Pastor Gereja
Katolik Roma;
Ketua Komisi HAK
Keuskupan Agung Semarang
MERAYAKAN Lebaran,
wujud kultural dari Hari Raya Fitri pada pengujung bukan Ramadan selalu menjadi
kerinduan kami, anak-anak Kampung Belikrejo Gambiranom Kecamatan Baturetno
Wonogiri. Paling tidak, itulah yang saya alami bersama kawankawan sebaya pada
masa silam, ketika saya masih kanak-kanak hingga usia remaja.
Padahal, kami
adalah keluarga yang beragama Katolik. Mengapa Lebaran menjadi sebuah perayaan
yang dirindukan? Kala itu, walaupun kami beragama Katolik, yang merupakan
minoritas di kampung kami; reaalitasnya tidak pernah kami dilarang untuk
merayakannya. Hari Idul Fitri menjadi perayaan sosial kultural, meski perayaan
itu sangat Islami.
Sebagai orang yang
beragama Katolik pun, meski tidak melakukan ritual puasa selama bulan Ramadan,
kami turut merasakan dan mengalami sukacita kemenangan umat Islam yang sebulan
penuh menjalani ritual suci berpuasa dan menyucikan diri. Kami mengalami
kehadiran agama Islam dan umatnya yang ramah, membawa berkah dan merangkul
sesamanya yang berbeda agama. Tidak heran, di kampung kami, keluarga-keluarga
yang beragama Katolik, turut serta menyambut Lebaran.
Budaya Inklusif
Lebaran menjadi ekspresi kultural yang mengakarkan inklusivitas Islam. Indikasi
inklusivitas itu terpancar melalui praksis silaturahmi yang dilakukan tak hanya
oleh sesama kaum muslim, tapi juga anggota masyarakat lain yang nonmuslim.
Inklusivitas itu terungkap melalui tindakan nyata, saat semua anggota
masyarakat, kendati tidak beragama Islam, turut bersukacita menyambut Lebaran
secara positif. Sangat tertanam dalam nurani saya, paling kurang sepekan
menjelang Lebaran, ayah kami sudah menganyam ketupat dari janur kuning.
Ibu kami sudah
mempersiapkan aneka penganan berupa ceriping, kacang bawang, jadah wajik buatan
tangan sendiri untuk menyambut Lebaran. Berbagai jenis makanan dan masakan itu
akan disiapkan di ruang tamu rumah kami, sebab pada Lebaran, keluarga kami pun
—yang notabene beragama Katolik— akan menjadi ”sasaran” silaturahmi pula. Umat
yang beragama Islam tanpa ragu-ragu, dengan penuh syukur dan sukacita, akan
datang ke rumah kami untuk melakukan silaturahmi.
Istilahnya, ujung,
dari kata kunjungan, dalam rangka silaturahmi dan rekonsiliasi. Pada saat
kunjungan kami berkata, ”Ngaturaken Sugeng Riyadi, mugi sedaya kalepatan kawula
kalebur ing dinten Riyadi punika!” (Selamat Hari Raya, semoga segala kesalahan
saya dilebur pada Hari Raya ini!). Kalimat tersebut diucapkan oleh yang lebih
muda sambil berlutut dan menjabat tangan yang lebih tua.
Yang lebih tua pun
menjawab ramah dan lembut, ”Ya, padha-padha Ngger! Wong tuwa ya akeh lupute,
muga kita kabeh kaapura dening Kang Mahakuasa” (Sama-sama Nak! Kami, orang tua
juga banyak kesalahan, semoga semua kesalahan itu mendapat ampunan dari Tuhan
Yang Mahakuasa). Setelah ritual suci yang sangat kultural itu terjadi, kami
harus mencicipi aneka penganan yang sudah disediakan di ruang tamu keluarga
yang kami kunjungi. Tidak jarang, orang tua masih menambahkan hadiah berupa
uang saku kepada kami yang lebih muda!
Begitulah, ritual
itu kami lakukan dari rumah ke rumah tanpa pandang bulu perbedaan agama. Tak
hanya dilakukan sesama muslim, tetapi juga antarumat beragama yang ada di
kampung kami. Itulah warna kultural inklusif Lebaran yang sangat tertanam
sangat mendalam di hati saya, sebagai orang Katolik hingga hari ini.
Praksis itu tidak
melunturkan iman Katolik kami, tidak pula mengaburkan iman Islam warga yang
beragama Islam. Sejauh pemantauan saya, belakangan ini, pengalaman yang sangat
esensial terkait budaya inklusif menyambut Lebaran itu tampaknya mulai luntur.
Bukan dari diri saya, melainkan dari antara masyarakat di kampung kami. Kalau
pun masih ada, itu tak seheboh di masa lalu. Inilah sebuah kerinduan yang
selalu terbayang dalam ingatan saya setiap kali menyambut Lebaran sekarang ini.
Ada sesuatu yang hilang. Selamat Hari Raya Fitri. Mohon maaf lahir dan batin.
Sumber: Suara
Merdeka, 7 Agustus 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!