Oleh A Mustofa
Bisri
Pengasuh Pondok Pesantren
Raudlatuh Tholibin, Leteh, Rembang
NABI
Muhammad SAW pernah ditanya istri Nabi, Aisyah, mengenai doa apa yang mesti
dibaca saat Lailatul Qadar, Nabi menjawab, "Allahumma innaka 'afuwwun
tuhibbul 'afwa fa'fu 'annii." Doa ini dalam bahasa Indonesia kira-kira,
"Ya, Allah, ya Tuhanku; sungguh Engkau Maha Pengampun, suka mengampuni,
maka ampunilah aku."
Maha
Pengampun-Nya Allah dan kesukaan-Nya mengampuni tidak hanya tecermin dalam
asma-asma-Nya seperti Al-Ghafuur, Al-Ghaffaar, dan Al-'Afwu, tetapi juga dapat
diketahui melalui banyak firman-Nya di Al Quran dan sabda Rasul-Nya dalam
hadis-hadis-Nya.
Salah satu
firman-Nya bahkan menyeru hamba-hamba-Nya yang berdosa agar tidak berputus
harapan akan pengampunan- Nya dan menegaskan bahwa Dia mengampuni dosa-dosa,
semuanya (Q 39:53).
Bahkan,
sedemikian sukanya Allah mengampuni sehingga Rasul-Nya —dalam hadis sahih
bersumber dari sahabat Abu Hurairah dan riwayat imam Muslim— bersumpah bahwa
seandainya "kalian semua tidak ada yang berdosa, Allah SWT akan
menghilangkan kalian dan menggantinya dengan kaum yang berdosa yang memohon
ampun kepada Allah lalu Ia pun mengampuni mereka".
Maka, kita
melihat "lembaga pengampunan" Allah yang dapat menghapuskan dosa,
begitu banyak. Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang menjadikan banyak amalan
sebagai penghapus dosa, mulai dari istigfar, shalat, puasa, hingga berbuat baik
lainnya, semuanya dapat menghapus dosa. Ini sangat kontras sekali dengan
perangai "khalifah"-Nya di bumi yang namanya manusia ini.
Manusia
—setidaknya kebanyakan mereka— dari satu sisi suka berbuat kesalahan, di sisi
lain gampang tersinggung dan sangat sulit memaafkan kesalahan.
Bahkan, banyak
di antara mereka yang merasa "dekat" dengan Tuhan pun tidak tampak lebih
pemaaf daripada yang lain. Malah sering kali justru lebih terlihat sempit dada
dan tengik.
Yang aneh,
terhadap Allah yang begitu baik dan Maha Pengampun, kita ini begitu hati-hati.
Namun, kepada sesama manusia yang tersinggung dan begitu sulit memaafkan, kita
malah sering sembrono. Padahal, dibandingkan dengan dosa yang langsung
berhubungan dengan Allah, kesalahan terhadap sesama manusia jauh lebih sulit
menghapusnya. Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang mempunyai kesalahan
kepada saudaranya sesama manusia sebelum saudaranya itu memaafkan.
Makna
halalbihalal
Ada sebuah
hadis sahih yang sungguh membuat mukmin yang sehat pikirannya akan merasa
khawatir merenungkannya. Yaitu, hadis sahih —dari sahabat Abu Hurairah yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim— tentang betapa tragisnya orang yang saat
datang di hari kiamat membawa seabrek (pahala) amal, seperti shalat, puasa, dan
zakat, sementara ketika hidup di dunia banyak berbuat kejahatan kepada sesama.
Digambarkan,
nanti orang yang pernah dicacinya, orang yang pernah difitnahnya, yang pernah
dimakan hartanya, yang pernah dilukainya, dan yang pernah dipukulnya akan
beramai-ramai menggerogoti (pahala) amalnya yang banyak itu.
