Oleh Saurip Kadi
Mayor Jenderal TNI
(Purn);
Mantan Aster Kasad
KESATRIA dapat diartikan sebagai sikap dan watak
yang berani tampil terdepan membela kepentingan rakyat, bangsa, dan negara;
berani mengakui kesalahan diri; serta menghormati kelebihan atau keunggulan
orang lain.
Sikap dan watak itu mengantar bangsa ini
bisa merdeka lalu mempertahankannya meski hanya bermodal semangat dan bambu
runcing menghadapi kekuatan bersenjata canggih dengan risiko mati sekalipun.
Makam pejuang kemerdekaan yang gugur dalam perang kemerdekaan dan berserakan di
banyak daerah, fakta sejarah tak termungkiri.
Sungguh luhur para pendiri TNI yang menggariskan kode etik bagi anak
bangsa yang memilih jalan hidup jadi anggota TNI. Tercantum dalam marga kedua
Sapta Marga: "Kami kesatria Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Esa
membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan." Penonjolan utama dalam kode etik itu ialah
anggota TNI adalah kesatria di samping
tuntutan moral ketakwaan dan pembelaan pada kebenaran, keadilan, dan
kejujuran.
Dalam penghayatan dan pengamalan kode
etik itu, seluruh norma yang ada dalam Sapta Marga dan Sumpah Prajurit adalah
satu kesatuan nilai, bukan nilai yang berdiri masing-masing secara mandiri.
Maka, sikap kesatria juga mengandung nilai "tak kenal menyerah"
seperti diamanatkan dalam Sumpah Prajurit.
Maka, ketika melihat negeri yang dulu
semasa dinasnya dibela dengan pertaruhan satu-satunya nyawa, ternyata, kini,
mengenaskan akibat salah kelola, tanpa imbalan apa pun purnawirawan TNI —dan
Polri— terpanggil jadi tim sukses atau relawan pasangan capres. Keliru fatal
apabila ada yang memersepsikan mereka jadi tim sukses atau relawan karena tamak,
apalagi rakus kekuasaan. Jika, toh, ada yang kemudian di antara mereka kelak
tampil sebagai menteri atau jabatan
lain, niscaya karena komitmen keprajuritannya yang tak mungkin menolak
panggilan negara.
Bukan kalah perang
Berbeda dengan Pilpres 2004 dan 2009,
pada Pilpres 2014 keberadaan figur capres dari purnawirawan hanya di satu kubu: Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto. Jadi,
ketika sejumlah purnawirawan berdiri di belakang capres nomor 2 (Jokowi),
secara fisik terkesan ada perpecahan di antara purnawirawan TNI. Harus diakui
pula cara berpikir taktis militer yang
tertanam pada purnawirawan dalam mendukung capres pilihannya sedikit banyak
telah membuat pemilu disamakan dengan perang yang hanya mengenal kawan atau
lawan. Padahal, pemilu tak lebih sarana menghitung jumlah suara kepercayaan
rakyat sebagai pemilik Republik atas pilihan program dan siapa yang bakal
dipercaya memimpin negeri ini.
Karena itu, pihak yang belum bisa
mengumpulkan kepercayaan rakyat dalam jumlah terbanyak sama sekali bukan kalah
perang, melainkan sekadar hilang kesempatan yang bisa diulang kelak dalam
pemilu lima tahun berikutnya. Sebaik apa pun program dan karakter capres, jika
tak sesuai tuntutan rakyat banyak kini, ia tak akan menang di pemilu. Dampak
tak terhindari akibat silang pendapat
purnawirawan TNI adalah munculnya gundah anggota TNI aktif. Terlontar komentar
miring, seolah senior purnawirawan tak bisa kasih contoh.
Sikap itu tak bisa disalahkan karena
reformasi TNI belum tuntas, terlebih dari sisi kultur, sehingga yang
berkomentar itu telah melanggar norma demokrasi. Tugas TNI mengawal demokrasi,
bukan menghakimi dinamika demokrasi, te tapi menyiapkan diri menyelamatkan
negeri. Ketika kaum sipil gagal berdemokrasi, jangan rakyat jadi korban
demokrasi.
