Oleh Saldi Isra
Guru Besar Hukum Tata Negara &
Direktur
Pusat Studi Konstitusi FH Universitas Andalas, Padang
Di tengah
perhatian serius mayoritas rakyat Indonesia menunggu hasil akhir rekapitulasi
penghitungan suara pemilihan umum presiden dan wakil presiden oleh Komisi
Pemilihan Umum, tiba-tiba calon presiden Prabowo Subianto mengeluarkan sikap
yang amat mengejutkan.
Intinya, ia
menyatakan menolak pelaksanaan pemilu presiden dan menarik diri dari proses
yang sedang berlangsung.
Jika dilacak
perkembangan yang terjadi selama proses rekapitulasi suara mulai dari tingkat
yang lebih rendah, beberapa manuver memang muncul ke permukaan. Misalnya,
beberapa hari yang lalu kita mendengar bahwa pihak Prabowo mengancam
memidanakan KPU jika tetap meneruskan proses rekapitulasi. Selain itu, juga
dilakukan langkah melaporkan KPU kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
Melihat situasi tersebut, pernyataan menarik diri menjadi semacam kulminasi
dari beberapa sikap terdahulu.
Sontak,
pernyataan Prabowo menimbulkan kerisauan luar biasa dari berbagai kalangan yang
mengkhawatirkan keabsahan dan kelangsungan proses pemilu presiden dan wakil
presiden. Kekhawatiran tersebut muncul karena pernyataan mengejutkan itu
mengarah pada satu titik: Prabowo mengundurkan diri sebagai calon presiden.
Kalau begitu maksud sesungguhnya, tentunya dibutuhkan penjelasan lebih jauh dan
akurat terkait dengan langkah yang diambil Prabowo.
Larangan
mundur
Kalau dibaca
dengan cermat Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden (UU No 42/2008), kemungkinan akan adanya manuver berupa
pengunduran diri telah diantisipasi. Karena itu, UU No 42/2008 secara tegas
melarang kemungkinan manuver tersebut. Antisipasi ini dapat dibaca dalam Pasal
15 huruf f yang menyatakan bahwa partai politik atau gabungan partai politik
dalam mendaftarkan bakal pasangan calon ke KPU wajib menyerahkan surat
pernyataan dari bakal pasangan calon tidak akan mengundurkan diri sebagai
pasangan calon.
Tidak hanya
itu, Pasal 22 Ayat (1) UU No 42/2008 juga menegaskan bahwa partai politik atau
gabungan partai politik dilarang menarik calonnya dan/atau pasangan calon yang
telah ditetapkan oleh KPU. Tidak hanya partai politik, Pasal 22 Ayat (2) UU No
42/2008 menegaskan bahwa salah seorang dari pasangan calon atau pasangan calon
dilarang mengundurkan diri terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon
oleh KPU.
Dalam batas
penalaran yang wajar, antisipasi berupa larangan mengundurkan diri atau
larangan menarik calon atau pasangan calon yang telah didaftarkan adalah upaya
mencegah segala kemungkinan manuver berupa pengunduran diri. Bagaimanapun, jika
kemungkinan itu tidak diantisipasi, sangat mungkin muncul manuver berupa
pengunduran diri akan mengganggu penyelesaian tahapan pemilu presiden dan wakil
presiden. Paling tidak, sekiranya ada yang mengundurkan diri, dapat dipastikan
akan mengganggu waktu penyelesaian tahapan yang tersisa.
Karena itu,
agar pengunduran diri tidak terjadi, pembentuk undang-undang mengancam dengan
ketentuan pidana. Misalnya, Pasal 245 Ayat (1) UU No 42/2008 menyatakan bahwa
setiap calon presiden atau wakil presiden yang dengan sengaja mengundurkan diri
setelah penetapan calon sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran
pertama, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 bulan dan paling lama
60 bulan serta denda paling sedikit Rp 25 miliar dan paling banyak Rp 50
miliar.
Tidak hanya
calon, pimpinan partai politik atau gabungan pimpinan partai politik yang
dengan sengaja menarik calon dan/atau pasangan calon yang telah ditetapkan oleh
KPU sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran pertama juga dapat
dijatuhi pidana. Tidak tanggung-tanggung, mereka diancam dipidana penjara
paling singkat 24 bulan dan paling lama 60 bulan. Selain itu, juga diancam
denda paling sedikit Rp 25 miliar dan paling banyak Rp 50 miliar.
Bahkan,
menurut Pasal 246 Ayat (1) UU No 42/2008, apabila pengunduran diri sengaja
dilakukan calon atau pasangan calon setelah pemungutan suara putaran pertama
sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran kedua, mereka diancam pidana
penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan serta denda paling
sedikit 50 miliar dan paling banyak Rp 100 miliar. Ancaman yang
sama juga
ditujukan kepada pimpinan partai politik atau gabungan partai politik yang
mengajukan calon atau pasangan calon.
Terkait dengan
kemungkinan penjatuhan pidana terhadap Prabowo, memang ada wilayah yang
diperdebatkan karena langkah ini dilakukan setelah pemungutan suara. Secara
tekstual, pengunduran yang dapat dipidana adalah yang dilakukan setelah
pendaftaran calon atau setelah pemungutan suara putaran pertama. Secara
kasatmata, pengunduran tidak terjadi setelah penetapan pasangan calon dan
Pilpres 2014 hanya satu putaran, sangat mungkin Prabowo mengelak dari
kemungkinan penjatuhan pidana.
Tidak mengubah
hasil
Tanpa perlu
membahas lebih lanjut dari kemungkinan penjatuhan sanksi pidana atas pihak yang
sengaja mengundurkan diri, langkah Prabowo menarik diri (mengundurkan diri?)
tidak akan menimbulkan implikasi apa pun atas hasil pemungutan suara dan
rekapitulasi suara yang diakukan KPU. Karena itu, kita tidak perlu khawatir
dengan ”langkah politik” yang dilakukan Prabowo. Apalagi, rekapitulasi suara
secara nasional telah berada dalam wilayah KPU.
Melihat
ketentuan yang ada dalam UU No 42/2008, pengunduran diri calon atau pasangan
calon perlu dikhawatirkan apabila langkah tersebut dilakukan setelah penetapan
pasangan calon atau setelah pemungutan suara putaran pertama. Jika pengunduran
diri dilakukan pada tahapan sebagaimana dimaksudkan dalam ancaman pidana Pasal
145 dan 146 UU No 42/2008, masyarakat perlu khawatir. Apabila pengunduran
terjadi pada tahap tersebut, tahapan berikutnya akan terganggu. Dengan
terganggunya tahapan berikutnya, dapat merusak jadwal pelantikan presiden dan
wakil presiden baru.
Dalam situasi
seperti ini, yang perlu diantisipasi adalah jika KPU mengalami keraguan untuk
menetapkan hasil penghitungan secara nasional. Karena itu, sepanjang KPU tetap
meneruskan langkah menetapkan hasil pemilu presiden dan wakil presiden, langkah
politik Prabowo tidak akan menimbulkan implikasi hukum apa pun. Tidak hanya
itu, penetapan diperlukan karena akan menjadi titik awal kemungkinan mengajukan
permohonan sengketa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan batas waktu mengajukan
permohonan sengketa paling lama tiga hari sejak penetapan KPU, kita akan
memastikan apakah diksi Prabowo ”menarik diri” bermakna sebagai mundur atau
hanya manuver belaka.
Kalau
benar-benar mundur dan tidak hendak menggunakan hak konstitusional mengajukan
permohonan ke MK, langkah politik Prabowo dapat dikatakan sebagai cara lain
untuk memuluskan jalan Jokowi-JK menuju panggung R-1 dan R-2. Paling tidak,
apabila benar-benar mundur, Jokowi-JK tidak perlu berhabis hari menunggu proses
hukum di MK. Dengan berpikir positif, tidak hanya Jokowi-JK, kita rakyat
Indonesia juga seharusnya menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prabowo.
Minimal, dengan pilihan tidak meneruskan ke MK, ketegangan yang telah
berlangsung cukup lama dapat diakhiri.
Sumber:
Kompas, 23 Juli 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!