Bahkan,
apabila (pahala) amalnya itu sudah habis dan masih ada orang yang pernah
dizalimi dan belum terlunasi, dosa orang ini pun akan ditimpukkan kepadanya
sebelum akhirnya dia dilempar ke neraka. Orang yang malang ini disebut
Rasulullah SAW sebagai orang bangkrut yang sebenarnya.
Lihatlah,
orang yang bangkrut itu disebutkan membawa seabrek (pahala) shalat, puasa, dan
zakat. Berarti dari sisi ini, dia adalah orang yang taat beribadah. Namun,
karena perangainya yang buruk terhadap sesama, justru hasil ibadahnya itu
sirna.
Maka, bagi
kaum beriman, berhati-hati dalam pergaulan itu sangat penting. Kaum beriman
tidak hanya mengandalkan amal ibadahnya tanpa menjaga akhlak pergaulannya
dengan sesama. Apalagi, karena bangga terhadap amal ibadahnya, lalu merendahkan
dan menyepelekan sesamanya. Na'udzubillah min dzaalik.
Masih ada satu
hadis sahih lagi yang senada dengan hadis di atas, yang menganjurkan kita
segera meminta halal dari orang yang pernah kita zalimi (falyatahallalhu
minhu), apakah itu berkenaan dengan kehormatannya atau yang lain.
Saya pikir,
bertolak dari sinilah bermula istilah halalbihalal (menulisnya tidak
dipisah-pisah). Anjuran Nabi untuk meminta halal dari saudara kita yang pernah
kita zalimi tentunya berlaku juga bagi saudara kita.
Seperti kita
ketahui, kata kita ini assembling dari bahasa Arab. Asalnya halaal-bi-halaal
(dalam kamus Arab sendiri, tidak ditemukan entri halaal-bi-halaal ini). Jadi,
ini murni rakitan bangsa Indonesia. Semula mempunyai makna harfiah halal dengan
halal, kemudian menjadi: saling menghalalkan.
Begitulah
tradisi silaturahmi (Arabnya: silaturahim), di hari raya Idul Fitri pun diisi
dengan acara halalbihalal. Saling menghalalkan alias saling memaafkan.
Halalbihalal-lah terutama mendorong orang bersemangat melakukan silaturahim di
hari raya Idul Fitri. Sampai-sampai kemudian melahirkan tradisi lain yang kita
sebut mudik.
Kalau
tujuannya saling memaafkan, mengapa halalbihalal itu (hanya) dilakukan di hari
raya Idul Fitri atau di bulan Syawal, tidak setiap saat?
Boleh jadi ini
ada kaitannya dengan "watak" bangsa kita yang sulit mengaku salah dan
sulit memaafkan. Jadi, diperlukan timing yang tepat untuk saling meminta dan
memberi maaf. Lalu, kapan itu? Nah, tidak ada saat yang lebih tepat melebihi
saat setelah puasa Ramadhan.
Mengapa?
Karena sesuai janji Rasulullah SAW, barang siapa yang berpuasa di bulan
Ramadhan semata-mata karena iman dan mencari pahala Allah, diampuni
dosa-dosanya yang sudah-sudah.
Tentunya ini
dosa-dosa yang berkaitan dengan Allah langsung. Orang yang tidak mempunyai dosa
kepada Allah karena dosa-dosanya sudah diampuni, dadanya menjadi lapang.
Mungkin ini bisa menjelaskan mengapa setelah usai puasa Ramadhan, orang- orang
Islam menjadi terbuka, ringan meminta maaf, dan mudah memaafkan.
Maka,
dosa-dosa berat yang diakibatkan kesembronoan dalam pergaulan hidup dengan
sesama hamba Allah diharapkan dapat dengan mudah dilebur. Nah, kesempatan
bersilaturahim di hari raya Idul Fitri ini jangan sampai kita lewatkan untuk
berhalalbihalal, saling menghalalkan, dan saling memaafkan. Sehingga di Lebaran
ini, leburlah semua dosa-dosa kita. Semoga. Selamat Idul Fitri 1435 Hijriah.
Mohon maaf lahir batin.
Sumber:
Kompas, 24 Juli 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!