Staf Kaukus Papua di Parlemen RI;
Alumni Universitas Nusa Cendana Kupang, NTT
ADA hal penting dan menarik
dari Pidato Kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rangka Hari
Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI ke-67, 16 Agustus 2012. Kala itu, di hadapan
Sidang Bersama DPR dan DPD RI Kepala Negara menegaskan bahwa masyarakat di
seantero Tanah Papua berada dalam hati kita semua.
Pada HUT RI ke-68 tahun 2013,
Papua kembali mendapat perhatian Presiden Yudhoyono. Dalam pidatonya di hadapan
anggota DPR/MPR RI di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8), Presiden
Yudhoyono menegaskan bahwa Papua (dan Aceh) bagian Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Mengapa Presiden Yudhoyono
sampai mengatakan, saudara-saudara di Tanah Papua senantiasa berada dalam hati
kita semua? Atau mengapa perlu ditegaskan lagi bahwa Papua bagian NKRI? Apakah
selama ini masyarakat Bumi Cenderawasih itu absen dalam hati pemerintah
sehingga ungkapan itu keluar dari hati Presiden Yudhoyono?
Dua pertanyaan itu paling
kurang menjadi panduan bagi (hati) para pemimpin pusat dan daerah serta rakyat
Indonesia melihat benua nun di timur Indonesia. Juga komitmen anggaran
Pemerintah Pusat melalui program-program pembangunan sebagaimana daerah-daerah
lain di Indonesia.
Diakui atau tidak, dua
provinsi paling timur Indonesia: Papua dan Papua Barat masih berkubang dalam
kemiskinan dan ketertinggalan. Berbagai
program yang digulirkan masih seperti menggali lubang di atas pasir
untuk menampung air. Tanah Papua tetap seperti kerakap yang tumbuh di atas
batu: hidup enggan mati tak mau.
Namun, sesungguhnya jika mau
jujur sudah ada upaya pemerintah mulai dari Repelita di masa Orde Baru, UU
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua, Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 2004 tentang Pembentukan Majelis Rakyat Papua, Master Plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, dan Unit Percepatan
Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B).
Program-program itu diharapkan
menjadi juruselamat mengurangi kemiskinan dan ketertinggalan saudara-saudari
kita di Tanah Papua. Toh, nampaknya semua itu masih di atas kertas meski sudah
terlihat sedikit kemajuan sana sini. Selain itu, berbagai program yang
digelontorkan guna mewujudkan kesejahteraan, masih jauh dari kondisi ideal.
Kemiskinan dan ketertinggalan selalu akan menguras dasar jiwa kita setiap
berganti rezim.
Judul : Membangun Papua dengan Hati: Antara Ucapan dan Realita
Penulis : Paskalis
Kossay
Prolog : Ikrar Nusa Bhakti
Epilog : Mathias Rafra
Penerbit :
Tollelegi, Jakarta
Terbit : Maret 2013
Tebal :
xii + 110 halaman
ISBN :
978-602-98799-6-4
Dalam buku Membangun Papua Dengan Hati: Antara Ucapan
dan Realita, Paskalis Kossay mencatat dengan baik apa “kata hati” Presiden
Yudhoyono. Pemerintah menyadari adanya kompleksitas persoalan yang memerlukan
langkah-langkah spesifik, mendasar, dan menyeluruh. Kita satukan langkah untuk
mempercepat pembangunan bagi rakyat Papua. “Otonomi Khusus bagi Papua dan Papua
Barat adalah kerangka dasar kita dalam mengelola pelayanan publik, pembangunan,
dan pemerintahan daerah,” kata Presiden Yudhoyono (hal. 6).
Menyebut bahwa
“saudara-saudara di Tanah Papua senantiasa berada dalam hati kita semua”,
menurut Kossay, menunjukkan ada kemauan politik membangun Papua dengan kebijakan
yang terukur. Sayangnya, Presiden Yudhoyono tidak menyinggung langkah-langkah
konkrit dan spesifik yang akan ditempuh membangun Papua dengan hati.
Potret Kelam
Sekadar dicatat, sejak
integrasi ke pangkuan RI tahun 1961, Papua masih menyimpan sejumlah potret
kelam. Dalam nada yang keras, pemuka Gereja Papua Socratez Sofyan Yoman,
menelisik lebih detail potret kelam yang dialami penduduk asli. Misalnya,
kekerasan kemanusiaan didemonstrasikan atas nama keamanan dan kepentingan
nasional dengan berbagai bentuk wajah.
Socratez, gembala umat yang
juga Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua
(BPP-PGBP) periode 2013-2018, memprediksi tahun 2020 penduduk asli Papua
tinggal 2.371.200 jiwa atau sekitar 15,2 persen dibandingkan penduduk pendatang
sebesar 13.228.800 jiwa atau sekitar 84.80 persen.
Selain itu, di tanah Papua
sedang terjadi proses pelemahan etnis. Proses itu terkait politik, keamanan,
ekonomi, dan lain-lain. Jika dilihat dengan cermat, manusia Papua bukalah
urusan orang Indonesia karena orang Indonesia itu ras/etnis Melayu dan orang
asli Papua adalah ras Melanesia.
“Ini semua bagian dari
penghancuran masa depan, identitas, dan mengakhiri eksistensi orang asli Papua
dari tanah dan negeri mereka di kawasan Pasifik ini,” kata Socratez (Bdk. Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan
Sejarah Kekerasan di Papua Barat tahun 2012; hal. 245).
Namun, apakah kondisi seperti
itu menghentikan langkah membangun Papua (dengan hati) seperti diutarakan
Presiden Yudhoyono? Kossay mengajukan beberapa strategi yang ditempuh Presiden
Yudhoyono agar ada kesesuaian ucapan dan tindakan. Pertama, mengubah cara
pandang terhadap masalah Papua. Kedua, otsus menjadi kerangka dasar membangun
Papua dengan hati.
Ketiga, UP4B menjadi lokomotif
otsus. Keempat, aspirasi pemekaran daerah. Pemekaran daerah merupakan salah
satu cara mempercepat pembangunan daerah. Keempat, penegakan hukum. Kelima,
penghormatan hak-hak asasi manusia (HAM). Kelima, penghormatan nilai-nilai
budaya orang Papua.
Mengapa hal ini serius dan
strategis? Membangun Papua dengan hati bukan sekadar membangun proyek fisik
semata. Lebih dari itu adalah hati seorang Presiden menerima manusia Papua apa
adanya. “Apakah manusia Papua ada di hati Presiden? Atau hanya penguasaan
sumber daya alamnya saja?” ujar Kossay retoris.
Profesor Riset Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti dalam Prolog-nya menegaskan,
Presiden Yudhoyono seakan membiarkan korupsi merajalela asal pejabat daerah
mendukung NKRI. Padahal, korupsi yang menggerogoti uang rakyat bertentangan
dengan prinsip-prinsip dasar NKRI, yaitu bagaimana sumber daya alam (SDA) dan
sumber daya manusia (SDM) seharusnya digunakan meningkatkan taraf hidup rakyat.
Anggota Komisi I DPR Hj. Lily
Wahid berpendapat, membangun Papua dengan hati seperti disampaikan Presiden
Yudhoyono adalah cara memperbaiki paradigma yang salah itu. Artinya, menurut
anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Daerah Pemilihan Jawa Timur, itu harus
ada kemauan untuk mendengarkan dari bawah, selalu berkomunikasi dialogis, dan
mengembangkan pendekatan kemanusiaan.
Buku ini menarik dibaca untuk
mengetahui pergumulan pemerintah pusat dan daerah serta rakyat membangun sejak
Papua berintegrasi ke pangkuan Ibu Pertiwi. Berikut kendala-kendala yang dihadapi,
terutama kondisi topografi yang sangat sulit dan kondisi sosial-kemasyarakatan
yang masih lengket dengan budaya dan kultur masyarakat yang kebanyakan beretnis
Melanesia tersebut.
Buku ini juga boleh menjadi
persembahan karya intelektual Paskalis Kossay, anak (gunung) Papua di tengah
kesibukannya sebagai wakil rakyat di Gedung DPR/MPR, kawasan Senayan, Jakarta.
Buku ini, layak dibaca dan diperlukan siapa saja dengan harapan agar dapat
mencermati dan memberikan sumbangan ide dan gagasan demi kemajuan Tanah Papua.
Pada akhirnya, Papua tetap hadir di hati.
Buku ini sekaligus menjadi
referensi penting bagi siapa saja yang kebelet jatuh cinta dengan benua di
timur Indonesia beserta dinamika sosial, politik, dan pertahanan keamanan yang
menyertainya. Buku ini–meminjam motto Tempo–
enak dibaca dan perlu. Anda setuju?
Sumber: Papua Pos, 29 Agustus 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!