Oleh Boni Hargens
Direktur Lembaga
Pemilih Indonesia
DALAM debat capres
dan cawapres ronde awal (8/6), kelihatan karakter kepemimpinan dua kubu.
Prabowo-Hatta
banyak berbicara pembenahan sistem, sayangnya cukup abstrak dalam implementasi.
Jokowi-JK merujuk langsung pada kesejahteraan manusia sebagai teologi dasar
politik dan caranya pun realistis.
Bisa dibilang,
Prabowo-Hatta menganut pandangan institusionalisme dalam teori politik bahwa
perubahan dimulai dari sistem. Sebaliknya, Jokowi-JK menganut behavioralisme,
sedikit banyak mengarah pada post-behavioralisme, bahwa perubahan harus dimulai
dari manusia melalui "revolusi mental". Pembenahan sistem adalah
konsekuensi mutlak dari itu.
"Demokrasi
adalah mendengar suara rakyat," ungkap Jokowi di awal debat. Substansinya,
demokrasi itu memang rakyat (F Bauer, 2012). Maka, mendengar rakyat adalah
aktivasi dari energi dasar demokrasi. Apa pun teori dan formulanya, politik
demokrasi harus menempatkan rakyat sebagai dasar dan orientasi. Implikasinya,
persaingan politik dalam demokrasi adalah kompetisi ide, bukan pertarungan uang
dan instrumen konvensional, seperti dukungan militer, mesin partai, dan birokrasi.
Pendekatan konflik
seharusnya ditinggalkan supaya tak ada lagi kampanye hitam, politisasi sentimen
primordial, pengerahan aparat keamanan, atau mobilisasi birokrasi dalam pemilu.
Belum lama, kita
dihebohkan insiden oknum Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang diduga
mengintimidasi warga desa untuk kandidat presiden tertentu. TNI Angkatan Darat
(AD) merespons begitu cepat. Koptu Rusfandi dan Kapten Inf Saliman dijatuhkan
hukuman. Sebagai tamtama, Rusfandi diduga bersikap partisan dan Saliman selaku Danramil
Gambir, Jakarta, dianggap bertanggung jawab atas tindakan Rusfandi. Meski Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) tak menemukan bukti, Panglima TNI Jenderal Moeldoko
menilai perlunya hukuman terhadap oknum tentara yang berpolitik.
Langkah Moeldoko
sebuah kemajuan besar. Tentara profesional yang menjadi salah satu agenda utama
Reformasi 1998 sudah kasatmata. Watak pretorian sudah terkikis walau masih ada
pada sebagian oknum.
Sudah jelas bahwa
isu Babinsa ini tidak sepele. Masalahnya
bukan pada jumlah pelaku dan luasnya wilayah intimidasi, melainkan pada
hakikat intimidasi sebagai instrumen politik lama. Tiga puluh dua tahun
Suhartoisme bertahan karena model politik demikian. Intimidasi menghidupkan
lagi memoria passionis, ingatan penderitaan, ketika kebebasan kita dirampas.
Reformasi
dimaksudkan untuk mengakhiri formula lama itu. Maka, segregasi sipil-militer
sudah seharusnya ditinggalkan. Politik demokrasi adalah penegakan supremasi
sipil dengan tetap menghargai militer sebagai kekuatan profesional di ranah
pertahanan dan keamanan.
Idealnya, dalam
pemilu keempat sesudah 1998, yang utama adalah ideologi dan gagasan konkret
untuk perubahan. Sudah semestinya determinisme klasik —yang mengerdilkan
politik pada dikotomi sipil-militer, suku, agama, ras, dan golongan— ditinggalkan.
Kepemimpinan politik pun harus dilihat dari sudut pandang baru, bukan dari
sudut pandang lama yang cenderung mengedepankan aspek visual.
Seorang pemimpin
disebut tegas bukan karena badannya tegap, bicaranya keras, dan raut wajahnya
tegang. Dalam demokrasi sipil, ketegasan mengacu pada prinsip. Seperti adagium
lama Latin, fortite in re, suaviter in
modo —tegas dalam prinsip, lembut dalam cara.
Kita tak bisa
mengukur ketegasan Prabowo atau Jokowi hanya dengan penampilan material.
Prinsip dan tindakan politik adalah ukuran mendasarnya. Maka, determinasi
sipil-militer tidak relevan dalam konteks ini.
Pertemuan Shimon
Peres dan Mahmoud Abbas di Vatikan (8/6) adalah contoh bahwa upaya perdamaian
tidak harus melibatkan kekuatan militer, tetapi cukup dengan komitmen
perdamaian seperti yang diperlihatkan Paus Fransiskus. Ketegasan memperoleh
pengertian yang sesungguhnya dalam komitmen, kesederhanaan, dan asketisme,
bukan dalam penampilan, elitisme, dan pengerahan pasukan.
Saat ini, ada
kekuatan bermain dalam pemilu ingin membalikkan gelombang demokratisasi. Muncul
wacana "Perang Badar", hidupnya sentimen primordial, dan pereduksian
keberagaman pada kepentingan politik temporal adalah preseden kembali ke masa
lalu. Ini bahaya bagi peradaban. Mereka memakai konstruksi demokrasi untuk
tujuan-tujuan yang tidak demokratis. Inilah "jebakan demokrasi"
menurut Graham Fuller (1992).
Jebakan demokrasi
melahirkan kontradiksi. Orang bisa bicara penegakan HAM saat membunuh hak
asasi. Berbicara kebebasan pers saat mengancam kebebasan sipil. Berbicara
rakyat saat memperalat rakyat.
Tidak mudah memang
membuat keputusan. Namun, dalam pemilu, preferensi politik tak cukup ditentukan
kecerdasan nalar. Kecerdasan moral dibutuhkan. Untuk bisa memilah, mana yang
sekadar beretorika dan mana yang bisa bekerja. Mana yang mampu mendengar suara
rakyat dan mana yang mengkuda-troyakan rakyat untuk maksud parsial. Rakyat bukan sekadar pelanggan yang bisa
dirupiahkan, melainkan manusia yang harus didengar dan dimanusiakan.
Sumber: Kompas, 2
Juli 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!