Oleh Donny Gahral
Adian
Dosen Filsafat Universitas Indonesia
KEKUASAAN memiliki absurditasnya sendiri. Dia
dikejar sekaligus dilecehkan. Dia kejahatan dan kebaikan dalam setarikan napas.
Dia menggoda sekaligus menolak. Kendati demikian, pengejaran kekuasaan sudah
seumur peradaban.
Di tengah hiruk-pikuk pengejaran terhadap dirinya,
kekuasaan tidak pernah membuka sungguh-sungguh kedok yang menutupinya. Kita
mendengar berbagai cerita mengenai kekuasaan, mulai dari yang membahagiakan
sampai yang memilukan. Kita mendengar kisah seorang Musolini, Hitler, Mandela,
Castro, dan Vaclav Havel. Artikel ini adalah salah satu upaya menyingkap kedok
kekuasaan.
Kodrat kekuasaan
Konsep kekuasaan pada awalnya sangat bercorak
teologis. Muasal kekuasaan adalah yang Ilahi sendiri. Kekuasaan duniawi
bersumber pada adi-duniawi. Muasal adi-duniawi tersebut menjadi legitimasi
politik dan moral sekaligus. Filsuf Augustinus, misalnya, menegaskan betapa
keberlangsungan negara sangat bergantung pada pemerintahan yang bersandar pada
ajaran Kristiani. Tersirat, Augustinus hendak mengatakan bahwa sumber atau
muasal kekuasaan selain yang adi-duniawi niscaya a-moral.
Persoalannya, perang acap kali terjadi di antara
negara-negara teokratis. Bukan hanya itu, negara-negara teokratis pun sering
kali melakukan kejahatan terstruktur terhadap kemanusiaan. Di sini tampak jelas
betapa batas teologis terhadap kekuasaan tidak selalu berarti batas moral.
Muasal teologis terhadap kekuasaan pun mendapatkan
tantangan dari beberapa filsuf politik modern yang menyaksikan betapa kekuasaan
macam itu sangat mudah diselewengkan. Niccolo Machiavelli, misalnya, justru
menegaskan betapa muasal teologis dari kekuasaan justru membahayakan
keselamatan negara.
Ketika seorang penguasa dibatasi kekuasaannya secara
teologis, maka dia harus memerintah berdasarkan hukum Ilahi. Padahal, realitas
politik yang ganas membutuhkan penguasa yang dapat mengesampingkan hukum Ilahi
demi keselamatan negaranya. Di dalam dunia politik yang sarat pengkhianatan dan
pemberontakan, hukum Ilahi tidak berlaku sama sekali. Seorang penguasa harus
mampu menangkap peluang yang ada dengan memakai kecerdikan dan keberaniannya
sendiri. Dengan demikian, bagi Machiavelli, kekuasaan harus disandarkan pada
fondasi yang bercorak politis, bukan teologis.
Pikiran lain tentang kekuasaan dikemukakan filsuf
Jean Bodin. Bodin merumuskan gagasannya tentang kekuasaan di tengah pertikaian
berdarah antara kaum Protestan dan Katolik di Eropa. Sebab itu, bagi Bodin,
kekuasaan adalah sebuah keniscayaan bagi ketertiban sosial. Bodin mengambil
analogi kekuasaan di dalam keluarga. Dalam keluarga, kekuasaan bersemayam di
satu orang saja, yakni ayah. Ayah berkuasa secara absolut atas istri dan
anak-anaknya. Jika ada lebih dari satu penguasa dalam keluarga, maka tak ada
ketertiban. Satu penguasa melarang, sementara yang lain memperbolehkan.
Absennya kekuasaan tunggal dalam keluarga hanya akan menghasilkan disorder.
Kekuasaan yang tunggal sama artinya dengan kekuasaan
yang absolut. Tidak ada kekuasaan lain selain yang dimiliki sang
penguasa. Kekuasaan diartikan sebagai kekuasaan terhadap bawahan. Kekuasaan
yang dimiliki penguasa lebih besar dari rakyat yang dikuasainya. Kekuasaan adalah
garis vertikal yang tegas dan tajam.
Penguasa yang berdaulat berdiri di atas dan di luar
mereka yang dikuasainya. Kekuasaan yang dimiliki penguasa memungkinkannya
membuat hukum bagi mereka yang dikuasainya tanpa persetujuan. Keputusan
penguasa dalam membuat hukum tidak disandarkan pada patokan eksternal apa pun
kecuali akal sehat dan niat baiknya sendiri.