Timbul pula pertanyaan, mengapa
purnawirawan tak kompak utuh mendukung capres yang mantan TNI? Jawaban pasti
ada di setiap pribadi. Dalam berdemokrasi, pilihan dalam pemilu adalah hak
asasi manusia, sebagaimana diamanatkan konstitusi kita. Bagi mereka yang sudah
paham makna kedaulatan rakyat, beda pilihan sama sekali bukan penyebab
lunturnya jiwa korsa, termasuk bagi para
purnawirawan. Sesepuh TNI di Pemilu 1955 telah membuktikan bahwa keikutsertaan
TNI aktif menggunakan hak pilihnya dalam pemilu sama sekali tak bikin TNI
terkoyak, apalagi pecah belah.
Membawa hikmah
Pengalaman pengelompokan purnawirawan
dalam Pilpres 2014 ini juga membawa hikmah bahwa pemilu bukanlah momen yang
akan membuat purnawirawan pecah belah. Dengan sekali silaturahim yang digelar
pemimpin TNI sesudah pilpres saja, niscaya publik akan tahu tak ada perpecahan
di antara purnawirawan dan tak juga merenggangkan hubungan purnawirawan dengan TNI aktif. Harus diakui,
perbedaan dalam menilai capres nomor 1 yang mantan TNI, terlebih dalam kasus
penculikan aktivis 1998, juga sangat manusiawi. Di satu pihak, ada keinginan
mendudukkan sejarah apa adanya (karena publik sudah tahu apa dan bagaimana yang
terjadi saat itu).
Sayang sekali ada upaya memoles kasus
itu untuk membuat seolah keputusan pemimpin TNI dan presiden selaku Pangti ABRI
adalah karena penzaliman terhadap Prabowo. Bagi penulis, cara ini dirasakan
amat merugikan Prabowo karena secara tak disadari telah merusak kebesaran sikap
dan watak kekesatriaan Prabowo sendiri. Lagi pula, untuk menang dalam pemilu,
tak perlu menihilkan sikap dan watak kesatria yang sudah mendarah daging dalam
tubuh Prabowo karena tak setiap perwira
berani ambil alih dan pikul risiko atas apa-apa yang dikerjakan anak buah
(apalagi Prabowo memilih bungkam, tak mau buka mulut dalam sidang DKP siapa
sebenarnya yang memerintahnya hingga bawahannya menculik aktivis).
Ditilik dari fakta itu, dan penulis
sendiri kenal dekat Prabowo, sangat keliru jika ada pihak yang mengkhawatirkan
sikap Prabowo menghadapi hasil Pilpres 9 Juli yang akan diumumkan pada 22 Juli 2014. Jika Prabowo tampil
sebagai pemenang, niscaya tak akan umuk (euforia berlebihan); apabila kalah,
juga tak mungkin akan amuk (mengamuk). Jangankan cuma rugi materi dan peluang
membawa bangsa ini sejajar dengan bangsa lain. Nyawa pun telah berulang kali ia
pertaruhkan di medan tempur. Kontribusi membangun demokrasi yang telah ia
contohkan dalam Pilpres 2014 adalah warisan yang akan dikenang bangsa, terutama generasi penerus TNI yang
kelak terjun dalam politik.
Satu-satunya kekurangan yang harus
distop Prabowo apabila keluar sebagai pemenang pemilu adalah dalam menunjuk
pembantu dan orang kepercayaannya agar
tak terjadi lingkaran setan di sekeliling dirinya, apalagi setan yang berjejer
mengelilinginya seperti yang telah mengantar ia harus bertanggung jawab dalam
penculikan aktivis 1998 dan harus menanggung sanksi diberhentikan dari dinas
aktif. Kelemahan sejenis yang dialami kawannya, yaitu Presiden SBY, perlu jadi
pelajaran berharga.
Bagaimana mungkin keagungan jabatan
tertinggi di Republik berakhir tanpa warisan berharga dan kenangan indah seperti yang kita ketahui saat ini juga bakal
kita saksikan kelak setelah SBY lengser keprabon? Kerja keras SBY 10 tahun
mengantar transisi demokrasi ternyata baru melahirkan demokrasi transaksional
yang melahirkan berandal politik, bandit ekonomi, dan hukum wani piro yang
membelit orang dekat dan kepercayaannya, bahkan partainya sendiri.
Semoga satu-satunya pertaruhan yang
tersisa saat ini, yaitu apakah Pilpres 2014 bisa sukses dalam arti tak ada
curang dalam penghitungan hasil pemilu, bisa ia wujudkan. Mari kita saksikan.
Sumber: Kompas, 18 Juli 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!