunakan ijazah palsu untuk mengikuti sertifikasi atau pendidikan latihan profesi guru (PLPG).
Oknum seperti itu dianggap tidak pantas menjadi seorang guru karena menggunakan ijazah yang tidak semestinya agar bisa menyandang profesi mulia tersebut.
Menurut Mohammad Nuh yang juga mantan Rektor Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, tindakan itu merupakan kejahatan besar dan luar biasa. "Dia memakai ijazah X untuk jadi guru. Lha, ijazah X ini palsu, jadi ya harus dicoret," kata M Nuh di sela peresmian kampus Universitas Katholik Widya Mandala di Pakuwon City, Surabaya, akhir pekan kemarin.
Terungkapnya kasus itu bermula saat para guru mengumpulkan berkas pendidikan latihan profesi guru (PLPG) sebagai syarat untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi. Sebelumnya, mereka menemukan ijazah palsu atas nama oknum guru berinisial JF yang merupakan guru PNS golongan IV-A di Sumenep.
Belakangan, Panitia PLPG Regional 142 Universitas PGRI Adi Buana (Unipa) itu menemukan lagi ijazah palsu atas nama MM yang merupakan guru pegawai negeri sipil (PNS) golongan III-D asal Bangkalan. Kedua ijazah palsu itu memiliki format dan sama isinya.
Tetapi, setelah diamati ternyata keduanya sama-sama keliru mengisi nama Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan (FKIP). Nama dekan itu seharusnya ditulis Dwi Retnani Srinarwati, namun ternyata disebutkan nama Winarno yang merupakan dekan periode sebelumnya. Panitia juga menemukan tanda tangan Rektor Setijono palsu dan stempel di ijazah yang tidak sama dengan stempel resmi perguruan tinggi itu.
Wakil Rektor (Warek) 1 Unipa, Hartono, menduga kedua ijazah palsu itu ada keterkaitan karena memiliki format ijazahnya sama, baik font (huruf) dan tanda tangannya. Ijazah keduanya juga dikeluarkan pada tanggal yang sama, 18 Juni 2011, dari FKIP Unipa.
Selain keliru mencatut nama dekan, kepastian ijazah palsu itu juga terlihat dari blanko ijazah yang, menurutnya, memiliki ciri khusus dalam logo Unipa, hologram, dan lembaran kertasnya yang dikeluarkan oleh negara. "Kalau ada ijazah palsu, kami akan dengan mudah mengetahuinya," ujarnya.
Pihaknya keberatan apabila para oknum guru itu dianggap tidak tahu-menahu kalau ijazah yang dipegangnya itu ternyata palsu. Sebab, sebagai guru yang setiap hari bergelut dengan dunia pendidikan, seharusnya dari awal mereka sudah tahu bahwa proses kuliah S-1 membutuhkan waktu empat tahun.
Para guru seharusnya sudah curiga kalau hanya diajar beberapa kali dan langsung mendapatkan ijazah. Pihak Unipa sendiri mengklaim tidak pernah menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh atau membuka cabang di daerah lain.
Sementara itu, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jatim, Icwan Sumadi, juga mempertanyakan mengapa ijazah palsu yang digunakan itu bisa lolos verifikasi di tingkat dinas pendidikan. "Harusnya ada verifikasi dulu di tingkat dinas sebelum diajukan ke panitia PLPG," ujarnya.
Oknum seperti itu dianggap tidak pantas menjadi seorang guru karena menggunakan ijazah yang tidak semestinya agar bisa menyandang profesi mulia tersebut.
Menurut Mohammad Nuh yang juga mantan Rektor Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, tindakan itu merupakan kejahatan besar dan luar biasa. "Dia memakai ijazah X untuk jadi guru. Lha, ijazah X ini palsu, jadi ya harus dicoret," kata M Nuh di sela peresmian kampus Universitas Katholik Widya Mandala di Pakuwon City, Surabaya, akhir pekan kemarin.
Terungkapnya kasus itu bermula saat para guru mengumpulkan berkas pendidikan latihan profesi guru (PLPG) sebagai syarat untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi. Sebelumnya, mereka menemukan ijazah palsu atas nama oknum guru berinisial JF yang merupakan guru PNS golongan IV-A di Sumenep.
Belakangan, Panitia PLPG Regional 142 Universitas PGRI Adi Buana (Unipa) itu menemukan lagi ijazah palsu atas nama MM yang merupakan guru pegawai negeri sipil (PNS) golongan III-D asal Bangkalan. Kedua ijazah palsu itu memiliki format dan sama isinya.
Tetapi, setelah diamati ternyata keduanya sama-sama keliru mengisi nama Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan (FKIP). Nama dekan itu seharusnya ditulis Dwi Retnani Srinarwati, namun ternyata disebutkan nama Winarno yang merupakan dekan periode sebelumnya. Panitia juga menemukan tanda tangan Rektor Setijono palsu dan stempel di ijazah yang tidak sama dengan stempel resmi perguruan tinggi itu.
Wakil Rektor (Warek) 1 Unipa, Hartono, menduga kedua ijazah palsu itu ada keterkaitan karena memiliki format ijazahnya sama, baik font (huruf) dan tanda tangannya. Ijazah keduanya juga dikeluarkan pada tanggal yang sama, 18 Juni 2011, dari FKIP Unipa.
Selain keliru mencatut nama dekan, kepastian ijazah palsu itu juga terlihat dari blanko ijazah yang, menurutnya, memiliki ciri khusus dalam logo Unipa, hologram, dan lembaran kertasnya yang dikeluarkan oleh negara. "Kalau ada ijazah palsu, kami akan dengan mudah mengetahuinya," ujarnya.
Pihaknya keberatan apabila para oknum guru itu dianggap tidak tahu-menahu kalau ijazah yang dipegangnya itu ternyata palsu. Sebab, sebagai guru yang setiap hari bergelut dengan dunia pendidikan, seharusnya dari awal mereka sudah tahu bahwa proses kuliah S-1 membutuhkan waktu empat tahun.
Para guru seharusnya sudah curiga kalau hanya diajar beberapa kali dan langsung mendapatkan ijazah. Pihak Unipa sendiri mengklaim tidak pernah menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh atau membuka cabang di daerah lain.
Sementara itu, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jatim, Icwan Sumadi, juga mempertanyakan mengapa ijazah palsu yang digunakan itu bisa lolos verifikasi di tingkat dinas pendidikan. "Harusnya ada verifikasi dulu di tingkat dinas sebelum diajukan ke panitia PLPG," ujarnya.
Sumber: Suara Karya, 26 Agustus 2013
Ket foto: Mendikbud Muhammad Nuh
Ket foto: Mendikbud Muhammad Nuh
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!