Sosiolog Universitas Airlangga &
Direktur Lembaga Konsultasi Konflik Indonesia
Kegaduhan politik merupakan
bagian dari kebebasan demokrasi yang sarat beragam konflik kepentingan. Sebagai konsekuensi kebebasan
berdemokrasi, kegaduhan politik akan sering direproduksi melalui isu-isu
kebijakan negara; mulai dari pendidikan dan kesehatan hingga subsidi BBM
seperti terjadi belum lama ini.
Akan tetapi, kegaduhan politik
yang sering berlangsung lama adalah indikator dari tidak adanya ketangguhan
pemimpin demokratis, terutama kepemimpinan pemerintah eksekutif. Ketangguhan
pemimpin demokratis mengambil keputusan penyelesaian konflik secara berani demi
kepentingan umum tanpa mengabaikan konstitusi dan demokrasi. Kondisi tidak
adanya ketangguhan pemimpin demokratis ini menyebabkan kegaduhan politik
Indonesia sering terjadi.
Kegaduhan politik yang
disarati praktik politik keras kepala (contentious politics) telah membawa
Indonesia pada kondisi stagnasi dari kemajuan progresif nasional. Beberapa
indikasi stagnasi adalah masyarakat rentan miskin masih besar, kesenjangan
sosial makin lebar, pengelolaan pendidikan nasional buruk, masalah keamanan,
sampai konflik-konflik kekerasan sosial masih intensif terjadi. Kondisi
stagnasi tersebut merupakan konsekuensi kegaduhan politik berkepanjangan pada
setiap isu kebijakan.
Sosiologi politik menjelaskan
bahwa praktik politik keras kepala, selain pada hasrat menguasai dan
keserakahan, juga berakar pada keyakinan ideologis. Setiap kelompok
kepentingan, termasuk partai politik, selalu merasa sedang memperjuangkan
ideologi. Keyakinan ideologis yang dianggap sebagai satu-satunya kebenaran
berkontribusi terhadap praktik politik keras kepala. Oleh karena itu, konflik
politik di antara banyak kepentingan juga merefleksikan benturan keyakinan
ideologis.
Praktik politik keras kepala
sering kali merupakan kombinasi antara hasrat kekuasaan, keserakahan, dan
ideologi. Kombinasi yang mendorong kelompok kepentingan tampil sangat arogan.
Akibatnya, konflik politik sering menemui kebuntuan, ditandai eskalasi debat
kusir di panggung nasional. Setiap kelompok kepentingan menutup diri dari
konsep atau pandangan baru yang keluar dari kotak pemahaman sempit ideologis.
Permasalahan bangsa yang semestinya segera dijawab melalui kesepakatan politik
pada gilirannya terbengkalai.
Stagnasi kemajuan nasional
akibat kegaduhan politik berkepanjangan belum tentu langsung menciptakan
keterbukaan pikiran tentang alternatif pemecahan masalah. Pemecahan masalah
yang diharapkan tidak saja menguntungkan kepentingan kelompok, tetapi yang lebih
utama merealisasikan kepentingan umum. Itu karena kelompok kepentingan
terpenjara dalam kotak ideologi, hasrat kekuasaan, dan keserakahan yang
direproduksi sebagai praktik politik keras kepala. Oleh karena itu, kegaduhan
demi kegaduhan politik terus tercipta sebagai halangan besar pembangunan
nasional.
Menegakkan wewenang
Presiden dan wakilnya sering
mengimbau para elite agar mengurangi kegaduhan politik. Imbauan tersebut baik.
Namun, kegaduhan yang sarat politik keras kepala telah mendorong sejumlah
kelompok kepentingan memobilisasi sumber daya kekuatan. Menghadapi kondisi
semacam ini dibutuhkan praktik kepemimpinan yang lebih dari sekadar memberi
imbauan.
Sumber daya kekuatan dalam
bentuk jabatan politik, modal ekonomi, suara dalam parlemen, dan jejaring
sosial akan dimobilisasi secara simultan ke ruang politik. Mobilisasi sumber
daya tersebut tak akan berhenti sampai kepentingan kelompok terpenuhi pada
level tertentu. Imbauan semata terbukti hanya dianggap angin lalu. Kegaduhan
politik pun tak bisa dihentikan.
Kasus paling aktual adalah
konflik kepentingan antara pro dan kontra pengurangan subsidi BBM dalam APBN
2013. Konflik ini telah berlangsung lebih dari tiga bulan sejak rencana
pengurangan subsidi digulirkan pemerintahan SBY. Mobilisasi sumber daya
kekuatan di antara kelompok kepentingan yang berpolitik keras kepala menciptakan
kegaduhan nasional akut. Konsekuensinya: melemahnya kualitas politik demokrasi,
ketidakpastian perekonomian sampai polarisasi sosial dalam masyarakat yang
menajam. Konsekuensi-konsekuensi itu bisa meledak sebagai kekacauan
multidimensi dan menyeret Indonesia pada kondisi rentan negara gagal.
Pemimpin eksekutif sebagai
pelaksana mandat demokrasi harus menangani kegaduhan politik lebih dari sekadar
imbauan. Presiden perlu mempraktikkan apa yang diistilahkan oleh Maarten A
Hajer (2009) sebagai authoritative governance, yaitu keberanian pemimpin
pemerintahan menegakkan wewenang yang dijamin konstitusi untuk menangani
kegaduhan politik. Terutama Indonesia yang menganut sistem presidensial,
wewenang presiden dalam konstitusi memiliki kekuatan "interventif"
atas dasar kepentingan nasional. Selain itu, kekuasaan politik yang diperoleh
melalui pemilihan langsung oleh rakyat menjadi legitimasi besar.
Authoritative governance
diperlihatkan oleh praktik mengoptimalkan wewenang politik konstitusional untuk
menghentikan kegaduhan melalui kepastian kebijakan. Tentu saja kebijakan yang
diformulasikan dari prinsip dasar demokrasi, yaitu kebaikan umum. Risiko selalu
jadi bagian dari suatu keputusan politik. Pada dimensi inilah pemimpin negara
diuji ketangguhannya untuk mengambil risiko pilihan kebijakan demi kemajuan
bangsa. Terutama risiko yang terkait popularitas, citra pribadi, dan
kepentingan kelompok.
Kegaduhan politik
berkepanjangan yang menyebabkan stagnasi kemajuan bangsa hanya bisa ditangani
oleh pemimpin pemerintahan yang tangguh. Dalam hal ini adalah pemimpin dengan
dedikasi pengabdian kepada rakyat dan berani mengambil risiko tanpa
menanggalkan prinsip demokrasi. Jika ketangguhan pemimpin demokratis tidak ada,
kegaduhan demi kegaduhan politik akan direproduksi menghambat kemajuan bangsa.
Sumber: Kompas, 7 Agustus 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!