Headlines News :
Home » » Kerinduan Merayakan Lebaran

Kerinduan Merayakan Lebaran

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, August 08, 2013 | 6:02 PM


Oleh Aloys Budi Purnomo
Pastor Gereja Katolik Roma;
Ketua Komisi HAK Keuskupan Agung Semarang

MERAYAKAN Lebaran, wujud kultural dari Hari Raya Fitri pada pengujung bukan Ramadan selalu menjadi kerinduan kami, anak-anak Kampung Belikrejo Gambiranom Kecamatan Baturetno Wonogiri. Paling tidak, itulah yang saya alami bersama kawankawan sebaya pada masa silam, ketika saya masih kanak-kanak hingga usia remaja.

Padahal, kami adalah keluarga yang beragama Katolik. Mengapa Lebaran menjadi sebuah perayaan yang dirindukan? Kala itu, walaupun kami beragama Katolik, yang merupakan minoritas di kampung kami; reaalitasnya tidak pernah kami dilarang untuk merayakannya. Hari Idul Fitri menjadi perayaan sosial kultural, meski perayaan itu sangat Islami.

Sebagai orang yang beragama Katolik pun, meski tidak melakukan ritual puasa selama bulan Ramadan, kami turut merasakan dan mengalami sukacita kemenangan umat Islam yang sebulan penuh menjalani ritual suci berpuasa dan menyucikan diri. Kami mengalami kehadiran agama Islam dan umatnya yang ramah, membawa berkah dan merangkul sesamanya yang berbeda agama. Tidak heran, di kampung kami, keluarga-keluarga yang beragama Katolik, turut serta menyambut Lebaran.

Budaya Inklusif Lebaran menjadi ekspresi kultural yang mengakarkan inklusivitas Islam. Indikasi inklusivitas itu terpancar melalui praksis silaturahmi yang dilakukan tak hanya oleh sesama kaum muslim, tapi juga anggota masyarakat lain yang nonmuslim. Inklusivitas itu terungkap melalui tindakan nyata, saat semua anggota masyarakat, kendati tidak beragama Islam, turut bersukacita menyambut Lebaran secara positif. Sangat tertanam dalam nurani saya, paling kurang sepekan menjelang Lebaran, ayah kami sudah menganyam ketupat dari janur kuning.

Ibu kami sudah mempersiapkan aneka penganan berupa ceriping, kacang bawang, jadah wajik buatan tangan sendiri untuk menyambut Lebaran. Berbagai jenis makanan dan masakan itu akan disiapkan di ruang tamu rumah kami, sebab pada Lebaran, keluarga kami pun —yang notabene beragama Katolik— akan menjadi ”sasaran” silaturahmi pula. Umat yang beragama Islam tanpa ragu-ragu, dengan penuh syukur dan sukacita, akan datang ke rumah kami untuk melakukan silaturahmi.

Istilahnya, ujung, dari kata kunjungan, dalam rangka silaturahmi dan rekonsiliasi. Pada saat kunjungan kami berkata, ”Ngaturaken Sugeng Riyadi, mugi sedaya kalepatan kawula kalebur ing dinten Riyadi punika!” (Selamat Hari Raya, semoga segala kesalahan saya dilebur pada Hari Raya ini!). Kalimat tersebut diucapkan oleh yang lebih muda sambil berlutut dan menjabat tangan yang lebih tua.

Yang lebih tua pun menjawab ramah dan lembut, ”Ya, padha-padha Ngger! Wong tuwa ya akeh lupute, muga kita kabeh kaapura dening Kang Mahakuasa” (Sama-sama Nak! Kami, orang tua juga banyak kesalahan, semoga semua kesalahan itu mendapat ampunan dari Tuhan Yang Mahakuasa). Setelah ritual suci yang sangat kultural itu terjadi, kami harus mencicipi aneka penganan yang sudah disediakan di ruang tamu keluarga yang kami kunjungi. Tidak jarang, orang tua masih menambahkan hadiah berupa uang saku kepada kami yang lebih muda!

Begitulah, ritual itu kami lakukan dari rumah ke rumah tanpa pandang bulu perbedaan agama. Tak hanya dilakukan sesama muslim, tetapi juga antarumat beragama yang ada di kampung kami. Itulah warna kultural inklusif Lebaran yang sangat tertanam sangat mendalam di hati saya, sebagai orang Katolik hingga hari ini.

Praksis itu tidak melunturkan iman Katolik kami, tidak pula mengaburkan iman Islam warga yang beragama Islam. Sejauh pemantauan saya, belakangan ini, pengalaman yang sangat esensial terkait budaya inklusif menyambut Lebaran itu tampaknya mulai luntur. Bukan dari diri saya, melainkan dari antara masyarakat di kampung kami. Kalau pun masih ada, itu tak seheboh di masa lalu. Inilah sebuah kerinduan yang selalu terbayang dalam ingatan saya setiap kali menyambut Lebaran sekarang ini. Ada sesuatu yang hilang. Selamat Hari Raya Fitri. Mohon maaf lahir dan batin.
Sumber: Suara Merdeka, 7 Agustus 2013
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger