Oleh
Vedi R Hadiz
Guru Besar pada Asia Research Centre
Murdoch University, Australia
Kinerja partai
politik Islam di Indonesia sejak demokratisasi tahun 1998 masih mengecewakan
bagi para pendukungnya. Bahkan, perbaikan pada Pemilu 2014 yang akan datang
sulit untuk diharapkan. Kemungkinan besar partai politik Islam tidak bisa
memajukan calon presiden dari kalangan mereka sendiri yang berpeluang untuk
bisa menang.
Namun, pengalaman
parpol Islam di Indonesia tidak mencerminkan pengalaman di tingkat global.
Walaupun dunia Barat cenderung mengidentikkan gerakan politik Islam dengan
tindak kekerasan, dalam kenyataannya beberapa di antaranya telah melahirkan
parpol yang sukses bertarung di ajang demokrasi. Pengalaman mereka menunjukkan
bahwa politik Islam tidak harus bernuansa antidemokratis. Walaupun demikian,
mempertahankan diri dalam sistem demokratis, dengan cara-cara demokratis,
ternyata menjadi masalah baru tersendiri.
Sulit disamai
Ada baiknya
pengalaman beberapa parpol Islam di luar negeri disimak meski prestasi yang
dicapai di Turki, misalnya, oleh AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan) masih
sulit disamai parpol Islam di Indonesia.
Fakta yang menonjol
adalah AKP, Ennahda di Tunisia, dan FJP (Partai Keadilan dan Kebebasan) di
Mesir, semua lahir dari gerakan politik Islam yang pernah mengalami represi
oleh rezim-rezim otoriter. Mereka kemudian mengembangkan kepentingan untuk
berjuang secara demokratis (walau bukan tanpa kritik) guna melindungi diri dari
kekuatan otoriterisme lama.
Belakangan ini FJP
Mesir, yang diluncurkan gerakan Ikhwanul Muslimin, ternyata tidak mampu
bertahan di tengah kemerosotan ekonomi dan persaingan politik keras dengan
lawan-lawan mereka, yang akhirnya melibatkan intervensi militer.
Di Indonesia pun,
gerakan politik Islam sempat menjadi korban represi negara yang menahun. Namun,
berbeda dengan pengalaman Turki, dan sampai derajat tertentu Mesir dan Tunisia,
politik Islam di Indonesia cenderung berkutat pada lingkungan sendiri dan
kurang berhasil memperluas basis sosialnya.
Adalah AKP yang
paling mampu melebarkan sayapnya dengan mengembangkan basis di luar komunitas sempit
yang secara tradisional mendukung gerakan politik Islam di Turki. Dibantu
kebangkitan kelas pengusaha di luar Istanbul yang menjadi besar karena
kebijakan ekspor yang membidik pasar Eropa dan Timur Tengah serta kelas
menengah baru terdidik (dan lebih religius) hasil proses urbanisasi, AKP pun
membangun dukungan di kalangan kaum miskin kota yang semakin membengkak.
Akan tetapi,
keberhasilan ini ada ongkosnya: walau pimpinan AKP sering bicara soal
moralitas, mereka menerima bahwa keadaan mengharuskan dilepasnya tujuan
mendirikan negara Islam dan lebih sibuk dengan urusan pembangunan ekonomi.
Bahkan, AKP sekarang lebih senang disebut partai "konservatif"
daripada partai Islam.
Dalam hal tertentu,
strategi AKP sebetulnya meniru model lama yang diterapkan Ikhwanul Muslimin
yang menarik dukungan kaum miskin lewat kegiatan karitatif. Apalagi
liberalisasi ekonomi telah melebarkan jurang kaya-miskin di sana. Dalam
membiayai kegiatan tersebut, AKP pun sempat terbantu oleh gerakan keagamaan
Fethullah Gulen, yang sangat disiplin dan hierarkis, serta didukung banyak
pengusaha besar ataupun diaspora Turki di luar negeri.
Terjebak politik
uang
Bagaimana di
Indonesia? Seperti AKP —juga FJP dan Ennahda— partai Islam di Indonesia
sebenarnya berangsur mengurangi retorika tentang pendirian negara Islam. Bahkan
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sudah menyatakan diri sebagai "partai
terbuka". Namun, skandal korupsi telah menerkamnya dan mengurangi daya
tarik partai ini sebagai partai "berintegritas" —sesuatu yang masih
bisa diklaim pada derajat tertentu oleh AKP. Bahkan seperti parpol lain,
beberapa parpol Islam di Indonesia sibuk dengan politik uang dan patronase
sehingga perbedaan dengan parpol lain menjadi tidak jelas.
Apalagi,
dibandingkan dengan AKP dan FJP (sebelum digulingkan), parpol Islam di
Indonesia kurang mengalami transformasi internal. Kelompok bisnis besar di
Indonesia didominasi golongan di luar mereka, beda dengan di Turki, bahkan di
Mesir, dengan banyak pengusaha besar tumbuh dalam lingkungan organisasi Ikhwanul
Muslimin. Banyak di antaranya yang bergerak dalam partai. Sambil mencari
peluang ekonomi, mereka pun mendukung kegiatan sosial yang ditujukan terhadap
rakyat miskin.
Di Indonesia,
kegiatan karitatif, seperti yang dilaksanakan Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah,
ternyata kurang berbobot untuk diterjemahkan menjadi basis dukungan terhadap
partai Islam. Upaya partai seperti PKS untuk menarik dukungan kaum buruh cuma
setengah-setengah. Jadilah partai Islam sebagai wadah para aktivis kelas
menengah yang religius.
Memang belakangan
ini AKP di Turki dikritik karena memakai kekerasan terhadap para pendemo di
Gezi Park pada pertengahan tahun 2013. Belum lagi partai itu disinyalir
berusaha menguasai media massa. Namun, AKP berhasil melindungi dirinya terhadap
musuh bebuyutannya —institusi militer— lewat legitimasi demokratis yang
dimiliki. Hal ini memang gagal dilakukan FJP-Ikhwanul Muslimin di Mesir, yang
terlalu bernafsu meminggirkan lawan-lawannya sehingga mengalami nasib naas.
Sementara itu,
parpol Islam di Indonesia masih sibuk dengan politik uang dan patronase sampai
mengalami stagnasi.
Sumber: Kompas, 13
September 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!