Kekuasaan dan anonimitas
Pertanyaannya, dari mana kekuasaan yang begitu
paripurna tersebut bermuasal? Bodin tidak menjelaskannya secara persis, bahkan
terkesan kontradiktif. Sesekali dia menunjuk yang Ilahi sebagai sumber
kekuasaan, tetapi tak jarang pula dia menyebut rakyat (people). Jika yang Ilahi
adalah sumber kekuasaan, maka itu bertolak belakang dengan prinsip sekularisasi
kekuasaan yang dikehendaki Bodin sendiri. Sementara, jika Bodin berkeras bahwa
rakyat adalah sumber kekuasaan, maka kekuasaan tidak mungkin absolut. Kekuasaan
qua rakyat bercorak kontraktarian yang sekaligus berarti akuntabilitas.
Penguasa yang berdaulat harus mempertanggungjawabkan kekuasaannya pada rakyat
sebagai sumber kekuasaannya.
Pikiran Bodin tentang muasal kekuasaan menyiratkan
kontradiksi. Namun, saya menemukan sesuatu yang lain. Demokrasi tak senantiasa
berbeda jalan dengan otoritarianisme. Kita kerap bertanya, "Mengapa
kekuasaan yang direbut secara demokratis dapat sewaktu-waktu menjelma otoriter
sehingga kehilangan 'rasa iba' terhadap orang banyak?" Kekuasaan dapat
jadi sedemikian teknis dan konseptual sehingga tidak menyisakan ruang bagi
"keramahtamahan" atau solidaritas. Kekuasaan dapat sedemikian
tertutup dan dingin sehingga memperlakukan manusia layaknya "benda
keras", bukan "kompleksitas".
Kekuasaan dapat mengidap simtom "hilangnya
perasaan". Itu disebabkan tak lain dan tak bukan oleh muasal kekuasaan itu
sendiri, yakni "orang banyak". Kekuasaan bersumber dari sesuatu yang
anonim. Sesuatu yang tak bernama, beralamat, dan berperasaan. Survei hanya
menangkap pilihan bukan perasaan orang per orang. Akibatnya, kekuasaan pun
kehilangan perasaan sebab bersibuk dengan angka dan bukan manusia. Kekuasaan
yang bersumber pada anonimitas kehilangan apa yang saya sebut sebagai emotional
objective. Dia yang berasal dari anonimitas akhirnya tak bertanggung jawab
kepada siapa pun. Sebab, semua orang sama artinya dengan bukan siapa-siapa.
Kekuasaan dapat berubah total menjadi banal dan tak
berperasaan. Dia kehilangan rasa iba. Ketika itu terjadi, kekuasaan memandang
rakyat sebagai kerusakan kolateral belaka. Mereka yang tergusur akibat
pembangunan jalan tol tak ubahnya muatan yang harus dibuang agar kapal dapat
terus berlayar. Ini dapat menjangkiti siapa saja. Pemimpin yang baik tak
terkecuali. Kebaikan adalah karakter personal. Dia tidak melekat pada kekuasaan
sebagai organisasi. Kebaikan seorang pemimpin dapat sewaktu-waktu tergerus oleh
banalitas kekuasaan.
Melawan banalitas
Penggenggam kekuasaan harus mampu melawan anonimitas
dan banalitas kekuasaan. Sebab, keduanya mampu membuat seorang pemimpin
kehilangan perasaan terhadap orang banyak. Begitu pemimpin berkuasa, dia segera
menghadapi bahaya "manajerialisasi". Dia akan dibekuk oleh perkara
administrasi dan birokrasi yang mampu membutakan mata hatinya terhadap
kesukaran orang lain. Dia dipaksa untuk mengesampingkan perasaannya oleh kerja
teknokrasi yang mirip mesin. Pemimpin akan menghadapi rakyatnya sebagai
"statistika", bukan "manusia". Padahal, kerja pemimpin
menurut hemat saya tak lain adalah ngopeni atine wong liyo (merawat hati orang
lain).
Sebab itu, emotional objective perlu terus
dihidupkan dalam setiap langkah kepemimpinan. Anonimitas kekuasaan perlu
dilawan dengan mengubah rakyat jadi suatu yang konkret. Di depan pengurus Front
Nasional, Bung Karno berpidato: "Kita tuangkan suatu masyarakat yang mana
tiap-tiap manusia Indonesia merasa bahagia, suatu masyarakat yang tiada seorang
ibu menangis karena tidak dapat memberi air susu kepada anaknya."
Bagi saya pribadi, ucapan Bung Karno itu lebih dari
sekadar retorika panggung belaka. Ucapan beliau adalah perlawanan terhadap
anonimitas kekuasaan yang mengasingkan. Semoga pemimpin baru mau belajar dari
Bung Karno dan mengembalikan kodrat kekuasaan sebagai ngopeni atine wong liyo.
Pemimpin orang-orang hidup, bukan benda mati.
Sumber: Kompas, 15 Juli 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!